Guyonan Gus Miftah, Harmonis: Dai Harus Menjunjung Tinggi Etika Universal
loading...
A
A
A
GUYONAN dai nyentrik yang gemar berkaca mata hitam, Miftah Maulana Habibburahman atau Gus Miftah, yang berisi olok-olok terhadap seorang penjual es teh membuat sejumlah pihak mengkritisinya. Gus Miftah sudah dianggap keblablasan. Gaya komunikasinya yang ceplos-ceplos membuat dirinya kepleset lidah.
Hal ini disayangkan, selain sebagai dai, kini dia adalah juga pejabat negara.Gus Miftah adalah Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Tugas ini menggarisbawahi peran penting Gus Miftah dalam mengawal isu moderasi beragama di Indonesia maupun di tingkat internasional.
Ahli Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Harmonis Ph.D. mengkritisi tingkah dai muda ini. Menurutnya, dalam dunia yang serba transparan ini tidak bisa lagi berdalih karena ceplas-ceplos pemahaman lama lagi. "Boleh ceplas-ceplos tapi tetap menjunjung tinggi etika universal," ujarnya menjawab SINDOnews, Rabu 4 Desember 2024.
Harmonis lantas mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW juga kadang bercanda. Hal itu, antara lain, ditunjukkan ketika Nabi menjelaskan tentang para penghuni surga yang digambarkan dalam Al-Qur'an tidak ada yang tua. Mereka semua muda-muda dengan kisaran usia 30-35 tahun. Firman Allah SWT:
Artinya: "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya, (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan. (QS Al-Waqiah : 35-38)
Berkaitan dengan ayat tersebut, suatu waktu Nabi Muhammad didatangi seorang nenek yang meminta didoakan agar bisa masuk surga.
Dengan bergurau, Rasulullah SAW mengatakan kepada nenek tersebut bahwa tidak ada nenek-nenek di surga. Mendengar hal itu, nenek tersebut pulang sambil menangis.
Melihat nenek tersebut menangis, Rasulullah mengutus sahabatnya untuk menjelaskan kepada nenek tersebut.
Lalu Rasulullah SAW bersabda: Beritahukanlah kepadanya bahwa dia tidak dapat memasukinya dalam keadaan nenek-nenek.
Mendapat kabar itu, nenek tadi pun riangnya luar biasa. "Pointnya adalah menghibur yang cerdas," jelas Harmonis.
Dia mengingatkan bahwa seorang kiai, dai, ulama, selain memiliki sifat-sifat kenabian ataupun yang terdapat dalam al-Quran, juga mempunyai kemampuan: Memilih diksi yang baik, merangkai kalimat dengan baik, menyampaikan dengan cara yang baik, dan memahami dengan siapa kita berkomunikasi.
Di sisi lain, menyorot Gus Miftah sebagai pejabat publik, Harmonis mengatakan, dai dan pejabat publik merupakan bagian dari makhluk Allah yang mendapat amanah di lingkungannya. Mendapat jabatan dan pendapatan serta fasilitas lebih dibanding masyarakat lain pada umumnya.
"Untuk itu, pejabat publik seharusnya menampilkan sikap dan perilaku yang mencerminkan bahwa mereka layak menjadi pejabat publik," ujar dosen Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ ini.
Di antara yang perlu ditampilkan pejabat publik adalah perilaku komunikasi yang santun, menjadi uswah (contoh dan ikutan) terbaik bagi masyarakat.
Menurutnya, komunikasi politik yang santun, baik pesan dan cara penyampaian ataupun pertukaran pesan, sangat perlu dilakukan oleh pejabat publik.
Hal ini mengingat apa yang dikomunikasikan dalam bentuk ungkapan ataupun bahasa lisan dan body language – bahasa tubuh - dapat menimbulkan efek terhadap dirinya dan pihak lain yang dijadikan sebagai objek dari isi pembicaraan, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Hal ini disayangkan, selain sebagai dai, kini dia adalah juga pejabat negara.Gus Miftah adalah Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Tugas ini menggarisbawahi peran penting Gus Miftah dalam mengawal isu moderasi beragama di Indonesia maupun di tingkat internasional.
Ahli Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Harmonis Ph.D. mengkritisi tingkah dai muda ini. Menurutnya, dalam dunia yang serba transparan ini tidak bisa lagi berdalih karena ceplas-ceplos pemahaman lama lagi. "Boleh ceplas-ceplos tapi tetap menjunjung tinggi etika universal," ujarnya menjawab SINDOnews, Rabu 4 Desember 2024.
Harmonis lantas mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW juga kadang bercanda. Hal itu, antara lain, ditunjukkan ketika Nabi menjelaskan tentang para penghuni surga yang digambarkan dalam Al-Qur'an tidak ada yang tua. Mereka semua muda-muda dengan kisaran usia 30-35 tahun. Firman Allah SWT:
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً. فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا. عُرُبًا أَتْرَابًا. لأصْحَابِ الْيَمِينِ
Artinya: "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya, (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan. (QS Al-Waqiah : 35-38)
Berkaitan dengan ayat tersebut, suatu waktu Nabi Muhammad didatangi seorang nenek yang meminta didoakan agar bisa masuk surga.
Dengan bergurau, Rasulullah SAW mengatakan kepada nenek tersebut bahwa tidak ada nenek-nenek di surga. Mendengar hal itu, nenek tersebut pulang sambil menangis.
Melihat nenek tersebut menangis, Rasulullah mengutus sahabatnya untuk menjelaskan kepada nenek tersebut.
Lalu Rasulullah SAW bersabda: Beritahukanlah kepadanya bahwa dia tidak dapat memasukinya dalam keadaan nenek-nenek.
Mendapat kabar itu, nenek tadi pun riangnya luar biasa. "Pointnya adalah menghibur yang cerdas," jelas Harmonis.
Dia mengingatkan bahwa seorang kiai, dai, ulama, selain memiliki sifat-sifat kenabian ataupun yang terdapat dalam al-Quran, juga mempunyai kemampuan: Memilih diksi yang baik, merangkai kalimat dengan baik, menyampaikan dengan cara yang baik, dan memahami dengan siapa kita berkomunikasi.
Di sisi lain, menyorot Gus Miftah sebagai pejabat publik, Harmonis mengatakan, dai dan pejabat publik merupakan bagian dari makhluk Allah yang mendapat amanah di lingkungannya. Mendapat jabatan dan pendapatan serta fasilitas lebih dibanding masyarakat lain pada umumnya.
"Untuk itu, pejabat publik seharusnya menampilkan sikap dan perilaku yang mencerminkan bahwa mereka layak menjadi pejabat publik," ujar dosen Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ ini.
Di antara yang perlu ditampilkan pejabat publik adalah perilaku komunikasi yang santun, menjadi uswah (contoh dan ikutan) terbaik bagi masyarakat.
Menurutnya, komunikasi politik yang santun, baik pesan dan cara penyampaian ataupun pertukaran pesan, sangat perlu dilakukan oleh pejabat publik.
Hal ini mengingat apa yang dikomunikasikan dalam bentuk ungkapan ataupun bahasa lisan dan body language – bahasa tubuh - dapat menimbulkan efek terhadap dirinya dan pihak lain yang dijadikan sebagai objek dari isi pembicaraan, baik yang bersifat positif maupun negatif.
(mhy)