Syarat-syarat Iktikaf bagi Kaum Muslimah, Simak Ya!
loading...

Ada ketentuan khusus bagi kaum wanita yang hendak iktikaf di masjid, yakni hendaknya mereka izin kepada wali atau suaminya, serta kondisi masjidnya kondusif buat iktikaf kaum wanita. Foto ilustrasi/freepik
A
A
A
Ada syarat-syarat yang harus diperhatikan kaum muslimah yang akan melaksanakan iktikaf di masjid.Di hari-hari terakhir Ramadan ini, kaum muslimin dianjurkan untuk beriktikaf tak terkecuali kaum Hawa tersebut.
Dalam buku Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq, dijelaskan bahwa yang dimaksud iktikaf di sini adalah menetapi masjid dan tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Rukun iktikaf ada dua yaitu menetap di masjid dan berniat untuk pendekatan diri kepada Allah. Artinya, hakikat dari i’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta’ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut iktikaf.
Syarat bagi orang yang beriktikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas.
Dari keterangan di atas kaum wanita juga dihukumi sunnah ketika beriktikaf di masjid. Sama seperti kaum laki-laki.
Sebagaimana sabda ‘Aisyah Radiyallahu'Anha:
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan sampai beliau diwafatkan Allah, kemudian istri-istrinya pun iktikaf setelah itu. (HR. Muttafaq 'Alaih).
Hadits tersebut membuktikan bahwa wanita boleh iktikaf. Dan disyariatkan bagi kaum muslimah yang akan beriktikaf untuk melaksanakannya di masjid-masjid. Tapi tentu dengan tempat yang terpisah dari kaum pria jika perempuan tersebut melakukan iktikaf bersama-sama suaminya.
Jika tidak bersama suami, maka dia harus meminta izin suaminya. Suami juga boleh mengizinkan, boleh juga tidak. Karena iktikaf ini hukumnya sunnah. Kalau saja hukumnya wajib bagi wanita tersebut, maka suaminya tidak boleh melarang dia.
Jumhur ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, Maliki, syafi’i, Hambali, dan lainnya berpandangan bahwa kaum perempuan seperti laki-laki, tidak sah iktikafnya kecuali di masjid. Maka tidak sah iktikaf yang dilaksanakannya di masjid rumahnya.
Namun, ada sedikit ulama yang berpendapat bahwa sah iktikaf seorang wanita yang dilaksanakan di tempat biasa salat di rumahnya.
Misalkan, dari sebagian golongan hanafiyah ada mengatakan iktikafnya wanita adalah di tempat ibadahnya di rumah. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah).
Namun, pendapat jumhur jelas lebih benar, karena pada dasarnya laki-laki dan wanita sama dalam hukum kecuali ada dalil yang menghususkannya.
Namun ada ketentuan khusus bagi kaum wanita yang hendak iktikaf di masjid. Yakni hendaknya mereka izin kepada wali atau suaminya, serta kondisi masjidnya kondusif buat iktikaf kaum wanita.
Sebab, perlu diingat bahwa apabila kondisi diamnya seorang wanita di masjid tidak terjamin keamanannya, seperti keberadaannya di situ membahayakan bagi dirinya atau akan menjadi tontonan, maka ia tidak boleh beriktikaf.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Dari Abu Hurairah ra., Janganlah seorang wanita berpuasa sementara suaminya ada bersamanya, kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara umum bisa diketahui bahwa ibadah iktikaf harus dilakukan di masjid. Tidak boleh di luar masjid. Hal ini karena salah satu rukun iktikaf adalah berdiam di masjid. Ini sesuai dengan Al Baqarah ayat 187 dan perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat iktikaf.
Sesibuk apa pun, hendaknya seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala secara fokus dan total.
Optimalkan waktu 10 hari terakhir bulan Ramadan ini. Raih dan kejar malam Lailatul Qadr dengan khusyuk di masjid. Hidup di dunia hanya persinggahan sementara untuk menuju keabadian akhir.
Dalam buku Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq, dijelaskan bahwa yang dimaksud iktikaf di sini adalah menetapi masjid dan tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Rukun iktikaf ada dua yaitu menetap di masjid dan berniat untuk pendekatan diri kepada Allah. Artinya, hakikat dari i’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta’ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut iktikaf.
Syarat bagi orang yang beriktikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas.
Dari keterangan di atas kaum wanita juga dihukumi sunnah ketika beriktikaf di masjid. Sama seperti kaum laki-laki.
Sebagaimana sabda ‘Aisyah Radiyallahu'Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan sampai beliau diwafatkan Allah, kemudian istri-istrinya pun iktikaf setelah itu. (HR. Muttafaq 'Alaih).
Hadits tersebut membuktikan bahwa wanita boleh iktikaf. Dan disyariatkan bagi kaum muslimah yang akan beriktikaf untuk melaksanakannya di masjid-masjid. Tapi tentu dengan tempat yang terpisah dari kaum pria jika perempuan tersebut melakukan iktikaf bersama-sama suaminya.
Jika tidak bersama suami, maka dia harus meminta izin suaminya. Suami juga boleh mengizinkan, boleh juga tidak. Karena iktikaf ini hukumnya sunnah. Kalau saja hukumnya wajib bagi wanita tersebut, maka suaminya tidak boleh melarang dia.
Jumhur ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, Maliki, syafi’i, Hambali, dan lainnya berpandangan bahwa kaum perempuan seperti laki-laki, tidak sah iktikafnya kecuali di masjid. Maka tidak sah iktikaf yang dilaksanakannya di masjid rumahnya.
Namun, ada sedikit ulama yang berpendapat bahwa sah iktikaf seorang wanita yang dilaksanakan di tempat biasa salat di rumahnya.
Misalkan, dari sebagian golongan hanafiyah ada mengatakan iktikafnya wanita adalah di tempat ibadahnya di rumah. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah).
Namun, pendapat jumhur jelas lebih benar, karena pada dasarnya laki-laki dan wanita sama dalam hukum kecuali ada dalil yang menghususkannya.
Namun ada ketentuan khusus bagi kaum wanita yang hendak iktikaf di masjid. Yakni hendaknya mereka izin kepada wali atau suaminya, serta kondisi masjidnya kondusif buat iktikaf kaum wanita.
Sebab, perlu diingat bahwa apabila kondisi diamnya seorang wanita di masjid tidak terjamin keamanannya, seperti keberadaannya di situ membahayakan bagi dirinya atau akan menjadi tontonan, maka ia tidak boleh beriktikaf.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Dari Abu Hurairah ra., Janganlah seorang wanita berpuasa sementara suaminya ada bersamanya, kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara umum bisa diketahui bahwa ibadah iktikaf harus dilakukan di masjid. Tidak boleh di luar masjid. Hal ini karena salah satu rukun iktikaf adalah berdiam di masjid. Ini sesuai dengan Al Baqarah ayat 187 dan perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat iktikaf.
Sesibuk apa pun, hendaknya seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala secara fokus dan total.
Optimalkan waktu 10 hari terakhir bulan Ramadan ini. Raih dan kejar malam Lailatul Qadr dengan khusyuk di masjid. Hidup di dunia hanya persinggahan sementara untuk menuju keabadian akhir.
(wid)