Kiamat Kecil Bernama Kematian, Bukanlah Ketiadaan Hidup Secara Mutlak

Sabtu, 03 Oktober 2020 - 05:00 WIB
loading...
Kiamat Kecil Bernama Kematian, Bukanlah Ketiadaan Hidup Secara Mutlak
Ilustrasi/Ist
A A A
PARA ulama telah membagi kiamat menjadi dua: kiamat shughra dan kimat kubra. Adapun kiamat shughra atau kiamat kecil, adalah kematian setiap manusia. Oleh karena itu, barangsiapa yang datang kematiannya maka telah terjadi kiamat atas dirinya, dan telah sampai waktu yang telah dijanjikan kepadanya. ( )

Disebutkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Aisyah ia berkata : “Beberapa orang Arabi datang kepada Nabi Sholallahu alaihi wa sallam kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang kiamat. Lalu beliau melihat kepada seorang anak yang paling muda di antara mereka, kemudian beliau bersabda:

إِنْ يَعِشْ هَذَا, لاَ يُدْرِكُهُ الْهَرَمُ حَتَّى تَقُوْمَ عَلَيْكُمْ سَاعَتُكُمْ “

Jika anak ini terus berlangsung kehidupannya, maka tidaklah ia sampai pada masa tua kecuali telah datang kiamat atas kalian.”

Yang dimaksudkan dengan kiamat pada hadis ini adalah meninggalnya orang-orang yang ada pada generasi mereka. Dari hadis ini dapat diketahui bahwa kematian yang dialami seseorang dapat dikatakan dengan kiamat. Karena, setiap orang yang mati sesungguhnya ia telah masuk ke dalam hukum alam akhirat, dan telah tegak kiamat atasnya. ( )

Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, permulaan hari akhir adalah kematian. Oleh karena itu, barangsiapa yang meninggal dunia maka ia masuk ke dalam hari akhir. Barangsiapa yang meninggal dunia maka telah selesai dunia atasnya dan masuk ke alam akhirat. Sejak saat itulah dimulainya perkara-perkara akhirat di dalam kuburnya. ( )

Perpindahan
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan).

Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,

ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَٱلَّتِى لَمْ تَمُتْ فِى مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ ٱلَّتِى قَضَىٰ عَلَيْهَا ٱلْمَوْتَ وَيُرْسِلُ ٱلْأُخْرَىٰٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ

"Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."



Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia. "Bukankah kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (di sisi-Nya)?" tulis

Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri seberang.



Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Dalam surat Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan kepada orang-orang kafir.

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

"Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya."



Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.

Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

"Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]: 1-2).

Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

Ketiadaan Hidup di Dunia
Quraish Shihab menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia, dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

"Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS Ali-'Imran [3]: 169).

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ

"Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara' bin Azib, bahwa Rasulullah SAW, bersabda ketika putra beliau, Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia (Ibrahim) ada seseorang yang menyusukannya di surga."



Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik yang tewas dalam peperangan Badar dikuburkan dalam satu perigi oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya, beliau "bertanya" kepada mereka yang telah tewas itu, "Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebutkan nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu). Wahai penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku."



"Rasul, mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah tewas?" tanya para sahabat. Rasul menjawab: "Ma antum hi asma' mimma aqul minhum, walakinnahum la yastathi'una an yujibuni (Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."

Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran dan kehidupan baru.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3176 seconds (0.1#10.140)