Banyak Bertanya Akan Menyulitkan Diri Sendiri?

Rabu, 14 Oktober 2020 - 17:05 WIB
loading...
Banyak Bertanya Akan Menyulitkan Diri Sendiri?
Banyak bertanya dalam urusan yang mubah, akan mempersulit diri sendiri dan orang lain. Maka hal seperti ini diharamkan dalam syariat. Foto ilustrasi/ist
A A A
Kendati bertanya dianjurkan, tapi terlalu banyak bertanya tidak dibolehkan dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak penting. Karena itu disarankan kepada kaum muslimin untuk menahan diri dari menanyakan hal-hal yang tidak penting. Sebab, jawaban dari pertanyaan itu bisa jadi akan menyusahkan diri sendiri dan orang lain

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan berselisih dengan para nabi,” (HR Bukhari dan Muslim).

(Baca juga : Amanah, Tanda-tanda Iman Seorang Mukmin )

Karena banyak bertanya dapat mengantarkan pada cabang persoalan , lalu terbukalah pintu syubhat (racun pemikiran), sehingga membawa pada perselisihan yang banyak, yang nantinya membawa pada kebinasaan.

Bahaya banyak bertanya ini dikisahkan dalam kitabullah. Al-Qur’an telah berkisah tentang Bani Israil yang diperintahkan untuk menyembelih sapi. Setidaknya kisah ini dapat dilihat pada Surat Al-Baqarah mulai dari ayat 67 sampai 71. Di sana diceritakan Bani Israil yang banyak bertanya tentang kriteria sapi itu. Akibatnya pertanyaan-pertanyaan itu justru menyulitkan mereka.

Maka sapi yang mulanya bersifat umum, menjadi semakin spesifik akibat terus ditanyakan: Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, kuning tua warnanaya lagi menyenangkan orang yang memandangnya, belum pernah dipakai untuk membajak tanah , tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak cacat dan tidak ada belangnya. Akhirnya spesifikasi semacam inilah yang justru semakin menyulitkan mereka.

(Baca juga : Meraih Peluang Dekat dengan Rasulullah di Surga, Muliakanlah Anak Yatim )

Dinukil dari kitab 'Khowathir Qur'aniyah/Kunci Memahami Tujuan Surat-Surat Al Qur'an' karya Amru Khalid, dijelaskan mengenai banyak bertanya tersebut.

Abu Hurairah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka.” (HR Muslim)

(Baca juga : Aktivitas Ringan Tapi Ganjaran Pahalanya Besar, Yuk Amalkan! )

Allah Ta'ala berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَسْـَٔلُوا۟ عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْـَٔلُوا۟ عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ ٱلْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا ٱللَّهُ عَنْهَا ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al Maidah: 101).

Ayat tersebut merupakan aturan yang telah dibuat Allah Ta'ala dalam masalah halal dan haram. Banyak orang keliru memahaminya dengan melontarkan banyak pertanyaan dalam urusan yang mubah. Ini mempersulit diri sendiri dan orang lain untuk bertanya sehingga berakibat urusan tersebut ditinggalkan karena banyaknya pertanyaan. Yang demikian itu termasuk ke dalam kategori yang diharamkan.

(Baca juga : Pengembalian Dana Nasabah Jiwasraya Jadi Beban Pemerintah Usai Mantan Bos Ditahan )

Ayat ini menyerukan kepada kita untuk bersikap seimbang (tawazun). Meskipun Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk memenuhi akad (janji), tetapi hal itu tidak lantas mempersulit diri kita sendiri. Dalam ayat tersebut terdapat hubungan yang menakjubkan dengan surat Al- Baqarah tentang kisah penyembelihan sapi oleh Bani Israil.

Allah Ta'ala juga berfirman,

قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِّن قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا۟ بِهَا كَٰفِرِينَ

"Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya." (Al-Maidah: 102).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh umat terdahulu justru mempersulit diri mereka sendiri. Pada akhirnya, mereka tidak mau mentaati hukum yang telah ditetapkan.
Terkait dengan mereka yang disebutkan dalam kisah penyembelihan sapi.

(Baca juga : Prajurit TNI AD Bersaing Jadi Terbaik di MTQ dan Musabaqah Hifdzil Qur'an Kodam I/BB )

Allah Ta'ala berfirman:

قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا ذَلُولٌ تُثِيرُ ٱلْأَرْضَ وَلَا تَسْقِى ٱلْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لَّا شِيَةَ فِيهَا ۚ قَالُوا۟ ٱلْـَٰٔنَ جِئْتَ بِٱلْحَقِّ ۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا۟ يَفْعَلُونَ

"...........Dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu." (QS Al-Baqarah: 71).

Keadaan seperti itu disebabkan mereka banyak bertanya tentang hakikat sapi itu, termasuk warnanya. Padahal hal semacam itu tidak semestinya mereka pertanyakan, sehingga akhirnya hukum yang luas berubah menjadi sempit. Sehubungan dengan makna di atas, Rasulullah SAW dan para sahabatnya memberikan contoh teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi kita semua.

Suatu ketika, Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian untuk melaksanakan haji. "Apakah ia dilaksanakan setiap tahun wahai Rasulullah?" Tanya para sahabat. Rasulullah SAW diam sejenak, kemudian beliau bersabda, Kalau aku katakan ya, tentu ia menjadi wajib."

(Baca juga : Kemenkes Perkuat Posbindu di 80 Ribu Desa Tekan Angka Kematian COVID-19 dengan Komorbid )

Dengan demikian, dalam surat Al-Maidah terdapat arahan supaya berlaku tawazun (seimbang). Komitmen dalam menjalankan semua perintah, larangan, dan menepati akad (janji), dengan tidak mempersulit diri dalam hal-hal yang tidak diperintahkan Allah Ta'ala.

Lalu bagaimana sebaiknya? Apakah sering bertanya atau tidak bertanya sama sekali? Untuk memahami hal ini agar tidak bertolak-belakang atau kontradiktif, Imam An-Nawawi dalam Syarah Matan Arba’in menjelaskan ada tiga macam bentuk pertanyaan.

Imam An-Nawawi mengatakan: “Pertanyaan ada beberapa macam. Pertama, pertanyaan orang awam tentang kewajiban agama, semisal wudhu, shalat, puasa, hukum muamalah, dan lain-lain. Kedua, pertanyaan tafaqquh fid din (pendalaman agama) yang tidak hanya diamalkan untuk diri sendiri, seperti qadha’ dan fatwa, menanyakan hal yang berkaitan dengan persoalan ini adalah fardhu kifayah

(Baca juga : Penyekapan-Penganiayaan Polisi, Pengurus Presidium KAMI Jabar Bakal Diperiksa )

Dan ketiga adalah bertanya tentang sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.Imam An-Nawawi menjelaskan bertanya tentang sesuatu yang tidak penting, yakni pertanyaan yang kalau hal ini ditanyakan bisa jadi akan memberatkan.

Maka jangan menyulitkan diri dengan banyak pertanyaan yang tidak penting atau yang sudah jelas perintah dan larangannya.
Dengan demikian, pada dasarnya bertanya itu diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Bertanya merupakan salah satu jendela pengetahuan. Bertanya akan menerangi jalan dan menghindari kesesatan dalam melangkah.

Maka larangan berlaku untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat dan berlebihan. Karena sangat berbeda orang bertanya untuk menambah ilmu dengan orang yang sekedar main-main, apalagi mencari celah untuk memutarbalikkan fakta.

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1782 seconds (0.1#10.140)