Isra Miraj di Era Covid-19
loading...
A
A
A
Ustaz Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Sebelum saya memasuki aspek-aspek penting dari Isra' Mi'raj, saya ingin merespons kepada pihak-pihak yang berusaha mengaburkan, bahkan membangun keraguan tentang peristiwa agung dalam sejarah Islam ini. Bahkan mereka dengan penuh percaya diri (istilah positif) atau penuh keangkuhan (istilah negatif) mengingkari eksistensi Isra Mi'raj yang telah menjadi konsensus Umat selama ini.
Saya memulai dengan mengutip ayat yang pepuler tentang Perjalanan suci Rasulullah صلى الله عليه وسلم ini: "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya dari masjidil haram ke Masjidil Aqsa, yang Kami telah berkahi di sekitarnya. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha mendengar lagi Maha melihat." (Surah Al-Isra)
Pada umumnya masyarakat awam ketika mendengar kata Isra dan Mi'raj hanya berpatokan kepada satu ayat Al-Qur'an, Surah Al-Isra atau Surah Bani Israil ayat satu. Mereka gagal memahami bahwa Al-Qur'an dalam menyampaikan informasi tentang Al-Haq (kebenaran) tidak memakai rentetang ayat per ayat atau surah per surah. Justru terkadang sebuah masalah hanya menjadi tuntas jika dipahami secara menyeluruh dan sempurna berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Pada sisi lain ada juga pihak-pihak yang mencoba merendahkan posisi Sunnah atau hadits-hadits dalam upaya memahami kebenaran. Seolah hadits-hadits karena sekadar diatributkan ke Rasulullah tidak dapat dijadikan sebagai basis kesimpulkan tentang sebuah kebenaran.
Akibatnya dalam hal Isra Mi'raj ada sekolompok manusia yang merasa pintar, kemudian mengingkari kebenarannya. Mereka kemudian memberikan penafsiran-penafsiran seenak hawa nafsunya sendiri berdasarkan analisa otaknya yang sempit. Dengan otak hawa nafsu itu mereka kemudian menafikan kebenaran Isra, apalagi Mi'raj.
Pemikiran hawa nafsu itu mengatakan bahwa Isra itu sendiri sesungguhnya bukan ke Jerusalem. Tapi perjalanan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Aqsa yang dimaksud adalah "tempat yang jauh". Sehingga ayat itu dipahami secara terbuka. Bukan secara spesifik Jerusalem. Sebagian memahaminya jika Isra pada ayat itu merujuk kepada perjalanan atau Hijrahnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari Makkah ke Madinah.
Pendapat ini batal sekaligus batil dalam banyak hal. Pertama, kalau yang dimaksud adalah Hijrah Rasul, maka saat itu belum ada masjid di Madinah. Justeru masjid pertama yang didirikan oleh Rasul di Madinah adalah masjid Kuba. Kedua hijrah bukan dari masjidil haram awalnya. Tapi dari rumah baginda menuju Gua Tsur lalu ke Madinah.
Mereka kemdian mengingkari eksistensi Mi'raj karena menurutnya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Benarkah tidak disebutkan dalam Al-Qur'an?
Boleh jadi secara literal tidak disebutkan di mana-mana. Tapi memahami ayat-ayat yang diketahui ada relevansinya dengan peristiwa ini menjadikan para Ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut adalah peristiwa Mi'raj (perjalanan ke atas) atau vertikal Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Mari kita lihat lebih rinci beberapa keraguan orang terhadap Isra dan Mi'raj Rasulullah. Baik dari argumentasi rasionalitas, maupun dasar-dasar Syar'i dari Al-Qur'an, Sunnah maupun interpretasi para ulama Islam yang mu'tabar (menjadi rujukan umat).
Pertama, Benarkah Peristiwa Isra Mi'raj ini Tidak Rasional atau Tidak Masuk Akal?
Ada dua hal yang harus kita bedakan ketika kita bersentuhan dengan sesuatu yang berkaitan dengan rasionalitas manusia. Satu, ada hal-hal yang memang tidak rasional. Dua, ada juga hal-hal yang sejatinya rasional, hanya saja akal manusia tidak mampu memahaminya.
Yang pertama adalah hal-hal yang memang secara sederhana dipahami oleh akal. Ambillah sebagai misal 1+1=2. Akal memahaminya secara pasti tanpa penafsiran. Tapi ketika 1+1+1 dipaksakan sama dengan 1, lalu dipaksakan menjadi sebuah konsep yang harus diterima sebagai realita umum maka hasilnya terjatuh ke dalam istilah irrational (tidak masuk akal).
Sementara yang kedua adalah hal-hal yang karena tabiatnya memang kompleks, apalagi bersentuhan dengan isu-isu teologis yang rana dominannya ada pada hati. Hal-Hal seperti itu bukan tidak rasional atau tidak masuk akal. Hanya saja rasionalitas atau akal manusia sangat terbatas memahaminya.
Ambillah contoh lain selain Isra Mi'raj. Kebangkitan dari kubur misalnya. Kalau saja kita memaksakan diri untuk memahaminya dengan akal tentang bagaimana kebangkitan dari kubur itu, kemungkinan besar manusia akan mengingkarinya atau manusia menjadi gila. Kesimpulannya, kebangkitan itu bukan tidak masuk akal. Hanya saja akal manusia sangat terbatas untuk memahaminya.
Demikian halnya dengan Isra Mi'raj. Bukannya tidak masuk akal. Hanya saja akal manusialah yang terbatas dan tidak mampu memahami segala rincian teknis dari prosesnya.
Saya kira landasan terbesar dari rasionalitas Isra Mi'raj adalah bahwa Perjalanan itu memang "aktornya" (pelaku) adalah Allah. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah objek yang diperjalankan. Dan kalau dalam suatu hal Allah sebagai pelaku, apakah hal itu dapat dikategorikan tidak masuk akal?
Oleh karenanya Isra Mi'raj sangat rasional karena Allah yang tidak terbatas kemampuan dan ilmu itu mampu melakukan segala hal yang tidak bertentangan dengan tabiat diriNya sendiri.
Mungkin dalam hal ini ada saja yang mencoba bermain api dan mengatakan bahwa kalau memang Tuhan tidak memiliki batas dalam kemampuan dan ilmu, berarti Tuhan bisa menjadikan diriNya dalam wujud manusia?
Jelas ini tidak rasional. Karena kontra terhadap kekuasaan dan tabiatNya Sebagai Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak punya keterbatasan. Tapi di sisi lain Tuhan tidak akan melakukan sesuatu yang justru menjatuhkan dirinya kepada keterbatasan. Mewujudkan diriNya menjadi makhluk berarti menjadikan Allah terbatas. Maka di sini terjadi "self contradictory" atau paradoks dari ketuhanan itu sendiri.
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Sebelum saya memasuki aspek-aspek penting dari Isra' Mi'raj, saya ingin merespons kepada pihak-pihak yang berusaha mengaburkan, bahkan membangun keraguan tentang peristiwa agung dalam sejarah Islam ini. Bahkan mereka dengan penuh percaya diri (istilah positif) atau penuh keangkuhan (istilah negatif) mengingkari eksistensi Isra Mi'raj yang telah menjadi konsensus Umat selama ini.
Saya memulai dengan mengutip ayat yang pepuler tentang Perjalanan suci Rasulullah صلى الله عليه وسلم ini: "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya dari masjidil haram ke Masjidil Aqsa, yang Kami telah berkahi di sekitarnya. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha mendengar lagi Maha melihat." (Surah Al-Isra)
Pada umumnya masyarakat awam ketika mendengar kata Isra dan Mi'raj hanya berpatokan kepada satu ayat Al-Qur'an, Surah Al-Isra atau Surah Bani Israil ayat satu. Mereka gagal memahami bahwa Al-Qur'an dalam menyampaikan informasi tentang Al-Haq (kebenaran) tidak memakai rentetang ayat per ayat atau surah per surah. Justru terkadang sebuah masalah hanya menjadi tuntas jika dipahami secara menyeluruh dan sempurna berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Pada sisi lain ada juga pihak-pihak yang mencoba merendahkan posisi Sunnah atau hadits-hadits dalam upaya memahami kebenaran. Seolah hadits-hadits karena sekadar diatributkan ke Rasulullah tidak dapat dijadikan sebagai basis kesimpulkan tentang sebuah kebenaran.
Akibatnya dalam hal Isra Mi'raj ada sekolompok manusia yang merasa pintar, kemudian mengingkari kebenarannya. Mereka kemudian memberikan penafsiran-penafsiran seenak hawa nafsunya sendiri berdasarkan analisa otaknya yang sempit. Dengan otak hawa nafsu itu mereka kemudian menafikan kebenaran Isra, apalagi Mi'raj.
Pemikiran hawa nafsu itu mengatakan bahwa Isra itu sendiri sesungguhnya bukan ke Jerusalem. Tapi perjalanan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Aqsa yang dimaksud adalah "tempat yang jauh". Sehingga ayat itu dipahami secara terbuka. Bukan secara spesifik Jerusalem. Sebagian memahaminya jika Isra pada ayat itu merujuk kepada perjalanan atau Hijrahnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari Makkah ke Madinah.
Pendapat ini batal sekaligus batil dalam banyak hal. Pertama, kalau yang dimaksud adalah Hijrah Rasul, maka saat itu belum ada masjid di Madinah. Justeru masjid pertama yang didirikan oleh Rasul di Madinah adalah masjid Kuba. Kedua hijrah bukan dari masjidil haram awalnya. Tapi dari rumah baginda menuju Gua Tsur lalu ke Madinah.
Mereka kemdian mengingkari eksistensi Mi'raj karena menurutnya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Benarkah tidak disebutkan dalam Al-Qur'an?
Boleh jadi secara literal tidak disebutkan di mana-mana. Tapi memahami ayat-ayat yang diketahui ada relevansinya dengan peristiwa ini menjadikan para Ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut adalah peristiwa Mi'raj (perjalanan ke atas) atau vertikal Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Mari kita lihat lebih rinci beberapa keraguan orang terhadap Isra dan Mi'raj Rasulullah. Baik dari argumentasi rasionalitas, maupun dasar-dasar Syar'i dari Al-Qur'an, Sunnah maupun interpretasi para ulama Islam yang mu'tabar (menjadi rujukan umat).
Pertama, Benarkah Peristiwa Isra Mi'raj ini Tidak Rasional atau Tidak Masuk Akal?
Ada dua hal yang harus kita bedakan ketika kita bersentuhan dengan sesuatu yang berkaitan dengan rasionalitas manusia. Satu, ada hal-hal yang memang tidak rasional. Dua, ada juga hal-hal yang sejatinya rasional, hanya saja akal manusia tidak mampu memahaminya.
Yang pertama adalah hal-hal yang memang secara sederhana dipahami oleh akal. Ambillah sebagai misal 1+1=2. Akal memahaminya secara pasti tanpa penafsiran. Tapi ketika 1+1+1 dipaksakan sama dengan 1, lalu dipaksakan menjadi sebuah konsep yang harus diterima sebagai realita umum maka hasilnya terjatuh ke dalam istilah irrational (tidak masuk akal).
Sementara yang kedua adalah hal-hal yang karena tabiatnya memang kompleks, apalagi bersentuhan dengan isu-isu teologis yang rana dominannya ada pada hati. Hal-Hal seperti itu bukan tidak rasional atau tidak masuk akal. Hanya saja rasionalitas atau akal manusia sangat terbatas memahaminya.
Ambillah contoh lain selain Isra Mi'raj. Kebangkitan dari kubur misalnya. Kalau saja kita memaksakan diri untuk memahaminya dengan akal tentang bagaimana kebangkitan dari kubur itu, kemungkinan besar manusia akan mengingkarinya atau manusia menjadi gila. Kesimpulannya, kebangkitan itu bukan tidak masuk akal. Hanya saja akal manusia sangat terbatas untuk memahaminya.
Demikian halnya dengan Isra Mi'raj. Bukannya tidak masuk akal. Hanya saja akal manusialah yang terbatas dan tidak mampu memahami segala rincian teknis dari prosesnya.
Saya kira landasan terbesar dari rasionalitas Isra Mi'raj adalah bahwa Perjalanan itu memang "aktornya" (pelaku) adalah Allah. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah objek yang diperjalankan. Dan kalau dalam suatu hal Allah sebagai pelaku, apakah hal itu dapat dikategorikan tidak masuk akal?
Oleh karenanya Isra Mi'raj sangat rasional karena Allah yang tidak terbatas kemampuan dan ilmu itu mampu melakukan segala hal yang tidak bertentangan dengan tabiat diriNya sendiri.
Mungkin dalam hal ini ada saja yang mencoba bermain api dan mengatakan bahwa kalau memang Tuhan tidak memiliki batas dalam kemampuan dan ilmu, berarti Tuhan bisa menjadikan diriNya dalam wujud manusia?
Jelas ini tidak rasional. Karena kontra terhadap kekuasaan dan tabiatNya Sebagai Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak punya keterbatasan. Tapi di sisi lain Tuhan tidak akan melakukan sesuatu yang justru menjatuhkan dirinya kepada keterbatasan. Mewujudkan diriNya menjadi makhluk berarti menjadikan Allah terbatas. Maka di sini terjadi "self contradictory" atau paradoks dari ketuhanan itu sendiri.