Mengapa Sandal Rasulullah SAW Diizinkan Menembus Sidratul Muntaha?

Rabu, 10 Maret 2021 - 21:31 WIB
loading...
Mengapa Sandal Rasulullah SAW Diizinkan Menembus Sidratul Muntaha?
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
A A A
Ustaz DR Miftah el-Banjary
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Komunitas Indonesia-Malaysia

Perjalanan Isra Miraj merupakan bentuk kecintaan Allah Ta'ala pada kekasih-Nya Rasulullah Al-Musthafa صلى الله عليه وسلم. Sebuah perjalanan melintasi berbagai dimensi waktu yang sangat mengagumkan di luar nalar batas logika manusia. Oleh karena itulah, mengapa perjalanan Isra Mi'raj yang terjadi dalam satu malam itu disebut sebagai "Mukjizatul Kubra" atau mukjizat terbesar.

Perjalanan Isra dan Mi'raj, paling tidak melalui tiga dimensi alam, yaitu Alam Nur (Light Dimensions), Alam Malakut (Angelic Dimensions) dan Alam Lahut (God dimensions).

Untuk lebih jelasnya saya akan coba jelaskan satu persatu:

1. Perjalanan Lintas Alam Nur (Light Dimensions).
Perjalanan lintas ini ditempuh saat proses perjalanan Isra' dari Masjidil Haram di Kota Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina dengan kendaraan bernama Buraq dengan kecepatan cahaya. Kata "Al-Buraq" sendiri berarti kendaraan cahaya, sebab kata “Al-Buraq” terambil dari “Al-Barq” yang berarti kilatan cahaya yang menyambar.

Perjalanan yang ditempuh dengan menggunakan kendaraan fisik antara Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha -paling tidak akan dicapai selama 40 hari perjalanan dengan menggunakan tunggangan unta ketika itu- sebab jarak antara Makkah-Palestina kurang lebih 1.500 Km. Namun, dengan kecepatan cahaya "Buraq" tersebut, perjalanan Rasulullah صلى الله عليه وسلم hanya membutuhkan waktu seper-sekian detik saja. Ini tentu merupakan bukti kekuasaan Allah yang tak perlu kita ragukan lagi bagi orang-orang yang beriman.

2. Perjalanan Lintas Alam Malakut (Angelic Dimension).
Perjalanan ini terjadi saat perjalanan dari Masjidil Aqsha baginda Nabi Muhammad bersama Jibril naik menembus ke batas langit pertama hingga ke langit yang ketujuh.

Di setiap fase tingkatan langit tersebut, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bertemu dan disambut oleh para penghuninya. Diantaranya, di langit pertama Rasulullah bertemu dengan Nabi Adam as. Langit kedua bertemu Nabi Yahya dan Isa. Langit ketiga bertemu Nabi Yusuf. Langit keempat bertemu Nabi Idris. Langit kelima bertemu Nabi Harun. Langit keenam bertemu Nabi Musa. Langit ketujuh bertemu Nabi Ibrahim alaihimissalam.

Bukan sekadar perjumpaan dengan roh para Nabi dan Rasul tersebut di atas, namun Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم juga menjumpai milyaran malaikat yang menyambut kedatangannya.

Sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab "Ad-Dhur Manzhud fi Shalawat was Salam ‘ala Shahib al-Maqam al-Mahmud" bahwa pada malam itu, ada seorang Malaikat yang tidak berdiri menghormati kedatangan Rasulullah, Malaikat itu pun dipatahkan sayapnya dan dijatuhkan di atas Jabal Qaf, hingga malaikat Jibril pun memintakan ampunan kepada Allah melalui shalawat yang dibaca Malaikat tersebut untuk baginda Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

3. Perjalanan Lintas Alam Lahut (Godhead Dimensions).
Perjalanan ini terjadi manakala Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersama Jibril melewati batas ambang dimensi langit ke-7 dan akan masuk melanjutkan ke dimensi yang lebih tinggi bernama “Sidratul Muntaha”.

Ada riwayat yang meriwayatkan bahwa kata "Sidrah" berarti daun, sedangkan "Al-Muntaha" berarti puncak terakhir. Sidratul Muntaha bisa dipahami sebagai daun yang lebar hingga meliputi Kursi yang luasnya jauh melebihi langit dan bumi. Ada pula yang memahami "Sidratul Muntaha" merupakan pohon pokok kehidupan. Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Sidratul Muntaha sebuah dimensi puncak yang berada setelah langit yang ke-7.

Pada batas ambang "Sidratul Muntaha" inilah puncak batasan malaikat Jibril yang hanya diizinkan oleh Allah untuk mengantar dan menemani Rasulullah. Selanjutnya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم sendirilah yang hanya diizinkan untuk bertemu dengan Allah Rabbu Jalaaluhu secara langsung tanpa hijab dan batasan, sebagaimana yang disebutkan pada ayat “Fakaana Qaaba Qausaini aw Adna”.

Al-Imam Abu Laits Nashruddin Muhammad As-Samarqandi di dalam Kitab At-Tanbighul Ghafilin menyebutkan dialog itu pada peristiwa kisah Mi’raj tersebut:

"Manakala Nabi naik dan masuk ke batasan “Sidratul Muntaha” Jibril tak ikut naik menemaninya. Nabi bertanya. "Tidakkah engkau ikut masuk bersamaku, wahai Jibril?" tanya Rasulullah.

Sayyidina Jibril menjawab, "Tidaklah ada seorang pun yang diizinkan masuk melewati batas ini, melainkan hanya engkau ya Muhammad, sebab engkau merupakan seorang makhluk yang paling dikasihi Allah. Aku hanya diizinkan mengantar engkau sampai di sini, duhai Rasulullah! Sekiranya aku paksakan untuk tetap masuk, niscaya batang tubuhku akan terbakar dan melebur sirna," jawab Jibril.

Akhirnya, hanya baginda Rasulullah sendiri yang diizinkan masuk naik menembus wilayah Sidratul Muntaha tersebut -tanpa seorang pun yang pernah diizinkan masuk- kecuali hanya satu-satunya baginda kita Rasulullah sesuai dengan maqam dan derajatnya yang tinggi melebihi maqam para malaikat dan para nabi.

Hal itulah yang pernah disebutkan oleh Al-Imam Buhsiri mengenai ketinggian maqam serta kemuliaan derajat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dibandingkan para Nabi dan Rasul lainnya di dalam qasidah al-Burdah:

"Maqam Nabi mengungguli para Nabi dalam penciptaan dan akhlak.# Tiada tertandingi dalam hal ilmu dan kemuliaan.

Di sanalah Rasulullah menghadap Allah Rabbu Jalaalahu yang bersifat "Laitsa Kamitsilihi Syai'un" (Allah yang tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apa pun). Di sanalah Rasulullah mengucapkan tahiyyat salam; Attihiyatul Mubarakatus Shalawatut Thaibatulillah. Di sanalah terjadi dialog yang mesra dan saling memuliakan antara baginda Rasulullah Saw dengan Allah Swt; sebagaimana bacaan yang kita baca dalam tasyahud pada bacaan shalat kita.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3503 seconds (0.1#10.140)