Yuk, Tahan Lisan untuk Mengomentari Makanan
loading...
A
A
A
Muslimah, kebiasaan mengomentari makanan sepertinya sudah sangat biasa dalam masyarakat kita. Dan mungkin, tanpa sadar, kita sendiri pun kerap melakukannya. Padahal, mengomentari makanan adalah akhlak tercela yang harus ditinggalkan kaum muslimin . Karena itu, tahanlah lisan untuk mengomentari makanan
Baca juga: Malaikat Mu’aqibat, Inilah Malaikat Para Penjaga Manusia
Tidak jarang saat ditawari tempat makan yang akan dikunjungi, sadar atau tidak kita telah mengomentari makanan pada tempat-tempat tersebut. “Duh, jangan di resto ini deh, dagingnya kurang empuk", “Eh, jangan di sana ah, kuah kaldunya kurang terasa," dan komentar-komentar lainnya, yang cenderung bersifat celaan. Contoh-contoh seperti ini sangat akrab dalam kehidupan kita, bahkan dianggap lumrah dan biasa .
Sebenarnya, menikmati makanan yang dimiliki adalah bagian dari bentuk syukur nikmat atas rezeki yang Allah berikan. Menurut Ustadz Fajar Jaganagara, dai yang rajin menulis di laman dakwah ini, menyebutkan, dengan tidak mengomentari dengan celaan atas makanan adalah wujud beryukur atas nikmat yang masih diberikan.
Adalah akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam soal makanan begitu menakjubkan. Banyak riwayat kesaksian para sahabat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi was allam adalah pribadi yang begitu sederhana dalam hal makanan.
Bahkan beliau cenderung lebih sering kelaparan dan kekurangan. Seperti yang dituturkan oleh ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan kondisi rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلَاثَ لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ
“Tidak pernah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kenyang sejak tiba di Madinah dari makan gandum untuk tiga hari berturut-turut hingga beliau wafat.” (HR.Bukhari)
Penuturan yang sama juga datang dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang sering membersamai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
وَالَّذِى نَفْسُ أَبِى هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ مَا شَبِعَ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَهْلُهُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ تِبَاعًا مِنْ خُبْزِ حِنْطَةٍ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
“Demi jiwa Abi Hurairah yang berada dalam genggaman-Nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang untuk tiga hari berturut-turut dari makanan gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Muslim)
Rasulullah begitu menghormati makanan apa pun yang disajikan kepadanya. Apa yang beliau sukai maka dimakan, adapun yang kurang diminati maka beliau tinggalkan tanpa komentar berlebihan.
Nabi Tidak Mencela Makanan
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menghapal kebiasaan Nabi yang satu ini. Bahwa termasuk akhlak nubuwah yang diteladankan Nabi kepada umatnya adalah; tidak sekalipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela makanan.
قَالَ مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- طَعَامًا قَطُّ كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
"Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya, jika beliau tidak suka, beliau meninggalkannya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Baca juga: Malaikat Mu’aqibat, Inilah Malaikat Para Penjaga Manusia
Tidak jarang saat ditawari tempat makan yang akan dikunjungi, sadar atau tidak kita telah mengomentari makanan pada tempat-tempat tersebut. “Duh, jangan di resto ini deh, dagingnya kurang empuk", “Eh, jangan di sana ah, kuah kaldunya kurang terasa," dan komentar-komentar lainnya, yang cenderung bersifat celaan. Contoh-contoh seperti ini sangat akrab dalam kehidupan kita, bahkan dianggap lumrah dan biasa .
Sebenarnya, menikmati makanan yang dimiliki adalah bagian dari bentuk syukur nikmat atas rezeki yang Allah berikan. Menurut Ustadz Fajar Jaganagara, dai yang rajin menulis di laman dakwah ini, menyebutkan, dengan tidak mengomentari dengan celaan atas makanan adalah wujud beryukur atas nikmat yang masih diberikan.
Adalah akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam soal makanan begitu menakjubkan. Banyak riwayat kesaksian para sahabat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi was allam adalah pribadi yang begitu sederhana dalam hal makanan.
Bahkan beliau cenderung lebih sering kelaparan dan kekurangan. Seperti yang dituturkan oleh ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan kondisi rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلَاثَ لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ
“Tidak pernah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kenyang sejak tiba di Madinah dari makan gandum untuk tiga hari berturut-turut hingga beliau wafat.” (HR.Bukhari)
Penuturan yang sama juga datang dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang sering membersamai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
وَالَّذِى نَفْسُ أَبِى هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ مَا شَبِعَ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَهْلُهُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ تِبَاعًا مِنْ خُبْزِ حِنْطَةٍ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
“Demi jiwa Abi Hurairah yang berada dalam genggaman-Nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang untuk tiga hari berturut-turut dari makanan gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Muslim)
Rasulullah begitu menghormati makanan apa pun yang disajikan kepadanya. Apa yang beliau sukai maka dimakan, adapun yang kurang diminati maka beliau tinggalkan tanpa komentar berlebihan.
Nabi Tidak Mencela Makanan
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menghapal kebiasaan Nabi yang satu ini. Bahwa termasuk akhlak nubuwah yang diteladankan Nabi kepada umatnya adalah; tidak sekalipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela makanan.
قَالَ مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- طَعَامًا قَطُّ كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
"Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya, jika beliau tidak suka, beliau meninggalkannya.” (Muttafaq ‘alaihi)