Anjing Tidak Najis, Gus Baha Lebih Condong ke Mazhab Maliki?
loading...
A
A
A
“Misalkan ada kijang lari kalian panah itu halal tanpa disembelih. Diburu hewan yang sudah dilatih, itu yang halal tanpa harus disembelih. Standarnya memang seperti itu,” ucapnya. “Makanya ketika Nabi ditanya hewan yang halal itu apa saja? yaitu yang disembelih dan yang dicengkram oleh pemburu yang sudah dilatih,” lanjutnya.
Menjadi Najis
Gus Baha menjelaskan, anjing menjadi najis di periode Syafiiyah bukan di masa Imam Syafii . Karena ketika Imam Syafii hidup, masih banyak orang memelihara anjing.
“Ketika periode Syafi’iyah dan kebetulan mazhab Syafi’i yang paling dominan di Indonesia, lantas orang mengira anjing itu najis. Konsekuensi dari dikira najis maka anjing diburu dijauhi dibenci," jelas Gus Baha.
Ia lalu menjelaskan posisi anjing dalam konteks Indonesia. Menurutnya, masih ada anggapan jika ada desa yang ada anjingnya berarti abangan, kalau tidak ada anjing daerah santri.
“Zaman saya kecil membunuh anjing itu seperti ibadah. Tapi di saat yang sama, santri mengakui kalau hewannya ashabul kahfi itu anjing. Juga mengakui kalau hewan paling pintar itu anjing. apalagi intelijen, kepolisian, badan narkoba tetap mengakui bahwa hewan yang paling mudah diajari adalah anjing,” ujarnya.
Menurut Gus Baha, itu jelas membuktikan ilmiahnya Al-Quran. Karena Al-Quran sendiri mengakui hewan terpelajar contohnya apa wa mā 'allamtum minal-jawāriḥi mukallibīna.
“Mahzab Syafi’iyah menganggap anjing itu najis, kita lupa keistimewaan anjing. Padahal itu tidak bertentangan. Kalau anjing memang dianggap pintar, kalau itu dikatakan najis biar tidak kamu sembelih dan dijadikan ternak. Justru barang istimewa itu tidak perlu dibunuh. Karena istimewa. Kalau anjing kamu samakan dengan ayam nanti disate terus cepat habis,” kata Gus Baha.
Salah satu ulama yang menafsiri bahwa hewan pemburu dalam surat Al Maidah ayat 4 itu anjing adalah Imam Suyuthi Imam Suyuthi bermazhab Syafii tapi dalam hal seperti ini, kata Gus Baha, ia bebas bermazhab. Makanya beliau menafsiri “ayyi al-kawasib min al-kilab”, yaitu hewan terlatih dari jenis anjing.
Gus Baha lalu membacakan teks asli hadis Nabi Muhammad SAW yang ditafsiri sebagai najis. Teks asli hadis Nabi SAW itu berbunyi “Kalau anjing itu menjilat di antara wadah kamu maka basuhlah tujuh kali”.
“Jadi nabi mengistilahkan ada wadah, ada yang menjilat. Nah yang membuat itu menjadi ekstrem ada istilah menjilat. Wadah itu bisa wadah minum atau wadah bersuci,” kata Gus Baha.
Menurut Gus Baha, Imam Malik mengatakan nyuruh membasuh itu tidak selalu najis. Barang kotor yang bukan termasuk najis juga disuruh membasuh.
“Jika anda punya baju kotor walaupun tidak najis juga disuruh membasuh. Sudah gitu ditambah wadah. Wadah itu memang barang spesial. Yang namanya jok tidak perlu dicuci, tapi kalau gelas yang tetap harus dicuci. karena kaitannya dengan kesehatan. Makanya Imam Malik tetap ngotot bahwa anjing itu tidak najis sama sekali,” jelasnya.
Soal dibasuh tujuh kali, Gus Baha memaparkan, benar Nabi menyuruh membasuh tujuh kali. "tapi tidak ada konsekuensi itu menjadi vonis najis. karena secara logika ijtihad istilahnya nabi itu wadah dan menjilat. apalagi kalau kalian menguasai ilmu medis. Efek yang ditimbulkan hanya sekadar memegang dengan efek menjilat itu bedanya jauh. Makanya Imam Malik memutuskan tidak ada kaitannya dengan najis,” tambahnya lagi.
Malaikat Rahmat
Ini berbeda dengan Imam Syafii. Imam Syaffi berpandangan bukan hanya menjilat, memegang saja najis. Ditambah lagi adanya hadis nabi SAW mengenai malaikat tidak akan masuk ke rumah kalian yang ada anjing.
Akhirnya orang yang di rumahnya ada anjing dianggap tidak barokah. Kata Gus Baha, ulama menafisiri yang dimaksud malaikat di hadis nabi SAW itu adalah malaikat rahmat. Sementara kalau malaikat azab, malaikat maut bisa masuk lancar.
“Ulama sufi protes. tidak ada orang yang tidak mendapat rahmat ada anjingnya atau tidak ada anjingnya. Apakah jika ada anjingnya lantas tidak ada rahmat Allah? Ya tetap ada kan jawabannya. Nyatanya orang yang punya anjing tetap bisa makan. Berarti mendapat rahmat,” tutur Gus Baha.
Akhirnya, kata dia, ulama-ulama sufi menafsiri hadis nabi SAW itu bahasa kinayah. “Jadi nabi SAW bersabda seperti itu kinayah. Malaikat itu tidak masuk hati di mana hati itu ada mental pemabuk dan ingin barangnya orang lain. Ulama sufi menafsiri yang dimaksud anjing di situ adalah tamak. Orang Islam hatinya tidak akan ditempati malaikat jika hatinya punya mental tamak,” kata Gus Baha.
Menurutnya, apapun perbedaan ulama, Al-Quran itu lebih jujur lebih objektif bahwa anjing itu hewan yang mudah dilatih.
Menjadi Najis
Gus Baha menjelaskan, anjing menjadi najis di periode Syafiiyah bukan di masa Imam Syafii . Karena ketika Imam Syafii hidup, masih banyak orang memelihara anjing.
“Ketika periode Syafi’iyah dan kebetulan mazhab Syafi’i yang paling dominan di Indonesia, lantas orang mengira anjing itu najis. Konsekuensi dari dikira najis maka anjing diburu dijauhi dibenci," jelas Gus Baha.
Ia lalu menjelaskan posisi anjing dalam konteks Indonesia. Menurutnya, masih ada anggapan jika ada desa yang ada anjingnya berarti abangan, kalau tidak ada anjing daerah santri.
“Zaman saya kecil membunuh anjing itu seperti ibadah. Tapi di saat yang sama, santri mengakui kalau hewannya ashabul kahfi itu anjing. Juga mengakui kalau hewan paling pintar itu anjing. apalagi intelijen, kepolisian, badan narkoba tetap mengakui bahwa hewan yang paling mudah diajari adalah anjing,” ujarnya.
Menurut Gus Baha, itu jelas membuktikan ilmiahnya Al-Quran. Karena Al-Quran sendiri mengakui hewan terpelajar contohnya apa wa mā 'allamtum minal-jawāriḥi mukallibīna.
“Mahzab Syafi’iyah menganggap anjing itu najis, kita lupa keistimewaan anjing. Padahal itu tidak bertentangan. Kalau anjing memang dianggap pintar, kalau itu dikatakan najis biar tidak kamu sembelih dan dijadikan ternak. Justru barang istimewa itu tidak perlu dibunuh. Karena istimewa. Kalau anjing kamu samakan dengan ayam nanti disate terus cepat habis,” kata Gus Baha.
Salah satu ulama yang menafsiri bahwa hewan pemburu dalam surat Al Maidah ayat 4 itu anjing adalah Imam Suyuthi Imam Suyuthi bermazhab Syafii tapi dalam hal seperti ini, kata Gus Baha, ia bebas bermazhab. Makanya beliau menafsiri “ayyi al-kawasib min al-kilab”, yaitu hewan terlatih dari jenis anjing.
Gus Baha lalu membacakan teks asli hadis Nabi Muhammad SAW yang ditafsiri sebagai najis. Teks asli hadis Nabi SAW itu berbunyi “Kalau anjing itu menjilat di antara wadah kamu maka basuhlah tujuh kali”.
“Jadi nabi mengistilahkan ada wadah, ada yang menjilat. Nah yang membuat itu menjadi ekstrem ada istilah menjilat. Wadah itu bisa wadah minum atau wadah bersuci,” kata Gus Baha.
Menurut Gus Baha, Imam Malik mengatakan nyuruh membasuh itu tidak selalu najis. Barang kotor yang bukan termasuk najis juga disuruh membasuh.
“Jika anda punya baju kotor walaupun tidak najis juga disuruh membasuh. Sudah gitu ditambah wadah. Wadah itu memang barang spesial. Yang namanya jok tidak perlu dicuci, tapi kalau gelas yang tetap harus dicuci. karena kaitannya dengan kesehatan. Makanya Imam Malik tetap ngotot bahwa anjing itu tidak najis sama sekali,” jelasnya.
Soal dibasuh tujuh kali, Gus Baha memaparkan, benar Nabi menyuruh membasuh tujuh kali. "tapi tidak ada konsekuensi itu menjadi vonis najis. karena secara logika ijtihad istilahnya nabi itu wadah dan menjilat. apalagi kalau kalian menguasai ilmu medis. Efek yang ditimbulkan hanya sekadar memegang dengan efek menjilat itu bedanya jauh. Makanya Imam Malik memutuskan tidak ada kaitannya dengan najis,” tambahnya lagi.
Malaikat Rahmat
Ini berbeda dengan Imam Syafii. Imam Syaffi berpandangan bukan hanya menjilat, memegang saja najis. Ditambah lagi adanya hadis nabi SAW mengenai malaikat tidak akan masuk ke rumah kalian yang ada anjing.
Akhirnya orang yang di rumahnya ada anjing dianggap tidak barokah. Kata Gus Baha, ulama menafisiri yang dimaksud malaikat di hadis nabi SAW itu adalah malaikat rahmat. Sementara kalau malaikat azab, malaikat maut bisa masuk lancar.
“Ulama sufi protes. tidak ada orang yang tidak mendapat rahmat ada anjingnya atau tidak ada anjingnya. Apakah jika ada anjingnya lantas tidak ada rahmat Allah? Ya tetap ada kan jawabannya. Nyatanya orang yang punya anjing tetap bisa makan. Berarti mendapat rahmat,” tutur Gus Baha.
Akhirnya, kata dia, ulama-ulama sufi menafsiri hadis nabi SAW itu bahasa kinayah. “Jadi nabi SAW bersabda seperti itu kinayah. Malaikat itu tidak masuk hati di mana hati itu ada mental pemabuk dan ingin barangnya orang lain. Ulama sufi menafsiri yang dimaksud anjing di situ adalah tamak. Orang Islam hatinya tidak akan ditempati malaikat jika hatinya punya mental tamak,” kata Gus Baha.
Menurutnya, apapun perbedaan ulama, Al-Quran itu lebih jujur lebih objektif bahwa anjing itu hewan yang mudah dilatih.
(mhy)