Inilah Hikmah dan Manfaat Puasa Sunnah Syawal
loading...
A
A
A
Setelah menyelesaikan puasa Ramadhan, umat Islam juga dianjurkan mengamalkan 6 hari puasa Syawal setelah merayakan Idul Fitri. Banyak keistimewaan dan hikmah serta manfaat dari puasa Syawal ini. Apa saja hikmah dan manfaatnya ?
Anjuran melaksanakan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal, tercantum dalam hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini: Dari Abu Ayub Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa selama 6 hari di bulan syawwal, maka seolah-olah ia telah berpuasa dahr penuh.” (HR. Muslim)
Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaaan puasa 6 hari pada bulan syawwal, dan yang dimaksud dengan “ad-Dahr” di sini adalah setahun, maknanya, seakan-akan ia telah berpuas setahun penuh. Disebutkan dalam riwayat an-Nasa-i,
جعل الله الحسنة بعشرة أمثالها. فشهر بعشرة أشهر، وصيام ستة أيام بعد الفطر تمام السنة
“Allah menjadikan kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. (puasa) sebulan dibalas dengan (pahala puasa) 10 bulan, dan berpuasa selama 6 hari (di bulan Syawwal) setelah idul fithri sebagai penyempurna (puasa) setahun.” (HR. an-Nasa-i, di dalam al-Kubra 2/162 dari hadis Tsuban)
Mengutip tulisan Ustadz Amar Abdullah bin Syakir, dai yang aktif di Yayasan Hisbah, dijelaskan, bahwa hadis ini termasuk karunia Allah yang diberikan kepada hambaNya, mendapatkan pahala puasa setahun dengan tanpa kepayahan. Dan inilah hikmah dilakukannya puasa (sunnah) 6 hari (di bulan Syawwal). Wallahu a’lam.
Oleh karenanya, selayaknya seorang muslim berpuasa 6 hari ini agar ia mendapatkan keuntungan dengan meraih keutamaan yang agung ini. Dan, merupakan pertanda diterimanya ketaatan adalah disambungnya ketaatan tersebut dengan ketaatan yang lainnya. Puasa hari-hari ini (yakni, 6 hari di bulan Syawwal) merupakan dalil yang menunjukkan kesukaan pelakunya terhadap puasa dan bahwa ia tidak merasa bosan untuk melakukannya, tidak pula merasa berat.
Seperti diketahui puasa termasuk amal yang paling utama dalam Islam. Dan di antara buah dari puasa sunnah adalah bahwa hal tersebut menambal kekurangan yang terjadi pada perkara fardhu yang telah dilakukan.
Dalam hal tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat, ar-rabb tabaraka wata‘ala berfirman,
انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ كَذَلِكَ
“Lihatlah apakah hambaku mempunyai amal sunnah? maka dengan amal sunnah tersebut Allah menyempurnakan kekurangan amal fardhu yang telah dikerjakannya. Kemudian, seluruh amalnya demikian halnya.” (HR. an-Nasa-i, di dalam al-Kubra 2/162 dari hadis Tsuban)
Demikian juga, puasa sunnah menjadikan seorang muslim meningkat derajatnya dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Mendapatkan tambahan kecintaan dariNya. Seperti dalam hadis qudsi,
“ما تقرّب إلى عبدي بأفضل مما افترضته عليه، ولا يزال عبدي يتقرب إليّ بالنوافل حتى أحبّه… الحديث”
“Tidaklah seorang hamba bertaqaruub (mendekatkan diri) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih utama daripada dengan apa yang Aku fardhukan kepadanya, dan seorang hamba yang terus bertaqarrub (mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah hingga aku pun mencintainya… al-hadis.” (HR. al-Bukhari)
Yang utama adalah hendaknya puasa 6 hari ini dilakukan secara berurutan. Boleh juga untuk dilakukan secara terpisah selama dalam bulan syawwal. Berkata di dalam Subulus Salam, “Dan ketahuilah bahwa pahala puasanya diperoleh bagi orang yang berpuasa secara terpisah maupun secara berurutan, baik hal tersebut dilakukan setelah ‘idul fithri atau di pertengahan bulan, (Subulussalam, 2/331).
Hanya saja puasa yang dilakukan setelah Idul Fitri memiliki beberapa keistimewaan dari beberapa aspek, antara lain:
1. Hal tersebut merupakan bentuk bergegas untuk melakukan kebaikan.
2. Bersegara melakukannya merupakan bukti yang menunjukkan kesukaan untuk melakukan puasa dan tidak merasa bosan.
3. Untuk menghindari dari sesuatu yang mungkin akan menghalanginya untuk melakukannya bila ia menunda pelaksanaannya.
4. Bahwa puasa 6 hari setelah Ramadhan seperti shalat sunnah bersama dengan shalat fardhu, oleh kerena itu hal tesrebut dilakukan setelahnya.
Dan barangsiapa memiliki kewajiban mengqadha puasa, maka hal tersebut dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian berpuasa 6 hari bulan Syawal, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
(Barangsiapa telah berpuasa ramadhan) dan siapa yang masih memiliki tanggungan (puasa) beberapa hari ramadhan, maka tidak benar dikatakan telah berpuasa ramadhan sehingga ia mengqodhanya baru kemudian berpuasa 6 hari ini. Dan karena bergegas untuk melaksanakan sesuatu yang wajib dan berlepas diri dari tanggungan merupakan perkara yang diminta dari seorang mukallaf (yang dibebani untuk menunaiakan kewajiban-kewajiban agama).
Ada sebagian ahli ilmu yang berpendapat, wajibnya menunaikan puasa qadha sebelum ia bepuasa sunnah.
Tindakan kehati-hatian seorang muslim adalah ia berpuasa yang masih dalam tanggungannya baru kemudian berpuasa sunnah berupa puasa 6 hari di bulan syawal dan puasa sunnah yang lainnya. Namun, jika ia berpuasa sunnah, maka puasanya sah sementara ia masih tetap berkewajiban untuk menunaikan puasa yang masih dalam tanggungannya. (Al-Qawa-id, Ibnu Rajab)
Wallahu A'lam
Anjuran melaksanakan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal, tercantum dalam hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini: Dari Abu Ayub Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa selama 6 hari di bulan syawwal, maka seolah-olah ia telah berpuasa dahr penuh.” (HR. Muslim)
Baca Juga
Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaaan puasa 6 hari pada bulan syawwal, dan yang dimaksud dengan “ad-Dahr” di sini adalah setahun, maknanya, seakan-akan ia telah berpuas setahun penuh. Disebutkan dalam riwayat an-Nasa-i,
جعل الله الحسنة بعشرة أمثالها. فشهر بعشرة أشهر، وصيام ستة أيام بعد الفطر تمام السنة
“Allah menjadikan kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. (puasa) sebulan dibalas dengan (pahala puasa) 10 bulan, dan berpuasa selama 6 hari (di bulan Syawwal) setelah idul fithri sebagai penyempurna (puasa) setahun.” (HR. an-Nasa-i, di dalam al-Kubra 2/162 dari hadis Tsuban)
Mengutip tulisan Ustadz Amar Abdullah bin Syakir, dai yang aktif di Yayasan Hisbah, dijelaskan, bahwa hadis ini termasuk karunia Allah yang diberikan kepada hambaNya, mendapatkan pahala puasa setahun dengan tanpa kepayahan. Dan inilah hikmah dilakukannya puasa (sunnah) 6 hari (di bulan Syawwal). Wallahu a’lam.
Oleh karenanya, selayaknya seorang muslim berpuasa 6 hari ini agar ia mendapatkan keuntungan dengan meraih keutamaan yang agung ini. Dan, merupakan pertanda diterimanya ketaatan adalah disambungnya ketaatan tersebut dengan ketaatan yang lainnya. Puasa hari-hari ini (yakni, 6 hari di bulan Syawwal) merupakan dalil yang menunjukkan kesukaan pelakunya terhadap puasa dan bahwa ia tidak merasa bosan untuk melakukannya, tidak pula merasa berat.
Seperti diketahui puasa termasuk amal yang paling utama dalam Islam. Dan di antara buah dari puasa sunnah adalah bahwa hal tersebut menambal kekurangan yang terjadi pada perkara fardhu yang telah dilakukan.
Dalam hal tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat, ar-rabb tabaraka wata‘ala berfirman,
انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ كَذَلِكَ
“Lihatlah apakah hambaku mempunyai amal sunnah? maka dengan amal sunnah tersebut Allah menyempurnakan kekurangan amal fardhu yang telah dikerjakannya. Kemudian, seluruh amalnya demikian halnya.” (HR. an-Nasa-i, di dalam al-Kubra 2/162 dari hadis Tsuban)
Demikian juga, puasa sunnah menjadikan seorang muslim meningkat derajatnya dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Mendapatkan tambahan kecintaan dariNya. Seperti dalam hadis qudsi,
“ما تقرّب إلى عبدي بأفضل مما افترضته عليه، ولا يزال عبدي يتقرب إليّ بالنوافل حتى أحبّه… الحديث”
“Tidaklah seorang hamba bertaqaruub (mendekatkan diri) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih utama daripada dengan apa yang Aku fardhukan kepadanya, dan seorang hamba yang terus bertaqarrub (mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah hingga aku pun mencintainya… al-hadis.” (HR. al-Bukhari)
Yang utama adalah hendaknya puasa 6 hari ini dilakukan secara berurutan. Boleh juga untuk dilakukan secara terpisah selama dalam bulan syawwal. Berkata di dalam Subulus Salam, “Dan ketahuilah bahwa pahala puasanya diperoleh bagi orang yang berpuasa secara terpisah maupun secara berurutan, baik hal tersebut dilakukan setelah ‘idul fithri atau di pertengahan bulan, (Subulussalam, 2/331).
Hanya saja puasa yang dilakukan setelah Idul Fitri memiliki beberapa keistimewaan dari beberapa aspek, antara lain:
1. Hal tersebut merupakan bentuk bergegas untuk melakukan kebaikan.
2. Bersegara melakukannya merupakan bukti yang menunjukkan kesukaan untuk melakukan puasa dan tidak merasa bosan.
3. Untuk menghindari dari sesuatu yang mungkin akan menghalanginya untuk melakukannya bila ia menunda pelaksanaannya.
4. Bahwa puasa 6 hari setelah Ramadhan seperti shalat sunnah bersama dengan shalat fardhu, oleh kerena itu hal tesrebut dilakukan setelahnya.
Dan barangsiapa memiliki kewajiban mengqadha puasa, maka hal tersebut dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian berpuasa 6 hari bulan Syawal, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
(Barangsiapa telah berpuasa ramadhan) dan siapa yang masih memiliki tanggungan (puasa) beberapa hari ramadhan, maka tidak benar dikatakan telah berpuasa ramadhan sehingga ia mengqodhanya baru kemudian berpuasa 6 hari ini. Dan karena bergegas untuk melaksanakan sesuatu yang wajib dan berlepas diri dari tanggungan merupakan perkara yang diminta dari seorang mukallaf (yang dibebani untuk menunaiakan kewajiban-kewajiban agama).
Baca Juga
Ada sebagian ahli ilmu yang berpendapat, wajibnya menunaikan puasa qadha sebelum ia bepuasa sunnah.
Tindakan kehati-hatian seorang muslim adalah ia berpuasa yang masih dalam tanggungannya baru kemudian berpuasa sunnah berupa puasa 6 hari di bulan syawal dan puasa sunnah yang lainnya. Namun, jika ia berpuasa sunnah, maka puasanya sah sementara ia masih tetap berkewajiban untuk menunaikan puasa yang masih dalam tanggungannya. (Al-Qawa-id, Ibnu Rajab)
Wallahu A'lam
(wid)