Apakah Kekayaan Pertanda Kemuliaan dan Kemiskinan Pertanda Kehinaan?
loading...
A
A
A
Allah SWT tidak pernah menjadikan kekayaan dan kekurangan yang meliputi kondisi seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan atau kerendahan derajatnya di sisi-Nya. Namun, itu semua merupakan ujian dan cobaan yang Allah berikan kepada umat manusia yang tidak lepas dari takdir dan qodho-Nya.
Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [Saba/34:36].
Allah memberikan kekayaan kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai, menyempitkan rezeki orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai.
Pada ketentuan-ketentuan Allah ini terdapat hikmah yang luhur lagi sempurna yang tidak diketahui selain-Nya. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak menyadarinya.
Sedangkan firman Allâh SWTT: (كَلاَّ) adalah bentuk kata bantahan guna menjelaskan bahwa kenyataannya tidak seperti yang kalian katakan dan tidak seperti pandangan manusia umumnya. Bantahan kepada orang-orang yang mengukur segala sesuatu dengan materi.
Dalam kata ini terdapat unsur meluruskan pandangan yang keliru di atas, dan bahwa pemberian dan menahan rezeki tidak terkait dengan pemuliaan bagi seseorang maupun penghinaan baginya. Akan tetapi, itu semua merupakan ujian dari Allah kepada hamba-Nya.
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang ia perkirakan. Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti pandangan yang kedua. (Sebab) Allah memberikan kekayaan kepada orang yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai, menyempitkan rezeki pada orang yang Allah cintai dan yang tidak Dia cintai.
Landasan dalam masalah ini ialah ketaatan kepada Allah dalam dua kondisi tersebut, jika berlimpah harta, hendaknya bersyukur kepada Allah atas nikmat itu, bila mengalami kekurangan, hendaknya bersabar”.
Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kekayaan dan kemiskinan, keluasan dan sempitnya rezeki adalah cobaan dari Allah dan ujian untuk menguji para hamba-Nya, supaya dapat diketahui siapa saja yang bersyukur dan bersabar, kemudian Allâh akan membalasnya dengan pahala yang besar. Barang siapa yang tidak demikian (tidak bersyukur atau bersabar), maka akan dibalas dengan siksa pedih”.
Sementara itu, Syaikh ‘Athiyyah Salim juga berkata, “Allah menjelaskan bahwa Dia memberi dan menahan (pemberian) sebagai ujian bagi seorang hamba”
Allah SWT berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [al-Anbiyâ/21:35]
Dan juga firman Allah:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. [al-Anfâl/8:28]
Sebagaimana menguji manusia dengan musibah (hal-hal yang tidak mengenakkan), Allah juga menguji manusia dengan kenikmatan.
Instrospeksi
Seorang Mukmin ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah SWT berupa kekayaan, ia akan mensyukuri Rabbnya, dan ia memandang itu murni merupakan kemurahan dan curahan kebaikan Allah terhadap dirinya, bukan merupakan bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada orang yang berhak.
Dan sebaliknya, jika mengalami cobaan kesulitan ekonomi, rejeki seret, seorang Mukmin akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah SWT seraya berintrospeksi diri, kejadian ini tiada lain karena dosa-dosaku.
Allah SWT tidak sedang menghinaku dan tidak sedang menganiaya diriku. Dalam dua ayat ini termuat satu petunjuk pentingnya seseorang menyadari saat menerima limpahan rezeki atau terhimpit ekonominya.
Misalnya, mengatakan, “Mengapa Allah memberiku rezeki melimpah? Apa yang dikehendaki dariku? Pastilah aku harus bersyukur kepada-Nya. Mengapa Allah mengujiku dengan kekurangan harta dan penyakit? Pastilah Allah menghendaki agar aku bersabar.
Jadi, hendaklah selalu melakukan introspeksi diri dalam dua kondisi tersebut. Sikap demikian akan menjauhkan manusia dari dua sifat buruknya, kebodohan dan aniaya. Sebab limpahan kekayaan dan sempitnya rezeki terjadi berdasarkan hikmah dan keadilan Allah. Manusia pun harus tetap memuji Allah dalam kedua kondisi tersebut.
Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [Saba/34:36].
Allah memberikan kekayaan kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai, menyempitkan rezeki orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai.
Pada ketentuan-ketentuan Allah ini terdapat hikmah yang luhur lagi sempurna yang tidak diketahui selain-Nya. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak menyadarinya.
Sedangkan firman Allâh SWTT: (كَلاَّ) adalah bentuk kata bantahan guna menjelaskan bahwa kenyataannya tidak seperti yang kalian katakan dan tidak seperti pandangan manusia umumnya. Bantahan kepada orang-orang yang mengukur segala sesuatu dengan materi.
Dalam kata ini terdapat unsur meluruskan pandangan yang keliru di atas, dan bahwa pemberian dan menahan rezeki tidak terkait dengan pemuliaan bagi seseorang maupun penghinaan baginya. Akan tetapi, itu semua merupakan ujian dari Allah kepada hamba-Nya.
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang ia perkirakan. Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti pandangan yang kedua. (Sebab) Allah memberikan kekayaan kepada orang yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai, menyempitkan rezeki pada orang yang Allah cintai dan yang tidak Dia cintai.
Landasan dalam masalah ini ialah ketaatan kepada Allah dalam dua kondisi tersebut, jika berlimpah harta, hendaknya bersyukur kepada Allah atas nikmat itu, bila mengalami kekurangan, hendaknya bersabar”.
Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kekayaan dan kemiskinan, keluasan dan sempitnya rezeki adalah cobaan dari Allah dan ujian untuk menguji para hamba-Nya, supaya dapat diketahui siapa saja yang bersyukur dan bersabar, kemudian Allâh akan membalasnya dengan pahala yang besar. Barang siapa yang tidak demikian (tidak bersyukur atau bersabar), maka akan dibalas dengan siksa pedih”.
Sementara itu, Syaikh ‘Athiyyah Salim juga berkata, “Allah menjelaskan bahwa Dia memberi dan menahan (pemberian) sebagai ujian bagi seorang hamba”
Allah SWT berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [al-Anbiyâ/21:35]
Dan juga firman Allah:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. [al-Anfâl/8:28]
Sebagaimana menguji manusia dengan musibah (hal-hal yang tidak mengenakkan), Allah juga menguji manusia dengan kenikmatan.
Instrospeksi
Seorang Mukmin ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah SWT berupa kekayaan, ia akan mensyukuri Rabbnya, dan ia memandang itu murni merupakan kemurahan dan curahan kebaikan Allah terhadap dirinya, bukan merupakan bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada orang yang berhak.
Dan sebaliknya, jika mengalami cobaan kesulitan ekonomi, rejeki seret, seorang Mukmin akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah SWT seraya berintrospeksi diri, kejadian ini tiada lain karena dosa-dosaku.
Allah SWT tidak sedang menghinaku dan tidak sedang menganiaya diriku. Dalam dua ayat ini termuat satu petunjuk pentingnya seseorang menyadari saat menerima limpahan rezeki atau terhimpit ekonominya.
Misalnya, mengatakan, “Mengapa Allah memberiku rezeki melimpah? Apa yang dikehendaki dariku? Pastilah aku harus bersyukur kepada-Nya. Mengapa Allah mengujiku dengan kekurangan harta dan penyakit? Pastilah Allah menghendaki agar aku bersabar.
Jadi, hendaklah selalu melakukan introspeksi diri dalam dua kondisi tersebut. Sikap demikian akan menjauhkan manusia dari dua sifat buruknya, kebodohan dan aniaya. Sebab limpahan kekayaan dan sempitnya rezeki terjadi berdasarkan hikmah dan keadilan Allah. Manusia pun harus tetap memuji Allah dalam kedua kondisi tersebut.
(mhy)