Tafsir Surat Yasin Ayat 20-21 Tentang Kisah Habib An-Najjar

Senin, 13 September 2021 - 17:47 WIB
loading...
Tafsir Surat Yasin Ayat 20-21 Tentang Kisah Habib An-Najjar
Di dalam Surat Yasin terdapat satu kisah orang saleh yang beriman kepada risalah Nabi Isa. Foto ilustrasi/Ist
A A A
Surat Yasin adalah satu dari 114 surat yang agung di dalam Al-Qur'an. Surat ke-36 ini mengandung pokok-pokok keimanan, tanda-tanda kekuasaan Allah Ta'ala, peringatan kematian, hari akhir, serta kisah perjuangan Nabi dan para syuhada.

Di dalam Surat Yasin terdapat satu kisah penuh hikmah yang diabadikan di Ayat 20-21. Allah berfirman:

وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ () اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Wa Jaa'a min aqsha al-madiinati rajulun yas’aa qaala yaa qaumi ittabi’uu al-mursaliin. Ittabi’uu man laa yas‘alukum ajran wahum muhtaduun.

"Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki (mukmin) berjalan bergegas-gegas. Dia berkata: 'Hai kaumku! Ikutilah para utusan itu. Ikutilah seiap yang tidak meminta dari kamu (sedikit pun) imbalan; sedangkan mereka adalah orang-orang yang (benar-benar) mendapat petunjuk (Allah). (QS Yasin Ayat 20-21).



Dalam satu tafsir dijelaskan bahwa berita kedatangan ketiga utusan menyebar ke pelosok negeri, datanglah dari ujung kota seorang laki-laki beriman kepada risalah Nabi Isa, namanya disebut Habib bin Musa an-Najjar, dengan bergegas. Dia menasihati penduduk negeri itu, "Wahai kaumku! Percaya dan ikutilah utusan-utusan itu karena mereka benar-benar utusan Allah."

Dilansir dari islami.co, Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya Jami' al-Bayan fi Ta’wil al-Quran menjelaskan bahwa ayat di atas adalah para penduduk yang didatangi ketiga Rasul tersebut telah bersepakat untuk membunuh para utusan. Akan tetapi kemudian datanglah seorang beriman dari jauh bergegas untuk memberi tahu sekelompok orang yang telah bersekongkol itu untuk menghentikan rencana mereka dan segera beriman kepada para utusan tersebut.

At-Thabari mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat beberapa riwayat yang berbeda dengan versi masing-masing mengenai siapa yang dimaksud dengan orang mukmin ini. Dari riwayat Muhammad bin Basyar dari Muammal bin Isma’il dari Sufyan dari ‘Ashim al-Ahwal dari Ubai Mujilliz, berkata: Orang yang dimaksud dari ayat ini adalah "Habib bin Muri."

Sedangkan riwayat dari Ibnu Hamid dari Salamah, berkata: hadis tentang seseorang yang ada dalam surat Yasin (shahib yasin) kami ambil dari Muhammad bin Ishaq dari Ibnu Abbas dan dari Ka’ab al-Ahbar dan dari Wahab bin Munabbih al-Yamani, bahwasanya seorang laki-laki dari penduduk Anthiokia bernama Habib, orang yang saleh, yang berderma dengan setengah harta dari hasil kerja kerasnya, bergegas untuk mengajak penduduk agar mengikuti ajaran para Rasul.

Masih dari Ibnu Hamid dari jalur Salamah dari Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abdurrahman bin Ma’mar bin Amr bin Hazm dari Ka’ab al-Ahbar bahwa Musailamah al-Kadzdzab pernah menyiksa seorang sahabat bernama Habib dengan cara memotong-motong bagian tubuhnya ketika ia ditanya, "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Sahabat itu menjawab, "Ya."

Lalu ia ditanya lagi, "Apakah engkau bersaksi bahwa aku (Musailamah) adalah utusan Allah?" Sahabat itu menjawab, "Aku tidak mendengar apa pun."

Musailamah kemudian menghardiknya, "Engkau mendengar pertanyaan satu dan tidak mendengar pertanyaan lainnya?" Sahabat bernama Habib itu menjawab, "Ya." Maka terjadilah penyiksaan itu dengan cara memotong bagian-bagian tubuhnya sehingga ia syahid.

Ketika menceritakan kisah ini, Ka'ab al-Ahbar berkata, "Nama sahabat ini adalah Habib, demi Allah! Orang yang diceritakan dalam Surat Yasin juga bernama Habib."

Imam al-Qusyairi dalam tafsirnya menanggapi kisah dua ayat di atas bersyair betapa banyak nasihat yang mengalir kepada kalian, tetapi dikembalikan dengan cara murka kepada orang yang menasihati (Wa kam saqat fii aatsaarikum min nasihatin, wa qad yastafidu al-bughdhah al-mutanasshih).

Lalu terkait dengan sosok yang diceritakan, al-Qusyairi mengatakan bahwa orang yang teguh pada kebenaran dan sabar atas apa yang diperbuat kaumnya, maka ia menemukan kebaikan-kebaikan dan anugerah. Ia akan bertemu dengan Tuhannya dan menemukan kebenaran janji-Nya.

Al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa tokoh yang dimaksud dalam dua ayat ini adalah Habib bin Israil al-Najjar, seorang pemahat patung. Habib ini, menurut al-Zamakhsyari, merupakan orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW meski antara masa keduanya berjarak enam ratus tahun. Ia seperti Taba’ al-Akbar, Waraqah bin Naufal dan lainnya, yang mengimani Nabi hingga masa diutusnya tiba.

Diceritakan dalam tafsirnya, al-Kasysyaf, bahwa Habib ini seringkali menyepi dalam gua untuk beribadah kepada Allah. Tatkala datang kabar bahwa para utusan Allah datang ke daerah dekat tempat tinggalnya, maka ia pun mendatangi kaumnya dan menampakkan keimanan kepada mereka. Karena hal ini kaumnya pun mempertanyakannya, "Apakah kamu melanggar agama leluhur?" tanpa menunggu jawaban, mereka membunuhnya.

Ibnu 'Asyur ketika menjelaskan ayat kata aqsha al-Madinah menjelaskan bahwa ketika itu iman kepada Allah telah tersebar di pinggiran kota, sebelum tersebar di pusat kota. Hal ini karena pusat kota adalah lokasi pemukiman penguasa dan pemuka agama, yang mereka-mereka ini menghadapi para Rasul dengan pandangan yang tidak objektif. Penduduk dalam kota pun takut kepada penguasa dan pemuka agama ini, berbeda dengan yang bermukim di pinggiran, yang memiliki pandangan objetif dan sikap yang mandiri.

Bagi Ibnu ‘Asyur didahulukannya kata aqsha al-madinah memiliki kesan bahwa orang-orang yang bermukim di pinggiran kota mendapatkan perhatian dan pujian yang lebih, bisa saja mereka menemukan aneka kebajikan di pinggiran kota yang tidak ditemukan di tengah kota. Ini juga menunjukkan bahwa orang-orang lemah seringkali lebih dahulu beriman karena mereka tidak dibendung kesenangan hidup dan kekuasaan, seperti terjadi pada para penguasa yang biasanya hidup di tengah kota.

Quraish Shihab menilai bahwa ucapan lelaki yang bergegas pada ayat ini dengan mendahulukan kalimat siapa yang tidak meminta imbalan dari kamu sejalan dengan pandangan penduduk ketika itu. Mereka mengukur semua orang sama dengan diri mereka. Penduduk ini selalu menduga adanya keuntungan material dibalik aktivitas setiap orang.

Mereka hampir tidak mengenal ketulusan dalam satu aktivitasnya. Karena inilah mereka tidak percaya kalau para Rasul itu tulus dan tidak mengharap imbalan atas tuntunannya.

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1353 seconds (0.1#10.140)