Kisah Inspiratif: Abaikan Pembesar, Sang Qadhi Pilih Menantu yang Jujur
loading...
A
A
A
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah ini sering diartikan anak adalah cerminan dari orangtuanya. Ungkapan bijak ini sepertinya tepat menggambarkan kisah seorang Qadhi yang menikahkan putrinya dengan budak jujur hingga melahirkan seorang ulama besar.
Kisah ini dapat dijadikan hikmah terutama bagi orangtua yang ingin menikahkan putrinya. Betapa kedudukan ataupun harta bukanlah satu-satunya ukuran untuk memilih calon menantu.
Diceritakan oleh As'ad yang menukil Kitab at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk karya Imam Al-Ghazali, dahulu di Kota Marwa Khurasan (salah satu kota di Persia), ada seorang Qadhi (Hakim) bernama Syekh Nuh bin Maryam. Syekh Nuh ini dikenal sebagai orang terpandang yang banyak mendapatkan nikmat juga harta benda melimpah.
Beliau memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik, baik, taat dan kecantikannya sangat sempurna sehingga banyak orang yang menyukainya. Mulai dari pembesar, petinggi, atau pemuda-pemuda kaya berebut untuk melamarnya.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang dapat membuat tertarik hati Syekh Nuh bin Maryam untuk melepaskan anak gadisnya. Karena melihat putrinya sudah waktunya menikah tetapi belum menemukan sosok menantu yang cocok sebagai pendamping putrinya. Syekh Nuh bin Maryam merasa gundah menghadapi masalah ini.
"Jika aku memilih salah satu dari mereka, maka sebagian yang lain tentu akan merasa kecewa," kata Syekh Nuh bin Maryam.
Syekh Nuh memiliki seorang budak laki-laki yang bernama Mubarok. Ia adalah seorang budak yang berasal dari India dan merupakan budak laki-laki yang sangat taat dan bertakwa.
Beliau memiliki kebun yang sangat luas. Kebun tersebut ia tanami dengan berbagai macam pohon, buah-buahan, juga tumbuh-tumbuhan. Suatu hari Syekh Nuh berkata kepada budaknya: "Aku ingin engkau merawat dan menjaga kebunku."
Mendapat perintah itu, Mubarok pun mulai menjaga dan menetap di kebun Syekh Nuh bin Maryam selama satu bulan penuh. Beberapa hari kemudian setelah Mubarok menjaga kebun tersebut, tuannya mengunjungi kebun untuk melihatnya. Ia berkata kepada Mubarok: "Wahai Mubarok, petikkan aku segenggam anggur."
Mendapat perintah demikian, Mubarok segera mengambil segenggam kurma, tetapi buah yang dipetikkan Mubarok ternyata rasanya masam. Mendapat anggur masam, Syekh Nuh bin Maryam memerintahkan Mubarok untuk memetikkan anggur yang lain: "Petikkan aku anggur yang lain, yang tadi masam rasanya!"
Mubarok mulai memetikkan anggur lain, lagi-lagi anggur yang ia petik masam juga rasanya. Mengetahui hal itu, Syekh Nuh heran lalu bertanya pada Mubarok:
"Wahai Mubarok, dari anggur sebanyak ini, kenapa engkau tidak bisa memetikkan untukku anggur yang manis, engkau malah memetikkan anggur yang masam?"
"Wahai tuanku, sungguh aku tak tahu, mana anggur yang manis dan mana anggur yang masam," kata Mubarok.
"Subhanallah, engkau hidup satu bulan penuh dalam kebun anggur tetapi engkau belum bisa membedakan mana anggur yang manis dan mana yang masam?"
"Benar wahai tuanku, aku tidak bisa membedakannya," kata Mubarok.
"Kenapa engkau tidak mencicipi anggur itu agar tahu rasanya?" kata Syekh Nuh bin Maryam.
"Engkau hanya memerintahkan aku untuk menjaganya, dan tidak memerintahkan aku untuk mencicipinya, bagaimana bisa aku mengkhianatimu wahai tuanku?" jawab Mubarok.
Mendengar ucapan itu, Al-Qadhi Syekh Nuh merasa takjub akan kejujuran pemuda ini, lalu berkata: "Semoga Allah menjagamu atas amanah yang engkau emban wahai anak muda."
Syekh Nuh sekarang tahu, bahwa pemuda yang berada di hadapannya adalah laki-laki yang jujur dan memiliki akal cerdas. Syekh Nuh pun berkata: "Wahai anak muda, sungguh hatiku saat ini sangat senang padamu, dan aku ingin engkau melaksanakan perintahku berikutnya."
"Aku selalu mentaati Allah Ta'ala dan perintahmu wahai Syekh," kata Mubarok.
Kisah ini dapat dijadikan hikmah terutama bagi orangtua yang ingin menikahkan putrinya. Betapa kedudukan ataupun harta bukanlah satu-satunya ukuran untuk memilih calon menantu.
Diceritakan oleh As'ad yang menukil Kitab at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk karya Imam Al-Ghazali, dahulu di Kota Marwa Khurasan (salah satu kota di Persia), ada seorang Qadhi (Hakim) bernama Syekh Nuh bin Maryam. Syekh Nuh ini dikenal sebagai orang terpandang yang banyak mendapatkan nikmat juga harta benda melimpah.
Beliau memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik, baik, taat dan kecantikannya sangat sempurna sehingga banyak orang yang menyukainya. Mulai dari pembesar, petinggi, atau pemuda-pemuda kaya berebut untuk melamarnya.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang dapat membuat tertarik hati Syekh Nuh bin Maryam untuk melepaskan anak gadisnya. Karena melihat putrinya sudah waktunya menikah tetapi belum menemukan sosok menantu yang cocok sebagai pendamping putrinya. Syekh Nuh bin Maryam merasa gundah menghadapi masalah ini.
"Jika aku memilih salah satu dari mereka, maka sebagian yang lain tentu akan merasa kecewa," kata Syekh Nuh bin Maryam.
Syekh Nuh memiliki seorang budak laki-laki yang bernama Mubarok. Ia adalah seorang budak yang berasal dari India dan merupakan budak laki-laki yang sangat taat dan bertakwa.
Beliau memiliki kebun yang sangat luas. Kebun tersebut ia tanami dengan berbagai macam pohon, buah-buahan, juga tumbuh-tumbuhan. Suatu hari Syekh Nuh berkata kepada budaknya: "Aku ingin engkau merawat dan menjaga kebunku."
Mendapat perintah itu, Mubarok pun mulai menjaga dan menetap di kebun Syekh Nuh bin Maryam selama satu bulan penuh. Beberapa hari kemudian setelah Mubarok menjaga kebun tersebut, tuannya mengunjungi kebun untuk melihatnya. Ia berkata kepada Mubarok: "Wahai Mubarok, petikkan aku segenggam anggur."
Mendapat perintah demikian, Mubarok segera mengambil segenggam kurma, tetapi buah yang dipetikkan Mubarok ternyata rasanya masam. Mendapat anggur masam, Syekh Nuh bin Maryam memerintahkan Mubarok untuk memetikkan anggur yang lain: "Petikkan aku anggur yang lain, yang tadi masam rasanya!"
Mubarok mulai memetikkan anggur lain, lagi-lagi anggur yang ia petik masam juga rasanya. Mengetahui hal itu, Syekh Nuh heran lalu bertanya pada Mubarok:
"Wahai Mubarok, dari anggur sebanyak ini, kenapa engkau tidak bisa memetikkan untukku anggur yang manis, engkau malah memetikkan anggur yang masam?"
"Wahai tuanku, sungguh aku tak tahu, mana anggur yang manis dan mana anggur yang masam," kata Mubarok.
"Subhanallah, engkau hidup satu bulan penuh dalam kebun anggur tetapi engkau belum bisa membedakan mana anggur yang manis dan mana yang masam?"
"Benar wahai tuanku, aku tidak bisa membedakannya," kata Mubarok.
"Kenapa engkau tidak mencicipi anggur itu agar tahu rasanya?" kata Syekh Nuh bin Maryam.
"Engkau hanya memerintahkan aku untuk menjaganya, dan tidak memerintahkan aku untuk mencicipinya, bagaimana bisa aku mengkhianatimu wahai tuanku?" jawab Mubarok.
Mendengar ucapan itu, Al-Qadhi Syekh Nuh merasa takjub akan kejujuran pemuda ini, lalu berkata: "Semoga Allah menjagamu atas amanah yang engkau emban wahai anak muda."
Syekh Nuh sekarang tahu, bahwa pemuda yang berada di hadapannya adalah laki-laki yang jujur dan memiliki akal cerdas. Syekh Nuh pun berkata: "Wahai anak muda, sungguh hatiku saat ini sangat senang padamu, dan aku ingin engkau melaksanakan perintahku berikutnya."
"Aku selalu mentaati Allah Ta'ala dan perintahmu wahai Syekh," kata Mubarok.