Bilal bin Rabah, Budak yang Disebut Pemimpin Kita oleh Umar bin Khattab

Rabu, 10 November 2021 - 16:27 WIB
loading...
Bilal bin Rabah, Budak yang Disebut Pemimpin Kita oleh Umar bin Khattab
Umar bin Khattab berkata, Abu Bakar adalah pemimpin kita yang telah memerdekakan ‘pemimpin kita’. (Foto/Ilustrasi: Kaironews)
A A A
Bilal bin Rabah awalnya hanyalah seorang budak. Tatkala ia menjadi muadzin pertama dalam Islam, Umar bin Khattab menyebutnya sebagai 'pemimpin kita'.



Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah menyatakan bila disebut nama Abu Bakar as-Siddiq , maka Umar bin Khattab akan berkata, “Abu Bakar adalah pemimpin kita yang telah memerdekakan ‘pemimpin kita’.”

Yang dimaksud dengan ‘pemimpin kita’ oleh Umar adalah Bilal bin Rabah. Namun setiap menerima pujian yang ditujukan kepadanya, menurut Khalid, Bilal akan menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir yang membasahi pipinya, dia berkata, “aku ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin aku seorang budak belian.”

Begitulah Bilal bin Rabah. Dia amatlah populer. Apabila diucapkan namanya, setidaknya tujuh dari sepuluh muslim di seluruh dunia akan mengenal namanya. Derajat keterkenalan namanya bahkan setara dengan para Khulafaur Rasyidin.

"Bagaimana tidak, namanya diperkenalkan kepada seluruh anak-anak muslim di dunia dari sejak usia yang sangat dini," tulis Khalid.

Budak Belian
Menurut riwayat, Bilal adalah seorang laki-laki kulit hitam, kurus, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis. Benar apa yang dikatakannya, sebelumnya dia adalah seorang budak belian. Namun berkat keyakinannya yang kuat terhadap agama Islam dan kenabian Nabi Muhammad SAW, beliau mendapat derajat dan kedudukan yang tinggi bersama orang-orang suci lainnya.

Bahkan banyak para pemuka dan petinggi kaum Quraisy yang sebelum datangnya Islam mempunyai kedudukan jauh di atas Bilal, namun setelah datangnya Islam, mereka tidak dapat menyaingi keharuman nama seorang Bilal si budak belian.

Bilal bin Rabah adalah seorang budak kulit hitam, dan hampir pasti orang tuanya pun budak juga. Dia diyakini berasal dari Abyssinia (sekarang dikenal sebagai Ethiopia). Orang tua Bilal termasuk tawanan yang dibawa dari Etihopia ke Arabia.

Terlahir dalam perbudakan, dia mungkin tidak pernah mengharapkan bentuk kehidupan untuk ditawarkan kepadanya selain dari sekadar kerja keras, kesakitan, dan kesusahan.



Bilal adalah satu dari sekian banyak orang yang diperbudak oleh seorang kepala suku Quraisy bernama Umayyah bin Khalaf. Umayyah adalah salah seorang pemuka Bani Jumah.

Salah satu kewajiban yang ditugaskan oleh tuannya adalah untuk menggembalakan unta di bawah terik matahari di padang pasir Makkah pada siang hari. Di malam hari tugasnya menyajikan makanan dan anggur kepada tuannya.

Umayyah bin Khalaf diriwayatkan apabila sedang makan dia seperti binatang yang makan dengan rakus sampai kekenyangan, kemudian mabuk dan tertidur.

Dia memperlakukan budaknya secara tidak manusiawi, tidak ada satupun yang bisa mengatakan ‘tidak’ atas perintahnya atau menunjukkan tanda-tanda mengeluh.

Umayyah bin Khalaf menyukai Bilal hanya karena tubuhnya yang kuat, jika tidak, dia pasti akan membuangnya seperti kain gombal atau membunuhnya tanpa ampun. Bilal harus melakukan yang terbaik untuk memuaskan tuannya, dia harus menjaga tubuhnya tetap kuat dan sehat sehingga bisa mengurus harta benda tuannya.

Umayyah bin Khalaf membeli Bilal saat masih kecil. Dari saat pertama dia masuk ke dalam rumah tuannya, Bilal menerima semua perlakuan buruk dan kasar dari setiap anggota keluarganya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menghormati atau memberinya waktu istirahat dari banyak beban yang diperintahkannya untuk dipikul.

Seiring berjalannya waktu, Bilal merasa bahwa dia akan menghabiskan seluruh hidupnya di bawah perbudakan. Dia lemah, tidak punya uang untuk membayar kebebasannya, atau memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya dari kekejaman tuannya.

Bahkan jika dia ingin mencari kebebasan, seluruh masyarakat akan berbalik melawan dia. Dia akan disebut ‘budak yang melarikan diri’. Seperti biasa, Bilal menyembah berhala yang terbuat dari batu karena tuannya menginginkan dia melakukannya. Namun, Bilal tahu di dalam hatinya bahwa batu-batu semacam itu tidak akan bisa membahayakan dirinya atau pun membuatnya lebih baik.

Berkali-kali, dia tertegun di depan berhala dan meminta mereka untuk memberkati dia. Dia yakin bahwa situasi masyarakat di Makkah akan berubah tapi dia tidak tahu bagaimana perubahan semacam itu akan dimulai.



Berita tentang Nabi Muhammad
Hari-hari Bilal tidak berbeda dengan budak lainnya. Hari-harinya dilalui dengan rutinitas yang menyengsarakan dan tidak memiliki harapan untuk hari esok. Suatu saat, berita-berita tentang Muhammad yang diceritakan dari mulut ke mulut para penduduk Makkah sampai juga ke telinganya. Dari tamu-tamu yang datang menemui tuannya, Bilal mendengar percakapan mereka yang mengutuk, marah, menuduh, mengancam, dan membenci Muhammad.

Namun, di antara pembicaraan tentang keburukan Muhammad, Bilal juga mendengar tentang ajaran-ajaran yang disampaikan Muhammad.

Di antara ajaran itu yang dia dengar adalah bahwa Muhammad mengaku dirinya seorang Nabi. Dia menyeru orang untuk menyembah Allah, Tuhan satu-satunya. Muhammad juga menganjurkan untuk memperlakukan satu sama lain dengan keadilan dan kesetaraan; bahwa semua orang sama di hadapan Pencipta mereka, satu-satunya hal yang membuat seseorang berbeda adalah keyakinannya terhadap Allah dan kebenaran-Nya.

Muhammad juga mendesak orang-orang Mekah untuk meninggalkan dewa-dewa palsu mereka, dan menyembah hanya kepada Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam semesta. Dan Muhammad juga menyerukan kepada pembesar-pembesar untuk memperlakukan budak mereka dengan baik.

Apa yang disampaikan oleh Muhammad, bagi Bilal itu merupakan suatu hal yang aneh dan baru. Bilal semakin tertarik. Terlebih, walapun Umayyah dan teman-temannya membicarakan sesuatu yang buruk tentang Muhammad, namun mereka juga sebenarnya takjub dengan pribadi Muhammad.

“Tidak pernah Muhammad berdusta atau menjadi tukang sihir. Tidak pula sinting atau berubah akal, walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang memasuki agamanya!” kata salah seorang dari mereka kepada yang lainnya.

Bilal juga mendengarkan percakapan mereka tentang kesetiaan Muhammad menjaga amanah, tentang kejujuran dan ketulusannya, tentang akhlak dan kepribadiannya.

Didengarnya juga bisik-bisik mengenai sebab mereka menentang dan memusuhi Muhammad, yaitu karena: pertama, kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Kedua, khawatir akan merosotnya kemuliaan suku Quraisy sebagai pemegang kuasa pusat tempat ibadah dan ritual haji di jazirah Arab. Ketiga, kedengkian terhadap Bani Hasyim (keluarga Muhammad), mereka mempertanyakan kenapa Nabi dan Rasul baru tersebut bukannya keluar dari golongan mereka.

Mendengar itu semua, di sela-sela rutinitasnya sebagai budak, keseharian Bilal selanjutnya dipenuhi dengan perenungan tentang Islam.



Memeluk Islam
Sepanjang hari ketika sedang menggembala ternak dia terus berpikir tentang ide-ide yang sebelumnya bahkan untuk diimajinasikan saja dia tidak berani. Dia berpikir dalam-dalam tentang Pencipta dan ciptaannya.

Setelah melalui berbagai perenungan yang panjang, pada suatu hari Bilal “menyaksikan” cahaya Ilahi, dan hatinya berkata dengan sebuah dorongan yang murni untuk menemui Muhammad. Maka di hadapan Sang Nabi, Bilal menyatakan keislmannya, “ashadu alla ilaha illa llah wa ashadu anna muḥammadar rasululullah”. Bilal sebagaimana sebagian muslim lainnya pada waktu itu masih merahasiakan keislamannya.

Namun, malang tak dapat dihindarkan, berita mengenai keislaman Bilal tidak dapat disimpan selamanya. Berita rahasia keislaman Bilal terungkap dan beredar di lingkungan para pemuka Quraisy. “Apa? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad?” ujar mereka.

Demi Umayyah bin Khalaf yang congkak, berita tentang keislaman Bilal merupakan tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan dirinya serta Bani Jumah. Walaupun demikian, tidak apa, katanya di dalam hati, seraya berkata, “matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu!”

Di tengah hari, ketika matahari sedang terik-teriknya menyinari padang pasir, mereka membawa Bilal ke luar dan menelanjanginya. Kemudian mereka melemparkan Bilal ke atas pasir yang seolah menyala karena saking panasnya. Beberapa orang lelaki mengangkat batu besar yang sangat panas dan menindihkannya ke atas tubuh dan dadanya.

“Engkau akan tetap dalam keadaan begini sampai engkau mati, atau engkau menyumpahi Islam,” kata Umayyah.

Riwayat lainnya mengatakan bahwa Umayyah berkata, “aku tak akan membebaskan engkau sampai engkau mati seperti ini atau menolak agama Muhammad dan menyembah Lata dan ‘Uzza.”

Mendapat perlakuan sedemikian rupa, Bilal menjawabnya hanya dengan dua kata yang jelas membuktikan kekokohan imannya. Ia berkata, “Ahad! Ahad!” (Yakni, Allah itu Esa.)

Bilal bergeming, dia kokoh pada pendiriannya dan tidak ingin mengikuti perintah para penyiksanya untuk meninggalkan Islam. Sehingga, tuan dan para penyiksanya harus mengulang terus-menerus penyiksaan terhadap Bilal selama beberapa hari ke depannya.

Konon, Abu Jahal pun suatu waktu turut serta dalam penyiksaan tersebut, dia berkata, “Ingkarilah Tuhan Muhammad!” namun jawaban dari Bilal tetap sama, “Ahad! Ahad!”

Dengan penyiksaan yang terus menerus seperti itu, beberapa algojo menaruh kasihan pada Bilal. Mereka pun membujuk Bilal dan berjanji akan melepaskannya asalkan dia mau menyebutkan nama Tuhan mereka secara baik-baik, tidak apa-apa walaupun hanya sepatah kata, karena mereka hampir putus asa dengan kegigihan dan kekeraskepalaan Bilal.

Tapi apa yang dikatakan Bilal ketika dibujuk? Masih tetap sama, “Ahad! Ahad!” Para penyiksa pun sampai berteriak seolah-olah seperti memohon, “sebutlah Lata dan ‘Uzza!” “Ahad! Ahad!” jawaban Bilal masih sama. “Sebutlah apa yang kami sebut!” pinta mereka.

Bilal dengan lirih menjawab, “lidahku tak dapat mengucapkannya.” Maka ditinggalkannya lah Bilal sepanjang hari di padang pasir dengan batu panas yang terus menindihnya.

Sementara Bilal disiksa, datanglah Abu Bakar as-Shiddiq, dia berseru, “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?” Kemudian dia berkata kepada Umayyah, “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan dia!”

Mendengar itu Umayyah malah merasa lega dan beruntung, karena dia sudah mulai putus asa dapat menundukkan Bilal. Apalagi Umayyah adalah seorang saudagar, dia melihat peluang keuntungan di sana, ketimbang membunuhnya, lebih baik dia menjualnya karena akan mendatangkan uang. Umayyah setuju dengan penawaran Abu Bakar.

Dari sinilah mengapa Umar bin Khattab menyebut Abu Bakar sebagai pemimpin kita yang telah memerdekakan ‘pemimpin kita’ tatkala Bilal telah menjadi muadzin pertama dalam Islam.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2395 seconds (0.1#10.140)