Surat Yasin Ayat 58-59: Salam Perpisahan Penghuni Surga dengan Para Pendosa
loading...
A
A
A
Surah Yasin ayat 58-59 menerangkan sambutan Allah untuk penguni surga sekaligus respon-Nya terhadap penghuni neraka. Di sini juga tergambar perpisahan penghuni surga dengan para pendosa, penghuni neraka.
Sedangkan ayat sebelumnya telah digambarkan bagaimana kenikmatan kehidupan di surga. Setelah para penghuni surga sibuk menikmati fasilitas surga yang beragam tanpa kekurangan, mereka juga mendapat tambahan nikmat utama berupa kata Salamun sebagai ucapan dari Allah.
Allah SWT berfirman:
(Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa! (QS Yasin : 58-50)
Setidaknya ada dua versi pendapat terkait kata Salamun tersebut. Pertama, ucapan tersebut disampaikan lansung oleh Allah SWT dengan menampakkan wujud-Nya, sebagaimana yang diterangkan oleh Qurthubi dalam al-Jami’al-Ahkam al-Quran mengikuti pendapat Qusyairi dan Tsa’labi yang menukil hadis riwayat Jabir bin Abdullah. Nabi bersabda:
“Allah telah menggambarkan kepada kita bagaimana kenikmatan yang diperoleh penduduk surga. Wajah mereka berbinar-binar (karena bahagia), dan ketika mereka mengangkat kepala, seketika itu Allah hadir, dan berucap salam kepada mereka.
Nabi kemudian membaca ayat 58 dari surat Yasin. Peristiwa tersebut adalah pertemuan antara Allah dengan penghuni surga, di mana mereka dapat melihat Allah tanpa hijab. Dan saking besarnya nikmat tersebut, mereka terpaku dan tidak bisa berpaling, di saat yang sama mengalirlah cahaya Allah dan keberkahan-Nya kepada mereka.”
Umar bin Abdul Aziz dikutip dalam al-Jami’ fi Tafsir al-Quran menjelaskan bahwa ayat ke-58 di atas berkaitan erat dengan kalimat akhir pada ayat 57 yang menyatakan, “wa lahum maa yadda’uun” (bagi mereka apa yang mereka minta). Umar berkata, “Tatkala Allah SWT telah memisahkan penduduk surga dan neraka, Allah SWT memerintahkan penduduk surga untuk meminta sesuatu. Penduduk surga pun berkata, “Kami memohon ridha-Mu.”
Sama seperti Umar bin Abdul Aziz, Muhammad bin Ka’ab sebagaimana dikutip Ibnu Jarir al-Thabari juga berpendapat bahwa redaksi ayat ke-58 adalah penjelasan (bayan) bagi kalimat apa yang mereka minta (maa yadda’uun).
Pendapat kedua, ucapan tersebut disampaikan oleh Allah akan tetapi tidak secara langsung, bisa melalui perantara malaikat, atau berupa suara Allah saja tanpa memperlihatkan wujud-Nya. Seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ketika berada di Bukit Tursina.
Menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, kata Salam (سلام) terambil dari kata salima (سَلِمَ), dan memiliki dua model pemaknaan, yakni aktif dan pasif.
Makna aktif misalnya ketika memperoleh sesuatu yang disenangi dan diidamkan, termasuk ucapan Salam pada ayat ini.
Sedangkan makna pasif yakni Salam sebagai bentuk doa agar terselamatkan atau terhindar dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Salam yang demikian mirip dengan apa yang sering diucapkan ketika di dunia yakni assalamu’alaikum.
Ini sekaligus menegaskan bahwa ucapan Salam ketika di dunia berbeda dengan di surga, adapun ucapan Salam yang berbentuk doa seperti assalamu’alaikum tidak diperlukan lagi di surga karena mereka sudah berada dalam negeri yang damai nan kekal yakni Dar al-Salam.
Berbanding terbalik dengan kondisi orang kafir ketika itu, mereka justru diusir dan diacuhkan oleh Allah SWT. Menurut Ibnu ‘Asyur, kata imtazu (امتازوا) terambil dari kata mazah (مَازَه) yakni memisahkan sesuatu yang bercampur dengannya.
Beberapa mufassir menggambarkan kondisi saat itu. Orang kafir dan mukmin berada pada suatu tempat yang sama, namun kaum Mukminin diperintahkan masuk ke dalam surga sedangkan mereka yang kafir dijerumuskan ke dalam neraka.
Ibnu Jarir al-Thabari mengutip Qatadah menjelaskan para ahli neraka diisolasi dari segala bentuk kenikmatan dan kesenangan (‘uziluu ‘an kulli khair).
Menurut ad-Dhahak, para penghuni neraka pun dipisah kembali menjadi beberapa firqah (golongan), seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, dan penyembah berhala. Setiap golongan memiliki rumah khusus di neraka. Adapun orang muslim yang masih memikul dosa, menurut Daud bin Jarrah mereka juga mendapat tempat tersendiri di neraka.
Terkait kata imtaz, Ar-Razi berpandangan bahwa ada lima urutan imtaz yang dimaksud ayat 59 ini. Pertama, memisahkan dan membedakan antara masing-masing individu. Kedua, memisahkan kaum kafir dengan kaum Mukmin. Ketiga, memisahkan mereka berdasarakn golongan. Keempat, memisahkan mereka berdasarakan generasi. Kelima, memisahkan mereka yang berdosa dan menarik diri dari kebaikan.
Adapun perintah imtaz ini bersifat takwin, yakni perintah Allah atas kehendak-Nya yang mutlak untuk mewujudkan sesuatu. Perintah semacam ini, sekaligus menunjukkan begitu cepatnya proses pemisahan itu terjadi. Sebagaimana firmannya:
Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. ( QS al-Nahl [16]: 40)
Sedangkan ayat sebelumnya telah digambarkan bagaimana kenikmatan kehidupan di surga. Setelah para penghuni surga sibuk menikmati fasilitas surga yang beragam tanpa kekurangan, mereka juga mendapat tambahan nikmat utama berupa kata Salamun sebagai ucapan dari Allah.
Allah SWT berfirman:
سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ
(Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa! (QS Yasin : 58-50)
Setidaknya ada dua versi pendapat terkait kata Salamun tersebut. Pertama, ucapan tersebut disampaikan lansung oleh Allah SWT dengan menampakkan wujud-Nya, sebagaimana yang diterangkan oleh Qurthubi dalam al-Jami’al-Ahkam al-Quran mengikuti pendapat Qusyairi dan Tsa’labi yang menukil hadis riwayat Jabir bin Abdullah. Nabi bersabda:
“Allah telah menggambarkan kepada kita bagaimana kenikmatan yang diperoleh penduduk surga. Wajah mereka berbinar-binar (karena bahagia), dan ketika mereka mengangkat kepala, seketika itu Allah hadir, dan berucap salam kepada mereka.
Nabi kemudian membaca ayat 58 dari surat Yasin. Peristiwa tersebut adalah pertemuan antara Allah dengan penghuni surga, di mana mereka dapat melihat Allah tanpa hijab. Dan saking besarnya nikmat tersebut, mereka terpaku dan tidak bisa berpaling, di saat yang sama mengalirlah cahaya Allah dan keberkahan-Nya kepada mereka.”
Umar bin Abdul Aziz dikutip dalam al-Jami’ fi Tafsir al-Quran menjelaskan bahwa ayat ke-58 di atas berkaitan erat dengan kalimat akhir pada ayat 57 yang menyatakan, “wa lahum maa yadda’uun” (bagi mereka apa yang mereka minta). Umar berkata, “Tatkala Allah SWT telah memisahkan penduduk surga dan neraka, Allah SWT memerintahkan penduduk surga untuk meminta sesuatu. Penduduk surga pun berkata, “Kami memohon ridha-Mu.”
Sama seperti Umar bin Abdul Aziz, Muhammad bin Ka’ab sebagaimana dikutip Ibnu Jarir al-Thabari juga berpendapat bahwa redaksi ayat ke-58 adalah penjelasan (bayan) bagi kalimat apa yang mereka minta (maa yadda’uun).
Pendapat kedua, ucapan tersebut disampaikan oleh Allah akan tetapi tidak secara langsung, bisa melalui perantara malaikat, atau berupa suara Allah saja tanpa memperlihatkan wujud-Nya. Seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ketika berada di Bukit Tursina.
Menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, kata Salam (سلام) terambil dari kata salima (سَلِمَ), dan memiliki dua model pemaknaan, yakni aktif dan pasif.
Makna aktif misalnya ketika memperoleh sesuatu yang disenangi dan diidamkan, termasuk ucapan Salam pada ayat ini.
Sedangkan makna pasif yakni Salam sebagai bentuk doa agar terselamatkan atau terhindar dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Salam yang demikian mirip dengan apa yang sering diucapkan ketika di dunia yakni assalamu’alaikum.
Ini sekaligus menegaskan bahwa ucapan Salam ketika di dunia berbeda dengan di surga, adapun ucapan Salam yang berbentuk doa seperti assalamu’alaikum tidak diperlukan lagi di surga karena mereka sudah berada dalam negeri yang damai nan kekal yakni Dar al-Salam.
Berbanding terbalik dengan kondisi orang kafir ketika itu, mereka justru diusir dan diacuhkan oleh Allah SWT. Menurut Ibnu ‘Asyur, kata imtazu (امتازوا) terambil dari kata mazah (مَازَه) yakni memisahkan sesuatu yang bercampur dengannya.
Beberapa mufassir menggambarkan kondisi saat itu. Orang kafir dan mukmin berada pada suatu tempat yang sama, namun kaum Mukminin diperintahkan masuk ke dalam surga sedangkan mereka yang kafir dijerumuskan ke dalam neraka.
Ibnu Jarir al-Thabari mengutip Qatadah menjelaskan para ahli neraka diisolasi dari segala bentuk kenikmatan dan kesenangan (‘uziluu ‘an kulli khair).
Menurut ad-Dhahak, para penghuni neraka pun dipisah kembali menjadi beberapa firqah (golongan), seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, dan penyembah berhala. Setiap golongan memiliki rumah khusus di neraka. Adapun orang muslim yang masih memikul dosa, menurut Daud bin Jarrah mereka juga mendapat tempat tersendiri di neraka.
Terkait kata imtaz, Ar-Razi berpandangan bahwa ada lima urutan imtaz yang dimaksud ayat 59 ini. Pertama, memisahkan dan membedakan antara masing-masing individu. Kedua, memisahkan kaum kafir dengan kaum Mukmin. Ketiga, memisahkan mereka berdasarakn golongan. Keempat, memisahkan mereka berdasarakan generasi. Kelima, memisahkan mereka yang berdosa dan menarik diri dari kebaikan.
Adapun perintah imtaz ini bersifat takwin, yakni perintah Allah atas kehendak-Nya yang mutlak untuk mewujudkan sesuatu. Perintah semacam ini, sekaligus menunjukkan begitu cepatnya proses pemisahan itu terjadi. Sebagaimana firmannya:
اِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ اِذَآ اَرَدْنٰهُ اَنْ نَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. ( QS al-Nahl [16]: 40)
(mhy)