Surat Yasin Ayat 77: Musuh yang Nyata Itu Diciptakan dari Air Hina
loading...
A
A
A
Lalu Ubay bersumpah; Demi Lata dan ‘Uzza, aku akan mendebat Muhammad mengenai hal itu. Lalu Ubay mengambil sebuah tulang yang sudah diremukkan dan mendatangi Nabi. Setelah itu terjadi dialog seperti yang sudah dipaparkan di atas.
Agaknya pendapat al-Zamakhsyari ini bisa menjadi jalan tengah di antara perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para mufasir mengenai siapakah orang yang direspons oleh surah Yasin ayat 77. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Wahbah Zuhaili bahwa para Ulama Ushul Fiqh sepakat menggunakan teori al-‘ibrah bi umum al-lafz la bi khusus al-sabab.
Dengan kata lain, meskipun ayat 77 ini memiliki sebab yang khusus, namun bisa diterapkan kepada semua orang yang ingkar terhadap hari kebangkitan. Maka secara otomatis entah itu Ubay bin Khalaf, al-‘Ash bin wa’il, Abu Jahal dan Abdullah bin Ubay termasuk di dalamnya. Mereka adalah sekawanan pembangkang dakwah Nabi garis keras.
Allah mengkritik orang-orang yang ingkar terhadap dakwah Nabi Muhammad SAW, khususnya terhadap hari kebangkitan, dengan mengemukakan analogi yang sangat tajam. Apakah tidak terbesit sedikitpun dalam benak mereka tentang penciptaanya. Dalam ayat itu secara eksplisit disebutkan bahwa mereka diciptakan dari nutfah. Zuhaili mengaitkan dengan surat as-Sajdah ayat 8, yakni air yang hina.
Air itu dianggap hina karena merupakan sesuatu yang sangat lemah. Buya Hamka mengatakan bahwa air itu terkadang terbuang sia-sia tidak tentu tujuan, mengotori celana dan kain dan lama-lama membusuk. Lalu apa yang ingin disombongkan dari hal itu.
Hanya berkat Rahmat-Nya air yang hina itu menjadi manusia. Sedikti demi sedikit tumbuh dalam rahim, lalu lahir, bertumbuh dan berkembang hingga memiliki akal dan kesadaran. Apakah hal itu tidak pernah terbesit dalam benak mereka yang ingkar itu?
Menurut al-Sabuni kalimat tanya dalam ayat 77 ini termasuk istifham ingkari atau bermakna sebaliknya. Maksudnya adalah memang tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang proses penciptaan awal mereka yang begitu hina itu. Dengan congkaknya mereka menyombongkan diri dan memusuhi Allah SWT.
Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir mengatakan bahwa kata khasim mubin merupakan sighat mubalagha atau bermakna sangat. Maksudnya adalah mereka secara secara terang-terangan sangat memusuhi Allah Dzat yang memberinya kehidupan dan rizki.
Agar Merek Bersyukur
Al-Biqa’i dalam Nadzm al-Dhurar menjelaskan bahwa kalimat awalam yara berarti tidakkah mereka benar-benar mengetahui (ay ya’lamu ‘ilman) sebagaimana mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri. Kata ‘al-insan’ menurut al-Biqa’i menunjukkan bahwa jenis manusia diciptakan Allah SWT dengan luar biasa. Meski demikian mereka berasal dari bahan dasar yang sangat kecil, hina dari air mani yang dikeluarkan oleh kemaluan laki-laki.
Kemudian setelah mereka menjadi manusia yang dapat berpikir, tiba-tiba mereka menjadi pembantah yang tidak tahu diri dan tidak menggunakan akal pikirannya untuk merenungi kebenaran.
Jamaluddin al-Qasimi sebagaimana mengutip dari al-Thaybiy dalam tafsirnya Mahasin al-Ta’wil menjelaskan bahwa ayat 77 ini masih berkaitan erat dengan ayat sebelumnya, ayat 76.
Kedua ayat ini mengisyaratkan kepada makna al-ta’kis, artinya pertanyaan yang menyatakan kebalikan dari kenyataan. Dengan kata lain, menurut al-Qasimi Allah SWT menciptakan manusia agar mereka dapat bersyukur, tetapi sebagian dari mereka belaku ingkar (kufr). Allah SWT menciptakan manusia dari sesuatu yang hina, tetapi sebagian dari mereka malah bersikap sombong.
Agaknya pendapat al-Zamakhsyari ini bisa menjadi jalan tengah di antara perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para mufasir mengenai siapakah orang yang direspons oleh surah Yasin ayat 77. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Wahbah Zuhaili bahwa para Ulama Ushul Fiqh sepakat menggunakan teori al-‘ibrah bi umum al-lafz la bi khusus al-sabab.
Dengan kata lain, meskipun ayat 77 ini memiliki sebab yang khusus, namun bisa diterapkan kepada semua orang yang ingkar terhadap hari kebangkitan. Maka secara otomatis entah itu Ubay bin Khalaf, al-‘Ash bin wa’il, Abu Jahal dan Abdullah bin Ubay termasuk di dalamnya. Mereka adalah sekawanan pembangkang dakwah Nabi garis keras.
Allah mengkritik orang-orang yang ingkar terhadap dakwah Nabi Muhammad SAW, khususnya terhadap hari kebangkitan, dengan mengemukakan analogi yang sangat tajam. Apakah tidak terbesit sedikitpun dalam benak mereka tentang penciptaanya. Dalam ayat itu secara eksplisit disebutkan bahwa mereka diciptakan dari nutfah. Zuhaili mengaitkan dengan surat as-Sajdah ayat 8, yakni air yang hina.
Air itu dianggap hina karena merupakan sesuatu yang sangat lemah. Buya Hamka mengatakan bahwa air itu terkadang terbuang sia-sia tidak tentu tujuan, mengotori celana dan kain dan lama-lama membusuk. Lalu apa yang ingin disombongkan dari hal itu.
Hanya berkat Rahmat-Nya air yang hina itu menjadi manusia. Sedikti demi sedikit tumbuh dalam rahim, lalu lahir, bertumbuh dan berkembang hingga memiliki akal dan kesadaran. Apakah hal itu tidak pernah terbesit dalam benak mereka yang ingkar itu?
Menurut al-Sabuni kalimat tanya dalam ayat 77 ini termasuk istifham ingkari atau bermakna sebaliknya. Maksudnya adalah memang tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang proses penciptaan awal mereka yang begitu hina itu. Dengan congkaknya mereka menyombongkan diri dan memusuhi Allah SWT.
Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir mengatakan bahwa kata khasim mubin merupakan sighat mubalagha atau bermakna sangat. Maksudnya adalah mereka secara secara terang-terangan sangat memusuhi Allah Dzat yang memberinya kehidupan dan rizki.
Agar Merek Bersyukur
Al-Biqa’i dalam Nadzm al-Dhurar menjelaskan bahwa kalimat awalam yara berarti tidakkah mereka benar-benar mengetahui (ay ya’lamu ‘ilman) sebagaimana mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri. Kata ‘al-insan’ menurut al-Biqa’i menunjukkan bahwa jenis manusia diciptakan Allah SWT dengan luar biasa. Meski demikian mereka berasal dari bahan dasar yang sangat kecil, hina dari air mani yang dikeluarkan oleh kemaluan laki-laki.
Kemudian setelah mereka menjadi manusia yang dapat berpikir, tiba-tiba mereka menjadi pembantah yang tidak tahu diri dan tidak menggunakan akal pikirannya untuk merenungi kebenaran.
Jamaluddin al-Qasimi sebagaimana mengutip dari al-Thaybiy dalam tafsirnya Mahasin al-Ta’wil menjelaskan bahwa ayat 77 ini masih berkaitan erat dengan ayat sebelumnya, ayat 76.
Kedua ayat ini mengisyaratkan kepada makna al-ta’kis, artinya pertanyaan yang menyatakan kebalikan dari kenyataan. Dengan kata lain, menurut al-Qasimi Allah SWT menciptakan manusia agar mereka dapat bersyukur, tetapi sebagian dari mereka belaku ingkar (kufr). Allah SWT menciptakan manusia dari sesuatu yang hina, tetapi sebagian dari mereka malah bersikap sombong.
(mhy)