Hukum Haji dengan Harta Hasil Korupsi
loading...
A
A
A
Haji adalah fardu ain bagi setiap muslim. Hanya saja, hukum haji bisa tidak sah jika biaya pelaksanaan ibadah ini didapat dari jalan yang tidak benar, misal hasil merampok, menipu, mencuri, membungakan uang, korupsi, suap dan lainnya.
Setidaknya begitu pendapat ulama dari kalangan Mazhab Hanbali . Mereka menganggap ibadah haji yang dibiayai dengan harta yang haram tidak sah. Karenanya jamaah yang menunaikan ibadah haji dengan harta yang haram masih tetap berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji di tahun-tahun selanjutnya mengingat hajinya dengan harta haram itu tidak sah.
Sulaiman Al-Bujairimi dalam kitab "Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib" mengatakan seseorang dianjurkan untuk betul-betul mencari harta halal, agar ia dapat menggunakannya di masa perjalanannya. Karena sungguh Allah itu suci, tidak menerima kecuali yang suci.
Di dalam hadis dikatakan, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, kalau ia berkata ‘labbaik’, maka dijawab malaikat, ‘La labbaik, wala sa’daik, hajimu tertolak’.’ Karenanya siapa yang berhaji dengan harta haram, maka hajinya memadai sekalipun ia bermaksiat karena merampas. Sementara Imam Ahmad berkata, hajinya tidak cukup.
Tetap Sah
Hanya saja, mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i tidak sependapat. Mazhab ini berpandangan haji yang dibiayai dengan harta yang haram tetap sah meskipun ia berdosa atas kesalahannya memperoleh harta haram itu.
Dalam Asnal Mathalib karya Abu Zakariya Al-Anshari disampaikan bahwa gugurlah kewajiban orang yang berhaji dengan harta haram seperti harta rampasan sekalipun ia bermaksiat. Sama halnya dengan salat di tempat hasil rampasan atau mengenakan pakaian terbuat dari sutra.
Syekh Abu Zakariya Al-Anshari secara tegas mengatakan bahwa jamaah yang membiayai hajinya dengan harta haram itu sama seperti orang yang bersembahyang dengan mengenakan pakaian hasil merampas atau sutra, pakaian yang diharamkan bagi pria. Artinya ibadah haji dan salat orang yang bersangkutan tetap sah. Dengan demikian gugurlah tuntutan wajib ibadah dari orang tersebut.
Kalangan Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengeluarkan argumentasi bahwa haji itu sendiri adalah kunjungan ke tempat-tempat istimewa dalam agama. Dan itu tidak dilarang. Yang dilarang agama itu adalah menggunakan harta yang haram itu seperti untuk keperluan haji.
Jadi keduanya tidak berkaitan sama sekali. Sama halnya dengan orang sembahyang di tanah rampasan (hasil kezaliman). Sembahyangnya sendiri itu tetap sah. Tetapi menempati tanah yang diharamkan itu yang dilarang oleh agama. Karenanya ibadah haji atau salat tidak bisa disifatkan haram. Meskipun gugur kewajiban ibadah itu, namun manasik haji tidak diterima dan tidak mendapatkan pahala dari Allah.
Nasib manasik hajinya sama seperti orang sembahyang tetapi riya, atau berpuasa tetapi mengghibah. Semuanya tidak diganjar pahala. Demikian argumentasi yang diajukan Ibnu Abidin dalam Haysiyah Raddul Mukhtar.
Sementara mazhab Hanbali sepakat dengan jumhur ulama perihal penerimaan dan pahala. Mereka yang menunaikan ibadah haji dengan harta haram tidak menerima pahala.
Sedangkan terkait keabsahan, mazhab Hanbali menyatakan bahwa haji yang dibiayai dengan harta haram tidak sah. Karenanya mereka harus mengulang hajinya pada tahun depan karena hajinya tahun ini tidak sah. Karena tidak bisa mencampurkan antara ibadah dengan hal-hal batil.
Pendapat mazhab Hanbali tersebut perlu dipelajari lebih lanjut dari sisi moralitas ibadah. Semangat Mazhab Hanbali bisa jadi mengantisipasi kemungkinan orang melakukan pencucian uang dengan menunaikan ibadah haji. Dengan demikian haji bukan hanya dipandang secara rangkaian upacara formal. Tetapi kebersihan harta sebagai penggerak manasik haji itu sendiri mesti dipastikan. Bukan asal berangkat haji.
Pandangan mazhab Hanbali bisa secara moral menghentikan kezaliman, suap, kecurangan, korupsi atau kejahatan umat Islam dalam menjalankan praktik bisnis, mengemban jabatan publik, atau menjalani kesehariannya sebagai pegawai negeri sipil, dan profesi lainnya.
Setidaknya begitu pendapat ulama dari kalangan Mazhab Hanbali . Mereka menganggap ibadah haji yang dibiayai dengan harta yang haram tidak sah. Karenanya jamaah yang menunaikan ibadah haji dengan harta yang haram masih tetap berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji di tahun-tahun selanjutnya mengingat hajinya dengan harta haram itu tidak sah.
Sulaiman Al-Bujairimi dalam kitab "Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib" mengatakan seseorang dianjurkan untuk betul-betul mencari harta halal, agar ia dapat menggunakannya di masa perjalanannya. Karena sungguh Allah itu suci, tidak menerima kecuali yang suci.
Di dalam hadis dikatakan, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, kalau ia berkata ‘labbaik’, maka dijawab malaikat, ‘La labbaik, wala sa’daik, hajimu tertolak’.’ Karenanya siapa yang berhaji dengan harta haram, maka hajinya memadai sekalipun ia bermaksiat karena merampas. Sementara Imam Ahmad berkata, hajinya tidak cukup.
Baca Juga
Tetap Sah
Hanya saja, mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i tidak sependapat. Mazhab ini berpandangan haji yang dibiayai dengan harta yang haram tetap sah meskipun ia berdosa atas kesalahannya memperoleh harta haram itu.
Dalam Asnal Mathalib karya Abu Zakariya Al-Anshari disampaikan bahwa gugurlah kewajiban orang yang berhaji dengan harta haram seperti harta rampasan sekalipun ia bermaksiat. Sama halnya dengan salat di tempat hasil rampasan atau mengenakan pakaian terbuat dari sutra.
Syekh Abu Zakariya Al-Anshari secara tegas mengatakan bahwa jamaah yang membiayai hajinya dengan harta haram itu sama seperti orang yang bersembahyang dengan mengenakan pakaian hasil merampas atau sutra, pakaian yang diharamkan bagi pria. Artinya ibadah haji dan salat orang yang bersangkutan tetap sah. Dengan demikian gugurlah tuntutan wajib ibadah dari orang tersebut.
Kalangan Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengeluarkan argumentasi bahwa haji itu sendiri adalah kunjungan ke tempat-tempat istimewa dalam agama. Dan itu tidak dilarang. Yang dilarang agama itu adalah menggunakan harta yang haram itu seperti untuk keperluan haji.
Jadi keduanya tidak berkaitan sama sekali. Sama halnya dengan orang sembahyang di tanah rampasan (hasil kezaliman). Sembahyangnya sendiri itu tetap sah. Tetapi menempati tanah yang diharamkan itu yang dilarang oleh agama. Karenanya ibadah haji atau salat tidak bisa disifatkan haram. Meskipun gugur kewajiban ibadah itu, namun manasik haji tidak diterima dan tidak mendapatkan pahala dari Allah.
Nasib manasik hajinya sama seperti orang sembahyang tetapi riya, atau berpuasa tetapi mengghibah. Semuanya tidak diganjar pahala. Demikian argumentasi yang diajukan Ibnu Abidin dalam Haysiyah Raddul Mukhtar.
Sementara mazhab Hanbali sepakat dengan jumhur ulama perihal penerimaan dan pahala. Mereka yang menunaikan ibadah haji dengan harta haram tidak menerima pahala.
Sedangkan terkait keabsahan, mazhab Hanbali menyatakan bahwa haji yang dibiayai dengan harta haram tidak sah. Karenanya mereka harus mengulang hajinya pada tahun depan karena hajinya tahun ini tidak sah. Karena tidak bisa mencampurkan antara ibadah dengan hal-hal batil.
Pendapat mazhab Hanbali tersebut perlu dipelajari lebih lanjut dari sisi moralitas ibadah. Semangat Mazhab Hanbali bisa jadi mengantisipasi kemungkinan orang melakukan pencucian uang dengan menunaikan ibadah haji. Dengan demikian haji bukan hanya dipandang secara rangkaian upacara formal. Tetapi kebersihan harta sebagai penggerak manasik haji itu sendiri mesti dipastikan. Bukan asal berangkat haji.
Pandangan mazhab Hanbali bisa secara moral menghentikan kezaliman, suap, kecurangan, korupsi atau kejahatan umat Islam dalam menjalankan praktik bisnis, mengemban jabatan publik, atau menjalani kesehariannya sebagai pegawai negeri sipil, dan profesi lainnya.
(mhy)