Hukum Orang Miskin yang Pernah Mampu tapi Menunda Haji

Sabtu, 18 Juni 2022 - 17:08 WIB
loading...
Hukum Orang Miskin yang Pernah Mampu tapi Menunda Haji
Orang miskin yang pernah mampu tapi menunda haji jika ia mati sebelum melaksanakan haji maka ia mati dalam keadaan maksiat. Foto/Ilustrasi: Dok. SINDOnews
A A A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan jika seseorang pernah memiliki kemampuan untuk menunaikan haji dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia tidak mengerjakannya, sedangkan saat ini ia tidak memiliki harta yang cukup, maka ia tetap harus mengerjakannya.

"Jika ia tidak mampu karena hartanya memang sudah habis, maka harus mengusahakannya dengan usaha yang halal sekadar biaya haji itu. Jika ia tidak memiliki pekerjaan, juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia agar memberikan jatah dari zakat atau shodaqah sehingga ia dapat menunaikan haji," ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah".

Menurutnya, jika ia mati sebelum melaksanakan haji maka ia mati dalam keadaan maksiat. "Karena ketidakmampuan yang datang setelah adanya kemampuan untuk haji itu, tidak menghapus kewajiban haji baginya. Inilah cara ia meneliti kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya," ujarnya.



Cukup Sekali
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya "Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah" juga menegaskan barangsiapa yang telah terpenuhi syarat untuk haji, maka wajib baginya untuk segera berangkat haji dan jangan menundanya. "Kewajiban haji bila telah tiba harus segera ditunaikan, jika menundanya tanpa uzur maka berdosa, karena seorang tidak tahu faktor penghalang haji yang akan menimpanya jika dia menundanya," ujarnya.

Sementara itu, Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Panduan Ibadah Haji Sesuai Sunnah Nabi" mengatakan kewajiban haji cukup sekali dalam seumur hidup, selebihnya adalah sunnah. Ini merupakan rahmat dan kemudahan dari Allah.

Rasulullah SAW bersabda: “Haji itu hanya sekali, barangsiapa yang menunaikan lebih dari itu maka menjadi amalan sunnah.” (HR Abu Dawud: 1721, Nasai 5/111, Ibnu Majah: 2886, Ahmad 5/331)



Dasar Hukum
Haji secara bahasa adalah Al-Qashdu (pergi menuju suatu tempat). Adapun secara istilah, melaksanakan ibadah untuk Allah dengan bepergian menuju ke Baitullah al-Haram di Mekkah untuk melakukan ibadah ibadah tertentu sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah.

Ibadah haji hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an, hadis dan kesepakatan ulama. Haji diwajibkan setelah Fathu Makkah (pembebasan Mekkah) pada tahun 9 Hijriyah menurut pendapat yang lebih kuat.

Dalil Al-Qur’an, Allah berfirman:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." ( QS Ali Imran : 97)

Konteks ayat semacam ini merupakan redaksi paling tegas dalam menekankan kewajiban haji menurut tata bahasa arab. Menguatkan dengan menjelaskan keagungan dan kewajibannya, kemudian mengancam dengan lafazh kekufuran sebagai penguat lagi akan wajibnya haji dan ancaman keras bagi yang meninggalkannya.

Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun atas lima perkara; Syahadat Laa Ilaaha Illa Allah Wa Anna Muhammadan Rasulullah, menegakkan sholat, membayar zakat, menunaikan haji, dan puasa Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2239 seconds (0.1#10.140)