Perang Shiffin: Ini Mengapa Abdullah bin Amr di Pihak Mu'awiyah, Bukan Ali bin Abu Thalib
loading...
A
A
A
Seorang mukmin seperti Abdullah bin Amr bin al-Ash ini akan sulit dijumpai dalam pertempuran yang berkecamuk di antara dua kelompok Muslim. Bila demikian, apakah yang membawa kakinya dari Madinah ke Shiffin dan bergabung dengan barisan Mu'awiyah dalam pertempuran menghadapi Ali bin Abi Thalib ? Yang pasti bahwa sikap Abdullah ini patut direnungkan, dan setelah memahaminya, ia itu layak mendapatkan penghargaan dan penghormatan.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Rijalun haular Rasul" dan telah diterjemahkan Agus Suwandi menjadi "Kisah 60 Sahabat Nabi" menceritakan bahwa Abdullah bin Amr memusatkan perhatiannya terhadap ibadah, hingga dapat membahayakan nyawanya. Hal ini sangat mencemaskan hati ayahnya, hingga ia sering melaporkan anaknya itu kepada Rasulullah SAW .
Pada kali terakhir Rasulullah SAW menasihatinya agar sedang-sedang saja dalam beribadah itu dan menentukan waktu-waktunya, ayahnya pada waktu itu juga hadir. Rasulullah SAW meraih tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan ayahnya, lalu bersabda, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Dan walaupun selama ini dengan akhlak dan keagamaannya, Abdullah selalu taat kepada kedua orang tuanya, perintah Rasulullah SAW yang dilakukan dengan cara tersebut dan dalam suasana seperti itu meninggalkan kesan tersendiri pada dirinya. Sepanjang usia, Abdullah tidak pernah lupa sesaat pun kalimat singkat tersebut, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Hari terus berputar dan tahun berganti tahun. Mu'awiyah di Syria menolak baiat terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Ali menolak tunduk terhadap pembangkangan yang tidak sah itu. Peperangan antara dua golongan kaum muslimin tidak bisa terhindarkan. Perang Jamal telah berlalu dan selanjutnya berganti dengan perang Shiffin.
Amr bin Al-Ash telah menentukan sikapnya dan berpihak kepada Mu'awiyah. Ia menyadari sepenuhnya bagaimana penghormatan kaum muslimin terhadap putranya Abdullah, di samping kepercayaan mereka terhadap agamanya. Ia ingin mengajak putranya itu bergabung ke pihak Mu'awiyah, sehingga dengan posisinya itu banyak kaum muslimin yang mengikutinya.
Selain itu, Amr sangat optimistis dengan kehadiran Abdullah di dekatnya akan membawa nasib mujur baginya dalam peperangan. Ia belum lupa bagaimana jasa putranya itu pada saat penyerbuan ke Syria dan waktu
Pertempuran Yarmuk. Karena itulah, ketika hendak berangkat ke Shiffin, ia memanggil putranya dan berkata, “Wahai Abdullah, bersiap-siaplah untuk berangkat. Engkau akan berperang di pihak kami.”
Abdullah menjawab, “Bagaimana mungkin aku melakukannya, sedangkan Rasulullah SAW telah mengamanatkan kepadaku agar tidak mengangkat senjata di atas leher orang Islam untuk selama-lamanya?”
Amr dengan kecerdasannya mencoba meyakinkan Abdullah, bahwa maksud kepergian mereka ini hanyalah untuk membekuk pembunuh-pembunuh Utsman dan menuntutkan balas atas darah sucinya.
Kemudian secara tiba-tiba ayahnya mengatakan kepadanya, “Apakah engkau masih ingat, wahai Abdullah, amanah terakhir yang disampaikan Rasulullah kepadamu ketika beliau meraih tanganmu lalu meletakkannya ke atas tanganku seraya bersabda, “Taatilah ayahmu? Sekarang aku menghendaki agar engkau bersama kami dan ikut berperang.”
Akhirnya, Abdullah berangkat sebagai wujud ketaatan kepada ayahnya. Dalam hatinya ia tetap bertekad tidak akan mengangkat pedang terhadap seorang Muslim. Tetapi, bagaimana ia melakukannya? Yang penting baginya kini ialah turut bersama ayahnya, sedangkan bila perang berlangsung nanti, terserah kepada Allah saja bagaimana takdir-Nya.
Perang pun berkecamuk dengan dahsyat. Para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut serta di permulaan perang itu ataukah tidak. Kita katakan di permulaan, karena tidak lama setelah itu, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan Abdullah bin Amr mengambil sikap secara terang-terangan menentang peperangan dan menentang Mu'awiyah.
Hal itu terjadi karena Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali. Ammar adalah sahabat yang sangat dihormati oleh para sahabat. Lebih daripada itu, jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah mengabarkan kematiannya dan
siapa pembunuhnya.
Kisahnya, ketika itu Rasulullah SAW bersama para sahabat sedang membangun masjid di Madinah, tidak lama setelah hijrah beliau ke sana. Batu-batu yang digunakan sebagai bahannya ialah batu-batu besar dan berat, sehingga setiap orang hanya dapat mengangkat satu-satu saja. Tetapi, Ammar, karena dorongan perasaan senang dan semangatnya, dapat mengangkut dua batu sekaligus.
Hal itu tampak oleh Rasulullah, beliau memandangi anak muda itu dengan linangan air mata, lalu bersabda, “Kasihan putra Sumayyah itu, ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampau batas."
Semua sahabat yang ikut bekerja pada hari itu mendengar pengabaran Rasulullah tersebut dan teringat. Abdullah bin Amr juga mendengarnya. Saat awal peperangan antara pihak Ali dan Mu'awiyah itu, Ammar naik ke tempat yang tinggi dan berteriak dengan sekuat suaranya membangkitkan
semangat, “Hari ini kita akan menjumpai para kekasih: Muhammad beserta sahabat-sahabatnya."
Sekelompok orang dari pasukan Mu'awiyah saling memberi saran untuk membunuhnya. Mereka sepakat mengarahkan anak panah kepadanya dan melepaskannya secara serempak tepat mengenai sasaran. Serangan itu langsung mengantarkan Ammar ke alam syuhada dan para pahlawan.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Rijalun haular Rasul" dan telah diterjemahkan Agus Suwandi menjadi "Kisah 60 Sahabat Nabi" menceritakan bahwa Abdullah bin Amr memusatkan perhatiannya terhadap ibadah, hingga dapat membahayakan nyawanya. Hal ini sangat mencemaskan hati ayahnya, hingga ia sering melaporkan anaknya itu kepada Rasulullah SAW .
Pada kali terakhir Rasulullah SAW menasihatinya agar sedang-sedang saja dalam beribadah itu dan menentukan waktu-waktunya, ayahnya pada waktu itu juga hadir. Rasulullah SAW meraih tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan ayahnya, lalu bersabda, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Dan walaupun selama ini dengan akhlak dan keagamaannya, Abdullah selalu taat kepada kedua orang tuanya, perintah Rasulullah SAW yang dilakukan dengan cara tersebut dan dalam suasana seperti itu meninggalkan kesan tersendiri pada dirinya. Sepanjang usia, Abdullah tidak pernah lupa sesaat pun kalimat singkat tersebut, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Hari terus berputar dan tahun berganti tahun. Mu'awiyah di Syria menolak baiat terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Ali menolak tunduk terhadap pembangkangan yang tidak sah itu. Peperangan antara dua golongan kaum muslimin tidak bisa terhindarkan. Perang Jamal telah berlalu dan selanjutnya berganti dengan perang Shiffin.
Amr bin Al-Ash telah menentukan sikapnya dan berpihak kepada Mu'awiyah. Ia menyadari sepenuhnya bagaimana penghormatan kaum muslimin terhadap putranya Abdullah, di samping kepercayaan mereka terhadap agamanya. Ia ingin mengajak putranya itu bergabung ke pihak Mu'awiyah, sehingga dengan posisinya itu banyak kaum muslimin yang mengikutinya.
Selain itu, Amr sangat optimistis dengan kehadiran Abdullah di dekatnya akan membawa nasib mujur baginya dalam peperangan. Ia belum lupa bagaimana jasa putranya itu pada saat penyerbuan ke Syria dan waktu
Pertempuran Yarmuk. Karena itulah, ketika hendak berangkat ke Shiffin, ia memanggil putranya dan berkata, “Wahai Abdullah, bersiap-siaplah untuk berangkat. Engkau akan berperang di pihak kami.”
Abdullah menjawab, “Bagaimana mungkin aku melakukannya, sedangkan Rasulullah SAW telah mengamanatkan kepadaku agar tidak mengangkat senjata di atas leher orang Islam untuk selama-lamanya?”
Amr dengan kecerdasannya mencoba meyakinkan Abdullah, bahwa maksud kepergian mereka ini hanyalah untuk membekuk pembunuh-pembunuh Utsman dan menuntutkan balas atas darah sucinya.
Kemudian secara tiba-tiba ayahnya mengatakan kepadanya, “Apakah engkau masih ingat, wahai Abdullah, amanah terakhir yang disampaikan Rasulullah kepadamu ketika beliau meraih tanganmu lalu meletakkannya ke atas tanganku seraya bersabda, “Taatilah ayahmu? Sekarang aku menghendaki agar engkau bersama kami dan ikut berperang.”
Akhirnya, Abdullah berangkat sebagai wujud ketaatan kepada ayahnya. Dalam hatinya ia tetap bertekad tidak akan mengangkat pedang terhadap seorang Muslim. Tetapi, bagaimana ia melakukannya? Yang penting baginya kini ialah turut bersama ayahnya, sedangkan bila perang berlangsung nanti, terserah kepada Allah saja bagaimana takdir-Nya.
Perang pun berkecamuk dengan dahsyat. Para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut serta di permulaan perang itu ataukah tidak. Kita katakan di permulaan, karena tidak lama setelah itu, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan Abdullah bin Amr mengambil sikap secara terang-terangan menentang peperangan dan menentang Mu'awiyah.
Hal itu terjadi karena Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali. Ammar adalah sahabat yang sangat dihormati oleh para sahabat. Lebih daripada itu, jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah mengabarkan kematiannya dan
siapa pembunuhnya.
Kisahnya, ketika itu Rasulullah SAW bersama para sahabat sedang membangun masjid di Madinah, tidak lama setelah hijrah beliau ke sana. Batu-batu yang digunakan sebagai bahannya ialah batu-batu besar dan berat, sehingga setiap orang hanya dapat mengangkat satu-satu saja. Tetapi, Ammar, karena dorongan perasaan senang dan semangatnya, dapat mengangkut dua batu sekaligus.
Hal itu tampak oleh Rasulullah, beliau memandangi anak muda itu dengan linangan air mata, lalu bersabda, “Kasihan putra Sumayyah itu, ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampau batas."
Semua sahabat yang ikut bekerja pada hari itu mendengar pengabaran Rasulullah tersebut dan teringat. Abdullah bin Amr juga mendengarnya. Saat awal peperangan antara pihak Ali dan Mu'awiyah itu, Ammar naik ke tempat yang tinggi dan berteriak dengan sekuat suaranya membangkitkan
semangat, “Hari ini kita akan menjumpai para kekasih: Muhammad beserta sahabat-sahabatnya."
Sekelompok orang dari pasukan Mu'awiyah saling memberi saran untuk membunuhnya. Mereka sepakat mengarahkan anak panah kepadanya dan melepaskannya secara serempak tepat mengenai sasaran. Serangan itu langsung mengantarkan Ammar ke alam syuhada dan para pahlawan.