Kisah WS Rendra Masuk Islam setelah Pementasan Sholawat Barzanji

Rabu, 05 Oktober 2022 - 08:13 WIB
loading...
Kisah WS Rendra Masuk Islam setelah Pementasan Sholawat Barzanji
WS Rendra terlahir dalam keluarga Katolik, memutuskan memeluk Islam setelah pementasan Shalawat Barzanji. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
WS Rendra (7 November 1935-6 Agustus 2009) memeluk Islam setelah pementasan Sholawat Barzanji pada tahun 1970. Padahal si "Burung Merak" ini sebelumnya berpandangan buruk terhadap Agama Tauhid ini.

Rendra mengenal Kitab Barzanji dari sahabatnya, Syu’bah Asa, yang menerjemahkan kitab tersebut. Dari syair-syair tersebut Rendra mengenal penggambaran sosok Nabi Muhammad SAW . Dari sinilah hidayah itu datang.



Muhammad Idris Mas’udi dalam tulisannya berjudul "Berjanjen" di buku "Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya" yang diterbitkan Kementrian Agama RI menjelaskan pementasan Shalawat Barzanji beranjak dari naskah terjemahan Syubah Asa yang sebenarnya merupakan sequel dari Kasidah Barzanji yang pernah menghebohkan jagad perteateran nasional pada tahun 1970.

Sekuel ini kali pertama dimainkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, yang pada waktu itu berhasil menyedot penonton paling banyak sepanjang sejarah pertunjukan teater di Indonesia.

Kala itu, Rendra belum masuk Islam. Dia masih dalam fase agnostik dan sempat masuk ke berbagai agama lainnya, di antaranya adalah Hindu dan Buddha .

Rendra sudi mementaskan hal yang islami ini karena tertarik akan syair-syair yang tertuang di dalam Kitab Barzanji. Rendra menyimak bahwasanya Nabi Muhammad hidupnya sangat sederhana, menyukai anak-anak, dan senang bergaul. “Boleh, kan, bila saya ikut terharu? Dan ikut numpang kagum pada Muhammad?” ujar Rendra dalam sebuah wawancara dengan Majalah Ummat, No. 01, 1994.



Keluarga Katolik
Nama lengkapnya adalah Willibrordus Surendra Broto Rendra dan terkenal sebagai WS Rendra. Penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater ini dilahirkan di sebuah lingkungan keluarga Katolik yang taat.

Ayah Rendra bernama R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah.

Kedua orang tuanya adalah pelaku seni. Ayahnya adalah seorang pendrama, dan juga guru bahasa Jawa dan bahasa Indonesia di sekolah Katolik di Solo, ibunya adalah seorang penari Serimpi yang sering manggung untuk keraton Solo.

Pada mulanya, Rendra sendiri mengakui memiliki pandangan yang buruk terhadap Islam. “Gambaran tentang orang Islam dalam benak saya memang buruk sekali: mereka tak ramah, tak cukup kreatif, dan sebagainya,” katanya.

Rendra mengaku sering mengejek Islam. “Mana itu seniman Islam? Islam kan tak punya Beethoven, tak punya Mozart, Picasso?” ujar Rendra kepada Syu’bah Asa yang muslim. Kala itu Syu’bah Asa tinggal serumah dengan Rendra. Syu’bah lebih sering diam saja.



Syair Syaraful ‘Anam dan al-Barzanji
Rendra menjelaskan ketertarikan dirinya pada Islam bermula pada syair-syair Syaraful ‘Anam dan al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah. Syair-syair ini adalah kasidah puji-pujian terhadap Nabi Muhammad. Di situ, Nabi Muhammad digambarkan menambal gamisnya sendiri; jika berjalan dengan sahabat-sahabatnya beliau berjalan paling belakang; beliau juga amat menyukai anak-anak.

Dan, jika tangan seorang sahabat berbau wangi, orang akan berkata, “Tangan ini pasti baru disentuh Nabi.”

"Bukankah ini berarti Nabi suka bergaul? Saya amat terharu membaca syair-syair itu, dan saya berpikir, 'Boleh kan, bila saya ikut terharu dan ikut numpang kagum pada Muhammad?'” ujarnya.

Pada saat Rendra memutuskan Bengkel Teater akan mementaskan Barzanji ia pergi ke masjid-masjid, bahkan tiduran di masjid. Ia memperhatikan orang-orang yang sholat, dan seorang teman Rendra menjelaskan artinya. "Jadi saya mendapatkan obyek pengamatan yang menarik. Inilah yang kemudian saya ekspresikan dalam teater, yang dipentaskan di Teater Terbuka Pusat Kesenian Jakarta, 23-24 Juni 1970," tuturnya.

Kala itu, kata Rendra ia masih belum tertarik untuk masuk Islam. "Saya takut jika daya cipta saya lalu mati!" ujarnya.

Gambaran buruk bahwa orang-orang Islam itu tidak ramah memang terbukti. Pementasan Kasidah Barzanji itu sukses. Tapi, seusai pementasan, seorang anggota keamanan memanggil Rendra dan menunjukkan tumpukan batu-bata yang disembunyikan di bawah panggung.

“Mas, lihat itu! Batu-batu itu disiapkan untuk melempari Anda, kalau penonton tidak puas,” katanya.

“Wah … tak mungkin saya masuk Islam. Tak mungkin,” Rendra langsung protes dalam hati. Rendra bahkan berbicara, “Syukurlah kita bukan orang Islam.”



Sepulang dari pementasan itu, Rendra ceritakan soal batu-batu yang disiapkan untuk melemparinya kepada Syu’bah, dan ledekan Rendra kembali meluncur, “Bagaimana orang Islam itu?”

“Sudahlah. Mas, saya sibuk. Besok ujian,” jawab Syu’bah.

Beberapa waktu kemudian Rendra mengajak Syu’bah ke Pantai Parangtritis, melihat senja. Syu’bah menolak, karena dia sedang belajar untuk ujian. Kebetulan ada teman yang datang membawa mobil. Akhirnya dengan beberapa teman, Rendra meluncur ke pantai Parangtritis.

Di Pantai Parangtritis, beberapa saat setelah menatap laut luas pada senja itu, sekonyong-konyong Rendra merasakan badannya diterpa kenikmatan yang luar biasa; kenikmatan badan bersama hembusan angin. Seluruh anggota tubuh terangsang – hingga ke bulu-bulu mata, sampai masuk telinga.

"Luar biasa! Kenikmatan ini melebihi orgasme. Ini adalah nikmat badan, nikmat syaraf, sampai ke ujung-ujung. Saya seperti terkapar, tanpa tahu persis sebabnya. Ini sesuatu yang gaib," tuturnya.

Kenikmatan ini berlangsung beberapa saat. Dan tiba-tiba, tanpa sepenuhnya ia sadari, tangan kirinya telah terlipat di dada; tangan kanan terangkat tegak lurus, telunjuk mengacung ke langit, dan “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarasulullah” terlontar dari mulut Rendra!

Beberapa saat kemudian Rendra kebingungan sendiri. “Lho … aku tadi kok … boleh dikatakan aku ini Islam,” pikir Rendra. Tapi kemudian ia tukas sendiri. “Tidak, bukan ‘boleh dikatakan,’ tapi aku ini Islam!”

"Tidak usah diislam-islamkan, saya Islamkan diri saya sendiri. Lalu intelek saya mengambil alih. Ha, untuk menjadi Kristen saja saya harus dibaptis, bahkan untuk komuni saja harus melalui pastur. Tapi sekarang saya mengislamkan diri sendiri. Aku, Islam! begitu saja."



Rendra lalu pulang, dan bilang kepada Syu’bah, “Bah, aku Islam.”

“Ya … ya …” Syu’bah menjawab acuh tak acuh.

“Sekarang ajari aku sholat.”

“Ampun, Mas. Aku lagi mau ujian. Lain kali saja kalau mau bergurau.”

“Lho, kok bergurau? Aku bener-bener, nih.” Tapi Syu'bah belum mau percaya.

Hari berikutnya Rendra pergi ke Jakarta. Di sepanjang jalan, di kereta api, ia menikmati suasana karena pengalaman luar biasa sebelumnya – kendati Rendra mengaku tak tahu proses mendapatkan pengalaman di Parangtritis itu.

Kebetulan, Rendra sampai di Jakarta hari Jumat. Ketika itulah ia bertemu Taufiq Ismail. Rendra bilang, “Saya ingin sholat Jumat, nih.”

“Ya. Itu bagus,” sambut Taufik Ismail.

“Tapi aku belum hapal at-Tahiyat-nya. Yang hapal cuma al-Fatihah dan Qulhu. Bagaimana ini?”

Akhirnya Taufiq menulis bacaan at-Tahiyat di atas selembar kertas Padalarang. Kertas itu oleh Rendra dijadikan sajadah agar sambil sholat, ia bisa membaca.



Ganti Nama
Menurut kesaksian Ajip Rosidi, secara resmi Rendra memeluk Islam di rumah Taufik Ismail. Pada saat itu Rendra merasa hatinya sudah mantap untuk menjadi Muslim. Dia mengucapkan syahadat di depan KH Ghafar Ismail, Taufik Ismail, dan Ajip Rosidi, di rumah Taufiq di lingkungan Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Setelah itu, Taufiq membuat pernyataan tertulis yang dia tandatangani bersama Ajip. Ghafar, kakak Taufiq, mengajari Rendra sholat. Setelah menjadi Muslim, nama awal (WS) yang tadinya Willibrordus Surendra menjadi Wahyu Sulaiman. Tidak jelas disebutkan kapan peristiwa tersebut terjadi, namun menurut Ajip itu terjadi setelah pementasan teater Barzanji pada tanggal 23-24 Juni 1970.

Pada tahun 2003, Rendra melakukan pementasan ulang teater Barzanji di lapangan tennis indoor Senayan, Jakarta. Di dalam salah satu babak pada pementasan tersebut Rendra melakukan monolog, “’Kemuliaan Muhammad melalui ciri dan sifat-sifatnya. Ia adalah manusia sederhana dan rendah hati, karenanya mulia. Selama ada dia tidak satu bulan pun bersinar terang.”

Setelah WS Rendra wafat pada tahun 2009, istri ketiganya, Ken Zuraida mencoba melakukan sosialisasi teater Barzanji ini ke pesantren-pesantren. Hasilnya, dia berhasil menarik simpati kalangan pesantren. Bahkan dia melakukan kolaborasi dengan pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon untuk melakukan pementasan Kasidah Barzanji di Taman Ismail Marzuki Jakarta dan tiga kota lainnya. Pementasan teater Barzanji ini menarik simpati banyak kalangan.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1494 seconds (0.1#10.140)