Mualaf Jerman Murad Hoffman Bicara tentang Pluralisme dalam Islam

Jum'at, 04 November 2022 - 14:21 WIB
loading...
Mualaf Jerman Murad...
Murad Wilfred Hoffman, mualaf asal Jerman. Foto/Ilustrasi: saphirnews
A A A
Berikut ini adalah salah satu catatan harian Murad Wilfred Hoffman setelah dirinya menjadi muslim. Catatan bertajuk Pluralisme dalam Islam ini dihimpun dalam buku berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998). Berikut catatan tertanggal 16 Februari 1984 tersebut:

Sudah lewat setahun sejak Ahmad Von Denver menerbitkan "Beberapa Risalah Untuk Saudara-saudaraku" yang berisi 12 risalah. Dalam risalah "Menuju Masyarakat Muslim", ia mengkomparasikan antara ajakan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan akidah, sebagai prioritas utama dan usulan-usulan terbatas tentang bagaimana sampai secara individual, langkah demi langkah, menuju taraf kesempurnaan dalam masyarakat Islam (atau bisa juga disebut ukhuwah islamiyah).

Tema yang difokuskan oleh Ahmad, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an berkaitan dengan fenomena munafik.



Upaya-upaya ini punya akar yang dalam. Sepanjang sejarah Islam, pemuda muslim mendirikan organisasi-organisasi rahasia yang kadang-kadang menjalankan gerakan tutup mulut dan menggunakan sistem kelompok.

Karena kenaifan manusia dan mengakarnya rasa ego, maka tidak mudah mewujudkan kemajuan di bidang agama, pada saat Ignatius Alioly dan Vladimir A. Lenin sukses menguasai dunia dengan menciptakan krisis-krisis.

Sungguh bertambahnya kesempatan-kesempatan Islam di Barat, tidak hanya terhenti dalam tataran pengalaman ajaran-ajaran agama secara kaffah saja, namun lebih dari itu, juga menuntut keahlian-keahlian manajemen, khususnya di bidang pangan, organisasi, dan transportasi.

Hari ini kami bertemu dalam suatu lesehan di Darul Islam, di desa kecil yang terletak di selatan Frankfurt, untuk mendiskusikan bagaimana mengusahakan pengakuan Islam secara resmi di Jerman.

Pengakuan resmi merupakan syarat penting untuk menyebarkan pengajaran Islam di sekolah-sekolah dan untuk mengumpulkan pajak-pajak, seperti yang didapatkan gereja melalui instansi keuangan negara. Dalam merealisasikan syarat penting ini, Islam dituntut untuk bersatu di Jerman.

Seseorang tidaklah bersalah dalam memahami keinginan pemerintah Jerman dalam berinteraksi dengan satu mitra yang kuat. Inilah letak masalahnya.

Umat lslam --seperti halnya orang Arab-- mewakili kelompok-kelompok yang masing-masing berkeinginan keras untuk independen dan memainkan pluralisme dengan cara yang tidak mungkin ditolerir atau dibiarkan oleh gereja.



Bisa jadi, rasa tidak senang ini timbul karena Islam tidak mengenal praktik ritus-ritus suci. Hal ini seperti yang terdapat dalam agama Kristen, sekaligus dengan tuntutan-tuntutan kependetaan dan keuskupan --praktik-praktik ritus suci dan hierarki kependetaan seringkali digunakan untuk memperkuat persatuan dan kedisplinan.

Islam menyatakan meskipun hal itu dalam sistem khilafah --sampai beberapa waktu setelah PD II usai-- toleransi yang besar dalam masalah-masalah penafsiran dan yang berkaitan dengan ushuluddin (teologi).

Sudah tentu, vonis murtad terhadap seorang muslim selama berpegang teguh terhadap dasar-dasar Islam dan mengakui keislamannya adalah di antara faktor-faktor penting yang mempengaruhi terciptanya situasi ini.

Karena, jarang kita temui pelarangan kegiatan-kegiatan kelompok yang mengatasnamakan Islam secara resmi, seperti yang terjadi terhadap kelompok Ahmadiyah di Pakistan.

Umat Islam selalu memandang kemajemukan mereka sebagai sumber kekuatan, bukan sumber kelemahan. Hal itu bisa dipahami, karena latar belakang lahirnya empat mazhab, tarekat-tarekat sufi (seperti Qadiriyah, Baktasyiah, dan Naqsyabandiah) dan kelompok-kelompok keagamaan (seperti Syiah dengan segala ordonya).

Di Barat friksi umat Islam menjadi beberapa kelompok, semakin bertambah atas dasar keanggotan ganda dan bahasa. Hasilnya adalah kombinasi acak-acakan dari oraganisasi-organisasi, budaya-budaya, dan akidah-akidah Islam di bawah kubah besar Islam.

Jika kelompok-kelompok ini memperhatikan saran Ahmad Denver, maka umat Islam di seluruh negara. Eropa dan Amerika Utara akan segera menyadari bahwa mereka menumpang kapal yang sama dan menuju arah yang sama.



Tentang Murad Wilfred Hoffman
Nama sebelum ia masuk Islam adalah Wilfred Hoffman. Begitu memeluk Islam, namanya ditambah menjadi Murad Wilfred Hoffman atau lebih populer dengan Murad Hoffman.

Dia terlahir pada 6 Juli 1931, dari sebuah keluarga Katholik, di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New York. Dia Doktor dalam bidang Undang-Undang Jerman, juga magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-Undang Amerika.

Ia bekerja di kementerian luar negeri Jerman, semenjak tahun 1961 hingga tahun 1994. Ia terutama bertugas dalam masalah pertahanan nuklir. Murad pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan terakhir Duta Besar Jerman di Maroko, hingga tahun 1994.

Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk mempelajari Islam, terutama Al-Qur'an. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar mempraktikkan ibadah-ibadahnya.

Setelah lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin mendekatkan dirinya kepada keimanan, pada tanggal 25 September 1980, di Islamic Center Colonia, ia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Ketika ia menjadi duta besar Jerman di Maroko, pada tahun 1992, ia mempublikasikan bukunya yang menggegerkan masyarakat Jerman: Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif).

Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah keropos dan kehilangan justifikasinya, namun ia secara eksplisit mengatakan bahwa alternatif Islam bagi masyarakat Barat adalah suatu keniscayaan.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4739 seconds (0.1#10.140)