Catatan Seorang Mualaf Jerman: Masyarakat Alkohol, Nikotin, dan Daging Babi

Rabu, 02 November 2022 - 12:08 WIB
loading...
Catatan Seorang Mualaf Jerman: Masyarakat Alkohol, Nikotin, dan Daging Babi
Murad Wilfred Hoffman, mualaf dari Jerman. Foto/Ilustrasi: wikipedia
A A A
Dia adalah Wilfred Hoffman. Begitu memeluk Islam , namanya ditambah menjadi Murad Wilfred Hoffman. Ketika ia menjadi duta besar Jerman di Maroko, pada tahun 1992, ia mempublikasikan bukunya yang menggegerkan masyarakat Jerman: Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif).

Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, namun ia secara eksplisit mengatakan bahwa alternatif Islam bagi masyarakat Barat adalah suatu keniscayaan.



Murad Hoffman terlahir pada 6 Juli 1931, dari sebuah keluarga Katholik , di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New York. Dia Doktor dalam bidang Undang-Undang Jerman, juga magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-Undang Amerika.

Ia bekerja di kementerian luar negeri Jerman, semenjak tahun 1961 hingga tahun 1994. Ia terutama bertugas dalam masalah pertahanan nuklir. Murad pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan terakhir Duta Besar Jerman di Maroko, hingga tahun 1994.

Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk mempelajari Islam, terutama Al-Quran. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar mempraktikkan ibadah-ibadahnya.

Setelah lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin mendekatkan dirinya kepada keimanan, pada tanggal 25 September 1980, di Islamic Center Colonia, ia mengucapkan dua kalimat syahadat.



Catatan Harian
Nah, berikut ini adalah salah satu catatan harian Murad Wilfred Hoffman yang dimuat dalam buku "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998), tatkala ia menumpang pesawat Lufthansa, Penerbangan No. 624 pada Desember 1982.

Ketika pesawat kami, Lufthansa, mendekati Jeddah dari Frankfurt, mayoritas penumpangnya orang-orang Jerman. Mereka adalah para wanita dan anak-anak yang membawa pohon-pohon Natal di kabin, berteriak meminta dan menenggak whisky semampu mereka, sebelum pesawat mendarat. Karena inilah kesempatan terakhir mereka.

Jika roda pesawat telah menyentuh landasan bandara udara, mereka akan memulai kehidupan yang menjengkelkan tanpa alkohol, bersama suami atau bapak mereka, di pusat-pusat pembangunan.

Fenomena ini amat memilukan. Kami --bangsa Barat-- hidup dalam lingkungan bunuh diri dengan alkohol. Dengan bahasa lain, dalam masyarakat alkohol, nikotin, dan daging babi. Pemandangan itu membuatku berkhayal, seandainya pesawat yang aku naiki ini tidak menyediakan minuman. Berapa banyak bencana yang dapat dihindari seperti kecelakaan mobil, perceraian,dan pengerutan lever --jika orang mau menaati hukum Al-Qur'an yang mengharamkan alkohol; setidaknya aku tidak akan kehilangan gigiku pada peristiwa tabrakan, tahun 1951.



Ketika aku telah berpengalaman mencicipi bermacam-macam jenis minuman keras, sehingga aku mampu membedakan jenis-jenis anggur matang Green Cry tanpa kesalahan sedikit pun, hanya dengan ujung lidah. Anggur itu adalah anggur merah yang paling mewah. Dibuat di Coth Door Burgundi, Shampartan, Musini, Clo Fozo, Rumani, Isyuzu, dan Corton yang kebun anggurnya memanjang dari Bonn ke Diegon.

Bahkan, hingga pada masa awal masuk Islam, aku masih kesulitan tidur apabila tanpa meneguk satu sloki anggur merah di waktu sore. Namun kini, aku dapat tidur lebih baik dari sebelumnya, karena perangkat aliran darah dan hati dalam tubuhku akan beristirahat melakukan tugasnya ketika aku sedang tidur nyenyak.

Orang Barat tidak mempercayai ada kebahagian dan kesenangan dalam pesta tanpa suguhan alkohol. Sebaiknya, mereka menyaksikan pesta perkawinan orang Islam.

Mayoritas dari mereka mengetahui hasil-hasil negatif akibat kecanduan bangsa Barat terhadap alkohol, seperti melorotnya kesehatan secara umum, penurunan hasil kerja, bahaya keselamatan dalam pekerjaan, di jalan raya, dan menghabiskan hasil pemasukan. Namun, mereka butuh suatu tekad kuat untuk memerangi "candu bangsa" ini.

Nabi Muhammad SAW telah mengharamkan semua yang memabukkan dan membius, ketika nabi berada di Madinah, meskipun itu amat sulit karena kontradiktif dengan kecenderungan saat itu. Namun, umat Islam di Madinah, serentak dengan taat menumpahkan semua minuman keras mereka yang terbuat dari kurma, ke tanah. Itu menunjukkan bahwa apa yang sebelumnya dibenci akan menjadi sesuatu yang disenangi jika diperintahkan oleh pemimpin yang mempunyai kharisma.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5018 seconds (0.1#10.140)