Kisah Mualaf Jerman Wilfred Hoffman Terpesona Surat Al-Anam Ayat 164
loading...
A
A
A
Mualaf asal Jerman, Murad Wilfred Hoffman, menyampaikan pengalaman pribadinya yang ia sebut sebagai "Jalan Menuju Mekkah". Ia mengaku terpesona dengan Surat Al-Anam ayat 164.
Pengalaman pribadi itu tertuang dalam buku yang berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998). Ia membuat catatan tertanggal 5 Februari 1983. Itu adalah 2 tahun 5 bulan setelah ia memeluk Islam. Hoffman membaca dua kalimah syahadat pada 25 September 1980.
Berikut penuturannya:
Ketika aku membaca Al-Qur'an pertama kali, aku langsung terpesona. Bahkan, aku mengambil pelajaran dari ayat 164 surat al-An'am, "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."
Aku memahami suatu kesalahan dalam ajaran Kristen tentang dosa warisan. Konsep yang benar adalah laki-laki dan perempuan berdiri di hadapan Sang Pencipta secara langsung tanpa perantara. "Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya" (bagian dari ayat kursi, surat al-Baqarah : 255). Dan, surat al-An'am ayat 164, pada gilirannya membawa makna esensial lain, yaitu pengingkaran konsep dosa pertama Adam.
Jika seorang tidak memulai dengan suatu hipotesis bahwa kita sangat membutuhkan "pemurnian", maka ia tidak akan mencari "pemurni" dan tak mungkin ia akan mendapatkannya. Karenanya, penjelasan Al-Quran ini memainkan peranan besar yang dapat menyeret Kristen menuju kesesatan.
Setelah aku memahami hal itu, sekarang aku meyakini bahwa Islam bukanlah suatu langkah mundur ke belakang, melainkan sebuah langkah yang mengantarkan manusia maju ke depan dan menuju tingkat yang lebih maju dari apa yang telah dicapai setelah al-Masih. Jika, kita boleh mengunakan istilah-istilah Hegel dan Marx, maka kita bisa mengatakan bahwa Islam telah menghentikan Kristen di atas kakinya sendiri, setelah sebelumnya Kristen berdiri di atas kepalanya sendiri.
Sementara kalangan Agnostis berasumsi bahwa kita tidak mungkin mengenal sesuatu yang tidak ditangkap oleh pancaindra secara yakin, maka mereka berpendapat kepada penegasan kemungkinan ketiadaan wujud hakikat di balik indra-indra itu.
Ini bukanlah sikap yang membutuhkan kecerdasan, melainkan lebih kepada alasan atau justifikasi, dan bercirikan pemihakan. Mungkin lebih dekat kepada kejujuran dengan dasar kemampuan pemikiran manusia terhadap investigasi --suatu pengakuan bahwa kita tidak mampu sekalipun memberikan kemungkinan-kemungkinan terhadap sesuatu yang gaib.
Ketika aku memegang pendapat ini, selama beberapa waktu, aku bisa mengira bahwa suatu hari batas-batas sesuatu yang dapat kita ketahui bukanlah batas-batas hakikat. Hal itu adalah keputusanku disertai keimanan. Dan, karena menyadari keterbatasan kita dalam mengetahui segala sesuatu dengan yakin, karenanya aku memilih sikap jiwa yang rendah hati daripada sikap sombong dan bodoh yang dilakoni oleh penganut Agnotisisme, yang mementingkan keberanian dan kepuasan diri, dan orang-orang yang biasanya hidup dalam keterasingan diri yang kaku dan picik.
Dengan penuh kesadaran, aku menyerahkan diriku dan pikiranku kepada hakikat yang lebih agung, yang aku rasakan bahwa aku tiada lain hanyalah bagian kecil darinya. Aku serahkan diriku kepada Zat yang lebih besar dari para pembesar dunia; Allah Yang Mahabesar dari segala apa yang mungkin kita bayangkan."
Ketika aku mengatakan hal ini, sungguh aku tidak ingin menggiring seorang pun ke dataran licin dengan berusaha mengenalkan Allah dengan sifat-sifat manusia. Jumlah bilangan al-Asmaul Husna, yaitu 99 itu adalah satu persoalan.
Sedangkan, terperosok dalam dataran waham (asumsi) bahwa nama-nama metaforis (majaz) yang dibentuk dalam bahasa manusia yang bisa menyifati atau meringkas karakter dan Zat-Nya adalah persoalan lain.
Dengan kadar bahwa kita adalah tawanan dari kamus yang kita buat sendiri, dengan kadar yang jelas dari kemampuan kita --sekalipun dibantu wahyu-- nama-nama itu tidak mampu diketahui kecuali beberapa percik dari hakikat Allah yang menyeluruh.
Apa pun yang kukatakan, sesungguhnya hanyalah sedikit dari yang banyak.
Masuk Islam
Nama sebelum ia masuk Islam adalah Wilfred Hoffman. Begitu memeluk Islam, namanya ditambah menjadi Murad Wilfred Hoffman atau lebih populer dengan Murad Hoffman.
Dia terlahir pada 6 Juli 1931, dari sebuah keluarga Katholik, di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New York. Dia Doktor dalam bidang Undang-Undang Jerman, juga magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-Undang Amerika.
Pengalaman pribadi itu tertuang dalam buku yang berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998). Ia membuat catatan tertanggal 5 Februari 1983. Itu adalah 2 tahun 5 bulan setelah ia memeluk Islam. Hoffman membaca dua kalimah syahadat pada 25 September 1980.
Berikut penuturannya:
Ketika aku membaca Al-Qur'an pertama kali, aku langsung terpesona. Bahkan, aku mengambil pelajaran dari ayat 164 surat al-An'am, "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."
Aku memahami suatu kesalahan dalam ajaran Kristen tentang dosa warisan. Konsep yang benar adalah laki-laki dan perempuan berdiri di hadapan Sang Pencipta secara langsung tanpa perantara. "Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya" (bagian dari ayat kursi, surat al-Baqarah : 255). Dan, surat al-An'am ayat 164, pada gilirannya membawa makna esensial lain, yaitu pengingkaran konsep dosa pertama Adam.
Jika seorang tidak memulai dengan suatu hipotesis bahwa kita sangat membutuhkan "pemurnian", maka ia tidak akan mencari "pemurni" dan tak mungkin ia akan mendapatkannya. Karenanya, penjelasan Al-Quran ini memainkan peranan besar yang dapat menyeret Kristen menuju kesesatan.
Setelah aku memahami hal itu, sekarang aku meyakini bahwa Islam bukanlah suatu langkah mundur ke belakang, melainkan sebuah langkah yang mengantarkan manusia maju ke depan dan menuju tingkat yang lebih maju dari apa yang telah dicapai setelah al-Masih. Jika, kita boleh mengunakan istilah-istilah Hegel dan Marx, maka kita bisa mengatakan bahwa Islam telah menghentikan Kristen di atas kakinya sendiri, setelah sebelumnya Kristen berdiri di atas kepalanya sendiri.
Sementara kalangan Agnostis berasumsi bahwa kita tidak mungkin mengenal sesuatu yang tidak ditangkap oleh pancaindra secara yakin, maka mereka berpendapat kepada penegasan kemungkinan ketiadaan wujud hakikat di balik indra-indra itu.
Ini bukanlah sikap yang membutuhkan kecerdasan, melainkan lebih kepada alasan atau justifikasi, dan bercirikan pemihakan. Mungkin lebih dekat kepada kejujuran dengan dasar kemampuan pemikiran manusia terhadap investigasi --suatu pengakuan bahwa kita tidak mampu sekalipun memberikan kemungkinan-kemungkinan terhadap sesuatu yang gaib.
Ketika aku memegang pendapat ini, selama beberapa waktu, aku bisa mengira bahwa suatu hari batas-batas sesuatu yang dapat kita ketahui bukanlah batas-batas hakikat. Hal itu adalah keputusanku disertai keimanan. Dan, karena menyadari keterbatasan kita dalam mengetahui segala sesuatu dengan yakin, karenanya aku memilih sikap jiwa yang rendah hati daripada sikap sombong dan bodoh yang dilakoni oleh penganut Agnotisisme, yang mementingkan keberanian dan kepuasan diri, dan orang-orang yang biasanya hidup dalam keterasingan diri yang kaku dan picik.
Dengan penuh kesadaran, aku menyerahkan diriku dan pikiranku kepada hakikat yang lebih agung, yang aku rasakan bahwa aku tiada lain hanyalah bagian kecil darinya. Aku serahkan diriku kepada Zat yang lebih besar dari para pembesar dunia; Allah Yang Mahabesar dari segala apa yang mungkin kita bayangkan."
Ketika aku mengatakan hal ini, sungguh aku tidak ingin menggiring seorang pun ke dataran licin dengan berusaha mengenalkan Allah dengan sifat-sifat manusia. Jumlah bilangan al-Asmaul Husna, yaitu 99 itu adalah satu persoalan.
Sedangkan, terperosok dalam dataran waham (asumsi) bahwa nama-nama metaforis (majaz) yang dibentuk dalam bahasa manusia yang bisa menyifati atau meringkas karakter dan Zat-Nya adalah persoalan lain.
Dengan kadar bahwa kita adalah tawanan dari kamus yang kita buat sendiri, dengan kadar yang jelas dari kemampuan kita --sekalipun dibantu wahyu-- nama-nama itu tidak mampu diketahui kecuali beberapa percik dari hakikat Allah yang menyeluruh.
Apa pun yang kukatakan, sesungguhnya hanyalah sedikit dari yang banyak.
Masuk Islam
Nama sebelum ia masuk Islam adalah Wilfred Hoffman. Begitu memeluk Islam, namanya ditambah menjadi Murad Wilfred Hoffman atau lebih populer dengan Murad Hoffman.
Dia terlahir pada 6 Juli 1931, dari sebuah keluarga Katholik, di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New York. Dia Doktor dalam bidang Undang-Undang Jerman, juga magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-Undang Amerika.