QS. Al-Baqarah Ayat 184
Sekalipun Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan kepada semua orang yang beriman, namun Allah yang Mahabijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir, untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan tersebut. Pada ayat tersebut tidak dirinci jenis/sifat batasan dan kadar sakit dan musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:
1.Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan, demikian pula perjalanannya jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Dawud az-Zahiri.
2.Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung jawab dan keimanan masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.
3.Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa. Juga bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit 16 farsakh (kurang lebih 80 km).
4.Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah menerangkan pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya, "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin."
Menurut ayat itu (184), siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, ia boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.
Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:
a.Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
b.Wanita hamil dan yang sedang menyusui. Menurut Imam Syafi'i dan Ahmad, bila wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan terganggu kesehatan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas keduanya mengqada puasa yang ditinggalkannya, dan membayar fidyah. Bila mereka khawatir atas kesehatan diri mereka saja yang terganggu dan tidak khawatir atas kesehatan janin/bayinya, atau mereka khawatir atas kesehatan dirinya dan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas mereka diqada puasa saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ibu hamil dan yang sedang menyusui dalam semua hal yang disebutkan di atas, cukup mengqada puasa saja.
c.Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.
d.Mengenai buruh dan petani yang penghidupannya hanya dari hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:
1)Ibnu Hajar dan Imam al-Azra'i telah memberi fatwa, "Sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Apabila pada siang harinya ia ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka. )
2)Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibiayainya dimana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka pada waktu itu," (dengan arti ia harus berpuasa sejak pagi).
Akhir ayat 184 menjelaskan orang yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberi makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan menekankan bahwa berpuasa lebih baik daripada tidak berpuasa.
Surat Al Baqarah yang 286 ayat itu turun di Madinah yang sebahagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa' (hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat Al Baqarah termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al Quran yang di dalamnya terdapat pula ayat yang terpancang (ayat 282). Surat ini dinamai Al Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran (puncak Al Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.
Surat Al Araf ayat 1-20 memberikan berbagai kandungan penting, mulai dari pengingat akan kebesaran Allah hingga panduan menjalani kehidupan yang penuh makna.
Ahmad Al-Badawi dituduh menyebarkan agama Kristen oleh orang Islam ia pun ditolak oleh orang Kristen karena tak mau menerima dogma-dogma Kristen secara harafiah. Ia pendiri tarekat Badawi Mesir.
Hukum tajwid Surat Yasin ayat 16-18 penting dipelajari kaum muslim. Tak sekadar menambah ilmu atau pengetahuan, namun juga ditujukan agar nantinya tidak keliru saat membacanya.
Pada saat Daulah Mamalik berkuasa di Mesir, Sultan Baybars menjadikan kota Mesir sebagai arena kegiatan para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehingga berkembangkanlah ilmu pengetahuan di Mesir.
Dalam surat ke-107, termaktub dalam Al-Quran, Allah mengkritik orang-orang yang rajin melakukan ibadah salat lima waktu, namun tidak peduli terhadap perbaikan nasib mereka yang terpinggir, terasing, menderita dan tertindas.