Masjid Jami Bua, Simbol Perlawanan Tentara Nica
A
A
A
Masjid Jami Bua yang terletak di Desa Rigellang, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), merupakan masjid pertama yang dibangun sejak Islam masuk ke tanah Luwu pada Abad ke-15.
Masjid yang dibangun sekitar tahun 1600 Masehi merupakan masjid tertua di Sulsel sekaligus menjadi saksi bisu penyebaran agara Islam di Kabupaten Luwu
.
Masjid ini pernah dimasuki oleh tentara Nica pada zaman penjajahan. Para tentara Nica tersebut memukul masyarakat yang sedang melakukan ibadah. Menginjak dan merobek-robek Alqur’an di dalam masjid.
Hal inilah yang memicu kemarahan rakyat Luwu lalu melakukan perlawanan pada tanggal 23 Januari 1946 yang dikenal hari perlawanan masyarakat Luwu dan diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Luwu.
Meski terbilang tua, tetapi jika dilihat dari bentuk dan kondisi fisik masjid ini, tidak jauh berbeda dengan masjid pada umumnya. Masjid ini berkubah segi empat, berbalut cat warna putih dan hijau dengan menara di sisi kiri masjid.
Apalagi, desain masjid itu hanya sedikit yang tersentuh pengaruh modern hanya dengan sebuah papan bertuliskan Masjid Jami Bua, Desa tanarigella, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu. Ditambah lagi, bangunan tua yang berada di belakang mesjid tersebutmengisyaratkan kalau masjid tersebut adalah masjid tua.
Sisa-sisa sejarah islam di masjid ini bisa dilihat dalam bentuk kubah. Tiang tengah masjid dan mimbar terdapat tiga benda ini yang masih dijaga dengan baik oleh pengurus masjid dan masyarakat setempat.
Bahkan, untuk menjaga keutuhan tiang tengah masjid yang bersegi delapan itu, pengelola masjid berinisiatif membungkusnya dengan batu keramik berwarna putih sebagai simbol kesucian.
Demikian halnya, dengan kubah masjid yang bersegi empat dengan bentuk bersusun tiga oleh tokoh agama setempat meriwayatkan bahwa bentuk kubah itu sengaja dipertahankan sebagai simbol ajaran islam.
Struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun. Tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu Pallanga, Alliri Possi, dan Soddu.
Menurut Misran, pengurus Masjid Jami’ Bua, bahwa masjid tua tersebut awalnya di bangun dengan menggunakan kayu dan beratap daun rumbia pada tahun 1600 masehi. "Namun, akibat material yang rapuh sehingga masyarakat melakukan renovasi dan bergeser dari bentuk aslinya," tandas Misran.
Seperti diketahui, sebelum agama Islam masuk ke tanah Luwu, masyarakat dan Kerajaan Luwu menganut paham animisme. Setelah 10 abad berdirinya Kerajaan Luwu, ajaran agama Islam pun masuk di tanah Luwu dibawa oleh Datu Sulaiman dan Sato’ Sri Bandang yang berasal dari Aceh
Masjid yang dibangun sekitar tahun 1600 Masehi merupakan masjid tertua di Sulsel sekaligus menjadi saksi bisu penyebaran agara Islam di Kabupaten Luwu
.
Masjid ini pernah dimasuki oleh tentara Nica pada zaman penjajahan. Para tentara Nica tersebut memukul masyarakat yang sedang melakukan ibadah. Menginjak dan merobek-robek Alqur’an di dalam masjid.
Hal inilah yang memicu kemarahan rakyat Luwu lalu melakukan perlawanan pada tanggal 23 Januari 1946 yang dikenal hari perlawanan masyarakat Luwu dan diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Luwu.
Meski terbilang tua, tetapi jika dilihat dari bentuk dan kondisi fisik masjid ini, tidak jauh berbeda dengan masjid pada umumnya. Masjid ini berkubah segi empat, berbalut cat warna putih dan hijau dengan menara di sisi kiri masjid.
Apalagi, desain masjid itu hanya sedikit yang tersentuh pengaruh modern hanya dengan sebuah papan bertuliskan Masjid Jami Bua, Desa tanarigella, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu. Ditambah lagi, bangunan tua yang berada di belakang mesjid tersebutmengisyaratkan kalau masjid tersebut adalah masjid tua.
Sisa-sisa sejarah islam di masjid ini bisa dilihat dalam bentuk kubah. Tiang tengah masjid dan mimbar terdapat tiga benda ini yang masih dijaga dengan baik oleh pengurus masjid dan masyarakat setempat.
Bahkan, untuk menjaga keutuhan tiang tengah masjid yang bersegi delapan itu, pengelola masjid berinisiatif membungkusnya dengan batu keramik berwarna putih sebagai simbol kesucian.
Demikian halnya, dengan kubah masjid yang bersegi empat dengan bentuk bersusun tiga oleh tokoh agama setempat meriwayatkan bahwa bentuk kubah itu sengaja dipertahankan sebagai simbol ajaran islam.
Struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun. Tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu Pallanga, Alliri Possi, dan Soddu.
Menurut Misran, pengurus Masjid Jami’ Bua, bahwa masjid tua tersebut awalnya di bangun dengan menggunakan kayu dan beratap daun rumbia pada tahun 1600 masehi. "Namun, akibat material yang rapuh sehingga masyarakat melakukan renovasi dan bergeser dari bentuk aslinya," tandas Misran.
Seperti diketahui, sebelum agama Islam masuk ke tanah Luwu, masyarakat dan Kerajaan Luwu menganut paham animisme. Setelah 10 abad berdirinya Kerajaan Luwu, ajaran agama Islam pun masuk di tanah Luwu dibawa oleh Datu Sulaiman dan Sato’ Sri Bandang yang berasal dari Aceh
(lis)