Ada Humanity Food Truck ACT, Ramadan Kami Bisa Hemat
A
A
A
JAKARTA - Humanity Food Truck merupakan jembatan kemanusiaan dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk menyampaikan amanah kepedulian bagi jutaan saudara yang membutuhkan. Selama Ramadan, Humanity Food Truck ACT akan membagikan hingga 1.000 porsi makanan berbuka bagi mereka yang berpuasa.
Setahun setelah penggusuran, wajah Kampung Akuarium, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara masih nampak sama. Puing-puing bangunan menutupi sebagian besar area yang pernah dipadati oleh hunian permanen. Berdiri di atas reruntuhan tersebut adalah bedeng-bedeng beralaskan seng dan terpal serta beberapa “tenda ayam” (tenda darurat, Red). Di sana lah ratusan warga Kampung Akuarium yang memilih bertahan, tinggal.
Minggu sore (28/5), beberapa warga Kampung Akuarium berkerumun di tanah lapang, tak jauh dari satu-satunya musala yang ada di kampung itu. Sambil menanti waktu berbuka puasa, mereka melihat-lihat truk besar berbalut warna oranye dan hijau yang cukup kontras dengan kelabu langit sore itu. Humanity Food Truck telah bertengger gagah di lokasi tersebut sejak siang. Sajian berbuka telah rampung dimasak, siap dikemas ke dalam 500 paket berbuka yang ditata apik dan menggugah selera.
Sulastri (46), salah satu warga Kampung Akuarium, sengaja tidak memasak hari itu. Sehari sebelumnya, ibu dua anak ini sudah tahu bahwa kampungnya akan kedatangan Humanity Food Truck. Maka, sore itu ia duduk manis di pendopo dekat lapangan bersama beberapa ibu rumah tangga lainnya.
“Tadi cuma beli sayur bening sama kolak kolang-kaling dan pacar cina, untuk takjil. Bulan puasa makanannya biasa aja, tidak ada yang spesial. Maklum, suami cuma kerja jadi ojek sepeda onthel,” ungkap Sulastri ketika ditanya hidangan berbuka yang biasa ia sajikan untuk keluarga selama Ramadan.
Bisa dibilang, harga bahan makanan selama Ramadan cukup melonjak. Oleh karena itu, ia harus pintar membuat anggaran belanja. Ketika mengetahui Humanity Food Truck akan berbagi hidangan berbuka puasa gratis, ia langsung memangkas anggaran belanja untuk hari itu (28/5).
“Biasanya saya beli kolak 4 porsi, hari ini 2 porsi saja. Kan sudah dapat takjil. Saya juga tidak masak karena tahu akan dapat makanan gratis. Alhamdulillah banget ada acara bagi-bagi makanan berbuka ini, saya bisa hemat,” ujarnya, sambil berencana menghidangkan mie instan untuk sahur keluarganya.
Ia dan keluarganya berusaha hidup makin hemat selama setahun belakangan ini. Setelah rumahnya ikut diruntuhkan buldoser April 2016 lalu, aset bangunan yang ia miliki turut lenyap. Bersama empat keluarga lainnya, ia memilih bertahan hidup di satu “tenda ayam” yang dipatok di atas reruntuhan. Mereka berhemat sebisa mungkin agar dapur tetap mengepul.
Tidak memasak atau membeli hidangan berbuka puasa hari Minggu itu ternyata juga menjadi pilihan Asfiah (74). Sehari-hari, lansia yang tinggal berdua dengan anaknya ini memang jarang memasak.
“Kan cuma tinggal berdua sama anak saya, Asep (35). Kadang malah sendirian. Jadi ya beli masakan jadi saja. Untuk hari ini, saya tidak beli makanan soalnya tahu bakal dapat ini,” ungkap Asfiah sambil menunjukkan paket berbuka puasa yang baru ia dapatkan. Nasi hangat, tumis buncis, semur ayam, sambal, dan kerupuk mengundang selera dari balik tutup boks yang transparan.
Ramadan ini, Asfiah tidak neko-neko soal hidangan berbuka atau sahur. Seperti warga lainnya, ia juga harus berhemat. Semenjak penggusuran tahun lalu, ia sudah tidak bekerja. Sebelumnya, ia bersama sahabatnya Irah (70), biasa mengupas kulit udang di pelelangan ikan tak jauh dari kontrakannya. Per hari, mereka bisa mengupas 3 hingga 6 kg udang dengan upah Rp 3000 per kg nya.
“Sekarang udah dibongkar tempatnya. Kontrakan saya juga. Jadi ya udah tidak kerja lagi,” ujarnya. Kini ia, anaknya, Irah, dan satu keluarga lainnya tinggal di gudang bekas penyimpanan cumi.
Untuk memenuhi kebutuhan harian, Asfiah mengaku biasa menggunakan uang pemberian orang. Penghasilan anaknya yang bekerja sebagai buruh pengupas kelapa kurang mencukupi kebutuhan harian mereka.
“Dia cuma bekerja seminggu dua kali. Seharinya biasa dapet upah 30 ribu. Kadang, ada orang yang suka kasih saya uang. Jadi kita harus hemat-hemat banget. Kalau ada uang, kita beli makan. Kalau tidak ada, ya udah di rumah aja,” kata janda Asfiah. Suaminya telah meninggal delapan tahun lalu.
Sambil mengenang kematian almarhum suaminya, ia berkisah mengenai masa kecilnya di Kampung Akuarium. Meskipun telah memasuki usia senja, kenangan puluhan tahun lalu itu masih tersemat di benaknya. Asfiah berkisah, keluarganya telah tinggal di sekitar Pasar Ikan sejak ia berusia 5 tahun atau sekitar tahun 1948. Orang tuanya merupakan penyapu jalanan di sekitar Pasar Ikan. Sementara ia biasa memungut ikan di daerah pelelangan.
Hingga 1960-an, Kampung Akuarium masih merupakan kawasan laboratorium penelitian hewan-hewan laut. Hal ini juga disebutkan dalam buku Kotapradja Djakarta-Raja: Tujuh Tahun Kotapradja, terbitan tahun 1952. Laboratorium tersebut memiliki akuarium kaca berukuran besar yang berisi berbagai jenis hewan laut. Dari sini lah, istilah “akuarium” diambil untuk dijadikan nama kampung ketika pendatang mulai mendiami kawasan tersebut di awal 1970-an.
Selama puluhan tahun, warga Kampung Akuarium mayoritas bekerja sebagai nelayan, kuli panggul pelabuhan, dan pedagang di pasar. Sejak adanya penertiban kawasan pada April 2016 lalu, hampir seluruh warga di sana kehilangan mata pencaharian. Separuh dari total sekitar 300 KK memilih pulang ke kampung halaman atau pindah ke daerah lain untuk menyambung hidup. Sebanyak 169 KK sisanya memilih bertahan dibalik bedeng atau tenda darurat yang didirikan di atas reruntuhan.
Menjelang maghrib, Humanity Food Truck rampung mendistribusikan 500 paket berbuka untuk 169 KK atau 679 warga Kampung Akuarium. Nenek Asfiah dan beberapa warga lainnya langsung membawa paket berbuka ke kediaman mereka. Rasa syukur tak lupa terucap.
“Bersyukur sekali pada Allah. Alhamdulillah dapet rezeki. Semoga yang memberikan makanan ini mendapat pahala dari Allah SWT. Semoga dia dipanjangkan umurnya dan rezekinya. Disehatin badannya juga,” doa Asfiah. Gigi-giginya yang sudah tak lagi lengkap nampak ketika ia mengucap doa.
Humanity Food Truck terus menyambangi wilayah-wilayah urban lainnya, membawa serta semangat berbagi. Setiap harinya 500 hingga 1.000 paket berbuka puasa akan menyapa warga Jabodetabek yang membutuhkan
Setahun setelah penggusuran, wajah Kampung Akuarium, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara masih nampak sama. Puing-puing bangunan menutupi sebagian besar area yang pernah dipadati oleh hunian permanen. Berdiri di atas reruntuhan tersebut adalah bedeng-bedeng beralaskan seng dan terpal serta beberapa “tenda ayam” (tenda darurat, Red). Di sana lah ratusan warga Kampung Akuarium yang memilih bertahan, tinggal.
Minggu sore (28/5), beberapa warga Kampung Akuarium berkerumun di tanah lapang, tak jauh dari satu-satunya musala yang ada di kampung itu. Sambil menanti waktu berbuka puasa, mereka melihat-lihat truk besar berbalut warna oranye dan hijau yang cukup kontras dengan kelabu langit sore itu. Humanity Food Truck telah bertengger gagah di lokasi tersebut sejak siang. Sajian berbuka telah rampung dimasak, siap dikemas ke dalam 500 paket berbuka yang ditata apik dan menggugah selera.
Sulastri (46), salah satu warga Kampung Akuarium, sengaja tidak memasak hari itu. Sehari sebelumnya, ibu dua anak ini sudah tahu bahwa kampungnya akan kedatangan Humanity Food Truck. Maka, sore itu ia duduk manis di pendopo dekat lapangan bersama beberapa ibu rumah tangga lainnya.
“Tadi cuma beli sayur bening sama kolak kolang-kaling dan pacar cina, untuk takjil. Bulan puasa makanannya biasa aja, tidak ada yang spesial. Maklum, suami cuma kerja jadi ojek sepeda onthel,” ungkap Sulastri ketika ditanya hidangan berbuka yang biasa ia sajikan untuk keluarga selama Ramadan.
Bisa dibilang, harga bahan makanan selama Ramadan cukup melonjak. Oleh karena itu, ia harus pintar membuat anggaran belanja. Ketika mengetahui Humanity Food Truck akan berbagi hidangan berbuka puasa gratis, ia langsung memangkas anggaran belanja untuk hari itu (28/5).
“Biasanya saya beli kolak 4 porsi, hari ini 2 porsi saja. Kan sudah dapat takjil. Saya juga tidak masak karena tahu akan dapat makanan gratis. Alhamdulillah banget ada acara bagi-bagi makanan berbuka ini, saya bisa hemat,” ujarnya, sambil berencana menghidangkan mie instan untuk sahur keluarganya.
Ia dan keluarganya berusaha hidup makin hemat selama setahun belakangan ini. Setelah rumahnya ikut diruntuhkan buldoser April 2016 lalu, aset bangunan yang ia miliki turut lenyap. Bersama empat keluarga lainnya, ia memilih bertahan hidup di satu “tenda ayam” yang dipatok di atas reruntuhan. Mereka berhemat sebisa mungkin agar dapur tetap mengepul.
Tidak memasak atau membeli hidangan berbuka puasa hari Minggu itu ternyata juga menjadi pilihan Asfiah (74). Sehari-hari, lansia yang tinggal berdua dengan anaknya ini memang jarang memasak.
“Kan cuma tinggal berdua sama anak saya, Asep (35). Kadang malah sendirian. Jadi ya beli masakan jadi saja. Untuk hari ini, saya tidak beli makanan soalnya tahu bakal dapat ini,” ungkap Asfiah sambil menunjukkan paket berbuka puasa yang baru ia dapatkan. Nasi hangat, tumis buncis, semur ayam, sambal, dan kerupuk mengundang selera dari balik tutup boks yang transparan.
Ramadan ini, Asfiah tidak neko-neko soal hidangan berbuka atau sahur. Seperti warga lainnya, ia juga harus berhemat. Semenjak penggusuran tahun lalu, ia sudah tidak bekerja. Sebelumnya, ia bersama sahabatnya Irah (70), biasa mengupas kulit udang di pelelangan ikan tak jauh dari kontrakannya. Per hari, mereka bisa mengupas 3 hingga 6 kg udang dengan upah Rp 3000 per kg nya.
“Sekarang udah dibongkar tempatnya. Kontrakan saya juga. Jadi ya udah tidak kerja lagi,” ujarnya. Kini ia, anaknya, Irah, dan satu keluarga lainnya tinggal di gudang bekas penyimpanan cumi.
Untuk memenuhi kebutuhan harian, Asfiah mengaku biasa menggunakan uang pemberian orang. Penghasilan anaknya yang bekerja sebagai buruh pengupas kelapa kurang mencukupi kebutuhan harian mereka.
“Dia cuma bekerja seminggu dua kali. Seharinya biasa dapet upah 30 ribu. Kadang, ada orang yang suka kasih saya uang. Jadi kita harus hemat-hemat banget. Kalau ada uang, kita beli makan. Kalau tidak ada, ya udah di rumah aja,” kata janda Asfiah. Suaminya telah meninggal delapan tahun lalu.
Sambil mengenang kematian almarhum suaminya, ia berkisah mengenai masa kecilnya di Kampung Akuarium. Meskipun telah memasuki usia senja, kenangan puluhan tahun lalu itu masih tersemat di benaknya. Asfiah berkisah, keluarganya telah tinggal di sekitar Pasar Ikan sejak ia berusia 5 tahun atau sekitar tahun 1948. Orang tuanya merupakan penyapu jalanan di sekitar Pasar Ikan. Sementara ia biasa memungut ikan di daerah pelelangan.
Hingga 1960-an, Kampung Akuarium masih merupakan kawasan laboratorium penelitian hewan-hewan laut. Hal ini juga disebutkan dalam buku Kotapradja Djakarta-Raja: Tujuh Tahun Kotapradja, terbitan tahun 1952. Laboratorium tersebut memiliki akuarium kaca berukuran besar yang berisi berbagai jenis hewan laut. Dari sini lah, istilah “akuarium” diambil untuk dijadikan nama kampung ketika pendatang mulai mendiami kawasan tersebut di awal 1970-an.
Selama puluhan tahun, warga Kampung Akuarium mayoritas bekerja sebagai nelayan, kuli panggul pelabuhan, dan pedagang di pasar. Sejak adanya penertiban kawasan pada April 2016 lalu, hampir seluruh warga di sana kehilangan mata pencaharian. Separuh dari total sekitar 300 KK memilih pulang ke kampung halaman atau pindah ke daerah lain untuk menyambung hidup. Sebanyak 169 KK sisanya memilih bertahan dibalik bedeng atau tenda darurat yang didirikan di atas reruntuhan.
Menjelang maghrib, Humanity Food Truck rampung mendistribusikan 500 paket berbuka untuk 169 KK atau 679 warga Kampung Akuarium. Nenek Asfiah dan beberapa warga lainnya langsung membawa paket berbuka ke kediaman mereka. Rasa syukur tak lupa terucap.
“Bersyukur sekali pada Allah. Alhamdulillah dapet rezeki. Semoga yang memberikan makanan ini mendapat pahala dari Allah SWT. Semoga dia dipanjangkan umurnya dan rezekinya. Disehatin badannya juga,” doa Asfiah. Gigi-giginya yang sudah tak lagi lengkap nampak ketika ia mengucap doa.
Humanity Food Truck terus menyambangi wilayah-wilayah urban lainnya, membawa serta semangat berbagi. Setiap harinya 500 hingga 1.000 paket berbuka puasa akan menyapa warga Jabodetabek yang membutuhkan
(aww)