Khutbah Wukuf Arafah: Mengenal Kemanusiaan dan Ketuhanan

Sabtu, 10 Agustus 2019 - 21:24 WIB
Khutbah Wukuf Arafah: Mengenal Kemanusiaan dan Ketuhanan
Khutbah Wukuf Arafah: Mengenal Kemanusiaan dan Ketuhanan
A A A
Abdul Muta'ali
Padang Arafah, 9 Dzulhijjah 1440 H/10 Agustus 2019

Segala puji bagi Allah muara semua pujian dan penghargaan. Kalaupun ada pujian bagi makhluk dan hamba-Nya, itu semata-mata tak lain adalah ujian dari-nya, atau Allah karena rahmat-nya sedang menutup aibnya. Yakinlah ketika Allah SWT membuka aib hamba-Nya tak satupun makhluk yang akan memujinya.

Salawat dan salam selalu tercurah kepada manusia pilihan, Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam (SAW); manusia termulia karena kesederhanaannya. Ketika para Rasul yang lain ditanya masing-masing gelar kelebihannya, apa jawaban Nabi Muhammad ketika ditanya gelarnya, 'ana yatim' (saya anak yatim). Serentak para Nabi tertunduk malu. Ibrahim sebelumnya menyebut gelarnya "Khalilullah (kekasih Allah). Nuh menyebut gelarnya "Safinatullah (perahunya Tuhan). Musa menyebut gelarnya "Kaliimullah (dapat berkomunikasi dengan Tuhan) dan Isa gelarnya "Ruhullah (ditiupkan ruh kedalam rahim ibunya).

Labbaykallahumma labbayk, labbaykalaa syariika laka labbayka. Innalhamda wanni'mata laka wal mulk laa syariika lak. Dhuyufurrahman, para tamu yang dimuliakan.

Inilah saat-saat yang dinanti dan didamba-dambakan oleh jutaan umat manusia. Saat bapak dan ibu dihajikan di tanah Arafah yang mulia ini. Alhajju Arafah (Haji itu di Arafah). Untuk menunggu dan bisa hadir di tanah Arafah ini ada yang rela menunggu belasan tahun, puluhan tahun, ada yang menjual rumah dan hartanya. Ada yang tahajud tiap malam, ada yang terjaga dengan zikirnya tiap malam, ada yang berpuasa tiap hari, ada yang tidak pernah terputus salat berjamaah tiap waktu, namun taqdir Allah banyak di antara mereka belum dapat hadir dijamu sebagai tamunya Allah.

Karena itu yakinlah wahai saudara sekalian, kita yang bisa hadir di sini, di tanah Arafah ini, sejak Zuhur hingga terbenamnya matahari nanti bukanlah karena kemuliaan kita, bukan kealiman kita. Kita bisa hadir di sini karena anugerah dan rahmat-Nya.

Lihatlah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib! Siapa yang meragukan kealiman dan kemuliaannya. Namun apa nasihat Rasul bagi keduanya. Jika kalian haji nanti cari seorang pemuda Fakir Uwais Al Qarni. Ini artinya, haji bukan hanya urusan harta pangkat jabatan, serta kealiman.

Haji adalah urusan murni iman dan keikhlasan seperti halnya Uwais Al Qarni yang menggendong ibunya dari Yaman berjalan kaki. Rasul menyebutnya bukan lagi orang bumi, tapi penghuni langit. Uwais seorang pemuda fakir. Keluarganya hanya ibunya yang buta dan lumpuh. Walaupun miskin dan super susah, kemiskinannya tak sedikit pun menjadi penghalang baginya untuk berbakti kepada ibunya.

Satu saja yang beliau Uwais penuhi yaitu, ketika Ibunya meminta ingin berangkat haji. Uwais terdiam menangis. Hatinya menjerit, Ya Rabb aku pemuda yang sangat miskin. Aku tak memiliki bekal apalagi kendaraan yang dapat ditunggangi ibuku berangkat ke Mekkah. Beri aku kekuatan ya Rabb. Jangan sampai ibu tidak memberikan ridonya kepadaku".

Keesokan harinya, Uwais Al Qarni membeli seekor anak lembu. Lalu dibuatkan kandang di atas bukit. Setiap pagi dan sore Uwais menggendong anak lembu itu turun naik ke bukit hingga 6 Bulan lamanya. Penduduk Yaman mengira Uwais sudah gila.

Ketika musim haji tiba, Uwais Al Qarni memiliki fisik dan otot yang kuat. Barulah penduduk Yaman paham kenapa Uwais tiap pagi dan sore turun dan naik gunung. Rupanya hal itu ia lakukan sebagai latihan fisik agar kuat menggendong ibunya dari Yaman ke Mekkah berjalan kaki. Wajar saja Nabi menyebut Uwais penghuni langit, bukan bumi.

Labbaykallahumma labbayk labbaykalaa syariika laka labbayk. Innal hamda wanni'mata laka walmulk laa syariika lak. Para tamu Allah yang dimuliakan.

Ketika Nabi bersabda Alhajju Arafah (haji itu Arafah), tentu yang dimaksud bukan hanya tempat yaitu Arafah. Arafah di sini adalah seluruh komponen makna leksikal yang terkandung pada kata Arafah. Arafah adalah kata polisemi, banyak memiliki arti. Arafah diambil dari kata arafa ya'rifu.

Pertama, Arafah maknanya mengenal. Alhajju Arafah, artinya haji itu mengenal. Mengenal siapa? Mengenal Tuhannya. Selamat tidaknya kita nanti pada hari kiamat sangat ditentukan seberapa kenal kita kepada Tuhan kita. Jangan sampai kita buta untuk mengenal Allah.

Kedua, Arafah artinya menemukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan: "Carilah segala kebaikan yang hilang dari dirimu di Arafah". Jika ada di antara kita punya tabiat pemarah, maka sabar adalah kebaikan yang hilang. Temukan sabar itu di Arafah. Jika kita selalu dikungkung kesulitan, sakit menahun, dan kesempitan, maka kemudahan, kesembuhan, dan kelapangan adalah kebaikan yang hilang. Cari ketiganya di Arafah. Jika di antara kita selalu kalah dengan maksiat, putra-putri yg durhaka, maka keimanan dan kesolehan anak2 adalah barang hilang. Cari di Arafah.

Ketiga, Arafah memiliki makna padang Arafah. Inilah tanah lapang miniatur yang akan kita hadapi nanti di padang mahsyar. Tak ada dunia yang bisa kita bawa kecuali amal. Kain ihrom putih yang sedang kita pakai adalah gambaran kain kafan yang akan kita pakai wafat nanti. Orang yang dijamu di Arafah mainsetnya harus langit, akhirat tidak lagi bermain di bumi.

Para tamu Allah yang dimuliakan. Saat Arafah ini Allah SWT turunkan ayat terakhir dari Alqur'an Surat Al-Maidah ayat 3. Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamaku dan telah aku paripurnakan nikmat-Ku, serta telah Aku ridoi Islam sebagai agama kalian. Haji adalah rukun Islam terakhir, berbarengan dengan ayat terakhir di turunkan.

Sejatinya, orang yang dijamu oleh Allah SWT di Padang Arafah harus lebih baik dari sebelumnya dan orang yang belum hadir di Arafah. Wukuf di Arafah adalah amanah. Sebaik-baik orang yang amanahi adalah yang menunaikannya. Tunaikanlah dengan menebar kebaikan, akhlak yang baik, dan memberikan manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang. Semoga bermanfaat.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7136 seconds (0.1#10.140)