3 Faktor Pemersatu Bangsa dalam Peristiwa Hijrah Rasulullah SAW
A
A
A
DR KH Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Alumni Institute of Arab Studies Kairo-Mesir
Mengawali peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Kota Makkah menuju Madinah yang terjadi pada tahun 622 M, sesunguhnya telah menegasikan sebuah perubahan besar persatuan umat Islam secara kolektif. Sehingga pada akhirnya terbentuklah sebuah negara Madani yang berkedaulatan, berkesejahteraan, berkemajuan di bawah naungan cahaya Islam, tersebar ke seluruh penjuru benua menguasai peradaban dunia lebih dari 13 abad lamanya.
Pada peristiwa hijrah, Allah SWT ingin mengajarkan kepada masyarakat dunia tentang konsep pembentukan awal sebuah komunitas masyarakat untuk mencapai dan mewujudkan masyarakat madani yang teorinya masih relevan hingga saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari petunjuk yang Allah berikan kepada seorang Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW dalam peristiwa hijrah, yaitu:
1. Pendirian masjid pertama di Quba dan pembangunan Masjid Nabawi yang mengawali tonggak sejarah penyebaran Islam di jazirah Arab untuk pertama kalinya merupakan pesan simbolik sekaligus langkah politik untuk menghimpun serta menyatukan umat Islam di bawah satu kesatuan negara.
2. Perbaikan serta pengukuhan sendi-sendi pondasi ekonomi umat Islam dengan diutusnya Abdurrahman bin Auf oleh Rasulullah ke pasar-pasar Madinah untuk menguasai komoditi penting yang telah dikuasai sebelumnya oleh para pedagang Yahudi merupakan langkah strategis mengawali kedaulatan ekonomi Islam di pemukiman baru itu.
3. Upaya-upaya mendamaikan dua kabilah yang senantiasa bertikai di Madinah; antara suku Auz dan Khazraj, serta mempersaudarakan antara kaum muslimin Anshar; penduduk asli Madinah dengan golongan pendatang Muhajirin Makkah juga merupakan langkah politis yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka menghimpun kekuatan politik dalam menjaga stabilitas keamanan dan pertahanan komunitas umat Islam ketika itu.
Dari beberapa langkah kebijakan tersebut diawali -dari peristiwa hijrahnya Rasulullah- bisa dijadikan kajian teoritis dalam upaya mencapai dan mewujudkan masyarakat Madani. Paling tidak, dari tiga kebijakan yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu: (1) menghimpun kekuatan publik secara politis, (2) membangun kekuatan ekonomi keumatan yang mandiri dan berdaulat, (3) dan menguatkan kembali stabilitas keamanan dan pertahanan.
Tiga elemen tersebut di atas, bisa kita jadikan refleksi kembali dalam mencapai dan mewujudkan negara Indonesia yang berkedaulatan dan berkemajuan, baik dari segi politik dalam dan luar negeri, kemandirian ekonomi, serta pengukuhan eksistensi kedaulatan negara kita dari pengaruh dan intervensi negara lain.
Pembentukan negara/daulah merupakan sebuah kewajiban dalam pandangan Islam. Namun, pada bentuk kerangka negara itu, pengelolaan serta dasar filosofi bernegara itu sendiri, Islam memberikan pilihan-pilihan yang disesuaikan dengan kesesuaian dan kehendak warga negaranya sendiri dalam menentukan dan merumuskannya secara ijtihadi.
Islam hanya menekankan pada prinsip-prinsip umumnya saja, seperti: persatuan, musyawarah, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, kesamaan hak dan kewajiban, persamaan di depan hukum, serta hak asasi kemanusiaan, nasionalisme dan cinta tanah air.
Jika semua itu dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara secara ideal, maka upaya demi mewujudkan masyarakat madani pun akan terwujud. Terbukti setelah itu, Islam berhasil memimpin dunia lebih dari 1.300 tahun lamanya sebagai negara yang berkemajuan dalam segala bidang kehidupan.
Dalam proses hijrah dan pembentukan negara madani, Rasulullah pun melibatkan semua komponen masyarakat, baik itu warga Yahudi di Madinah, maupun non-muslim lainnya selama mereka masih mau terlibat dalam membangun kota Madinah.
Peristiwa Piagam Madinah menjadi puncak momentum sejarah bahwa masyarakat Madani yang diinginkan oleh Islam, bukan semata untuk kepentingan umat Islam itu sendiri. Namun, bagaimana prinsip-prinsip hak dan kewajiban sebagai sesama warga negara dalam satu ikatan negara dijamin dan dipenuhi haknya, tanpa memandang pada perbedaan latar belakang agama, status sosial, suku dan ras.
Prinsip negara Madani dalam konsep Islam adalah menciptakan masyarakat berkemajuan dengan prinsip-prinsip, antara lain: al-musyawarah (dialog dan keterbukaan), al-mu’awanah (gotong royong dan kebersamaan), al-musawamah (persamaan hak dan kewajiban), al-maslahahah (kebaikan dan kemaslahatan bersama), serta al-mu'adalah (keadilan).
Jika semua prinsip tersebut benar-benar dapat diterapkan, maka persatuan negara Indonesia dapat diwujudkan, ancaman disintegrasi bangsa pun dapat terhindarkan. Namun, jika pemerintah hanya berpusat pada faktor-faktor infrakstruktur saja, tapi mengabaikan faktor-faktor perekat persatuan bangsa, antara lain, seperti: kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi kerakyatan, keadilan, dan perhatian yang besar terhadap rakyatnya, maka hal tersebut akan mustahil terwujud dengan baik.
Semoga dengan momentum Tahun Baru Islam 1441 H, ini bisa menjadikan sebuah refleksi persatuan yang lebih kuat dan erat lagi bagi bangsa dan negara kita. Amin ya Rabb 'alamien.
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Alumni Institute of Arab Studies Kairo-Mesir
Mengawali peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Kota Makkah menuju Madinah yang terjadi pada tahun 622 M, sesunguhnya telah menegasikan sebuah perubahan besar persatuan umat Islam secara kolektif. Sehingga pada akhirnya terbentuklah sebuah negara Madani yang berkedaulatan, berkesejahteraan, berkemajuan di bawah naungan cahaya Islam, tersebar ke seluruh penjuru benua menguasai peradaban dunia lebih dari 13 abad lamanya.
Pada peristiwa hijrah, Allah SWT ingin mengajarkan kepada masyarakat dunia tentang konsep pembentukan awal sebuah komunitas masyarakat untuk mencapai dan mewujudkan masyarakat madani yang teorinya masih relevan hingga saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari petunjuk yang Allah berikan kepada seorang Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW dalam peristiwa hijrah, yaitu:
1. Pendirian masjid pertama di Quba dan pembangunan Masjid Nabawi yang mengawali tonggak sejarah penyebaran Islam di jazirah Arab untuk pertama kalinya merupakan pesan simbolik sekaligus langkah politik untuk menghimpun serta menyatukan umat Islam di bawah satu kesatuan negara.
2. Perbaikan serta pengukuhan sendi-sendi pondasi ekonomi umat Islam dengan diutusnya Abdurrahman bin Auf oleh Rasulullah ke pasar-pasar Madinah untuk menguasai komoditi penting yang telah dikuasai sebelumnya oleh para pedagang Yahudi merupakan langkah strategis mengawali kedaulatan ekonomi Islam di pemukiman baru itu.
3. Upaya-upaya mendamaikan dua kabilah yang senantiasa bertikai di Madinah; antara suku Auz dan Khazraj, serta mempersaudarakan antara kaum muslimin Anshar; penduduk asli Madinah dengan golongan pendatang Muhajirin Makkah juga merupakan langkah politis yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka menghimpun kekuatan politik dalam menjaga stabilitas keamanan dan pertahanan komunitas umat Islam ketika itu.
Dari beberapa langkah kebijakan tersebut diawali -dari peristiwa hijrahnya Rasulullah- bisa dijadikan kajian teoritis dalam upaya mencapai dan mewujudkan masyarakat Madani. Paling tidak, dari tiga kebijakan yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu: (1) menghimpun kekuatan publik secara politis, (2) membangun kekuatan ekonomi keumatan yang mandiri dan berdaulat, (3) dan menguatkan kembali stabilitas keamanan dan pertahanan.
Tiga elemen tersebut di atas, bisa kita jadikan refleksi kembali dalam mencapai dan mewujudkan negara Indonesia yang berkedaulatan dan berkemajuan, baik dari segi politik dalam dan luar negeri, kemandirian ekonomi, serta pengukuhan eksistensi kedaulatan negara kita dari pengaruh dan intervensi negara lain.
Pembentukan negara/daulah merupakan sebuah kewajiban dalam pandangan Islam. Namun, pada bentuk kerangka negara itu, pengelolaan serta dasar filosofi bernegara itu sendiri, Islam memberikan pilihan-pilihan yang disesuaikan dengan kesesuaian dan kehendak warga negaranya sendiri dalam menentukan dan merumuskannya secara ijtihadi.
Islam hanya menekankan pada prinsip-prinsip umumnya saja, seperti: persatuan, musyawarah, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, kesamaan hak dan kewajiban, persamaan di depan hukum, serta hak asasi kemanusiaan, nasionalisme dan cinta tanah air.
Jika semua itu dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara secara ideal, maka upaya demi mewujudkan masyarakat madani pun akan terwujud. Terbukti setelah itu, Islam berhasil memimpin dunia lebih dari 1.300 tahun lamanya sebagai negara yang berkemajuan dalam segala bidang kehidupan.
Dalam proses hijrah dan pembentukan negara madani, Rasulullah pun melibatkan semua komponen masyarakat, baik itu warga Yahudi di Madinah, maupun non-muslim lainnya selama mereka masih mau terlibat dalam membangun kota Madinah.
Peristiwa Piagam Madinah menjadi puncak momentum sejarah bahwa masyarakat Madani yang diinginkan oleh Islam, bukan semata untuk kepentingan umat Islam itu sendiri. Namun, bagaimana prinsip-prinsip hak dan kewajiban sebagai sesama warga negara dalam satu ikatan negara dijamin dan dipenuhi haknya, tanpa memandang pada perbedaan latar belakang agama, status sosial, suku dan ras.
Prinsip negara Madani dalam konsep Islam adalah menciptakan masyarakat berkemajuan dengan prinsip-prinsip, antara lain: al-musyawarah (dialog dan keterbukaan), al-mu’awanah (gotong royong dan kebersamaan), al-musawamah (persamaan hak dan kewajiban), al-maslahahah (kebaikan dan kemaslahatan bersama), serta al-mu'adalah (keadilan).
Jika semua prinsip tersebut benar-benar dapat diterapkan, maka persatuan negara Indonesia dapat diwujudkan, ancaman disintegrasi bangsa pun dapat terhindarkan. Namun, jika pemerintah hanya berpusat pada faktor-faktor infrakstruktur saja, tapi mengabaikan faktor-faktor perekat persatuan bangsa, antara lain, seperti: kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi kerakyatan, keadilan, dan perhatian yang besar terhadap rakyatnya, maka hal tersebut akan mustahil terwujud dengan baik.
Semoga dengan momentum Tahun Baru Islam 1441 H, ini bisa menjadikan sebuah refleksi persatuan yang lebih kuat dan erat lagi bagi bangsa dan negara kita. Amin ya Rabb 'alamien.
(rhs)