Social Distancing, Benarkah Istri Boleh Tendang Suami dari Ranjang?
A
A
A
ULAMA ternama Shaikh Abdullah al-Mutlaq dalam acara perilisan dekrit keagamaan di stasiun televisi yang dikelola Kerajaan Arab Saudi, meminta warga bersikap tegas dan mematuhi aturan social distancing untuk mencegah persebaran virus corona atau COVID-19 .
Bahkan, Al-Mutlaq yang merupakan ulama penasihat Kerajaan Arab Saudi mengatakan kepada seorang wanita, dia berhak menendang suaminya keluar dari ranjang atau tempat tidur, jika sang suami tidak mematuhi aturan social distancing. ( Baca juga: Social Distancing, Ulama Arab Saudi Sebut Istri Berhak Tendang Suami dari Ranjang ).
Pertanyaannya, benarkah dalam Islam istri boleh menolak ajakan berhubungan seksual dengan suami untuk mencegah menyebaran virus corona ?
Banyak hadis yang mewajibkan istri untuk melayani suami ketika suami meminta hubungan seks. Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)
Pertanyaannya, dalam kondisi sepertii apa kewajiban itu bisa gugur? Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda, dalam laman Nadlatul Ulama, Senin (5/4/2020) mengulas "bolehkah istri menolak berhubungan dengan suami yang terjangkit Covid-1 ? Dalam literatur khazanah fiqih Islam, menurutnya, mengenal istilah nusyuz, yaitu pembangkangan istri atas ketaatan yang wajib dipenuhinya untuk suami. Di antaranya adalah ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual dengannya.
Menurutnya, istri dalam kondisi tertentu bila mempunyai uzur kondisi fisik atau sakit yang tidak memungkinkan memberikan pelayanan seksual kepada suami diperbolehkan untuk menolaknya.
Keterangan ini dapat ditemukan pada Al-Masu'atul Fiqhiyyah dan Asnal Mathalib (Wizaratul Auqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, [Kuwait, Al-Wizarah: 1421 H/2001 M], juz XL. halaman 284) dan Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatit Thalib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1422 H], juz III, halaman 434).
Mengontekstualisasikan hukum nusyuz Syekh Ali As-Syubramilisi (997-1087 H/1588-1676 M), pakar fiqih Syafi’i asal Mesir menyatakan, ketika suami menderita sakit menular lepra, maka istri tidak dianggap nusyuz dengan tidak menyediakan pelayanan seksual terhadapnya.
وَبَقِيَ مَا لَوْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمَجْذُومُ وَلَمْ يَتَيَسَّرْ لَهَا فَسْخٌ بِسَبَبِ الْجُذَامِ فَهَلْ يَكْتَفِي فِي دَفْعِ النُّشُوزِ مِنْهَا بِانْفِرَادِهَا عَنْهُ فِي جَانِبٍ مِنْ الْبَيْتِ فَلَا تَكُونُ نَاشِزَةً بِذَلِكَ وَلَا بِعَدَمِ تَمْكِينِهَا لَهُ مِنْ الْجِمَاعِ وَالتَّمَتُّعِ بِهَا أَوْ لَا فِيهِ نَظَرٌ وَالظَّاهِرُ الْأَوَّلُ ا هـ ع ش
Artinya, “Pembahasan nusyuz ini menyisakan kasus andaikan suami yang menderita lepra dan istri tidak mudah mengajukan fasakh nikah karena sebab penyakit lepra suaminya, maka apakah untuk menghindari nusyuz ia cukup menyendiri di pojok rumah sehingga tidak berstatus perempuan yang nusyuz karenanya, dan tidak berstatus nusyuz pula dengan tidak ada kesediannya untuk memberikan layanan seksual terhadap suaminya, baik persetubuhan dan percumbuan lainnya?
Dalam hal ini perlu pembahasan lebih lanjut. Pendapat yang jelas adalah yang pertama. Demikian pernyataan Syekh Ali As-Syubramilisi,” (Abdul Hamid As-Syarwani, Hasyiyyatus Syarwani ‘alat Tuhfah, [Beirut, Darul Fikr: tth], juz VII, halaman 441).
Bahkan dalam kasus yang lebih ringan, yaitu ketika suami mempunyai bau ketiak yang sangat tidak sedap dan secara umumnya orang istri tidak tahan terhadapnya, Syekh Ali As-Syubramilisi juga menyatakan bahwa hal itu termasuk uzur dan istri tidak dianggap sebagai wanita yang nusyuz atau membangkang terhadap suami atas penolakannya ketika diajak berhubungan seksual.
فَإِنْ عُذِرَتْ كَأَنْ كَانَ بِهِ صُنَانٌ مَثَلًا مُسْتَحْكَمٌ وَتَأَذَّتْ بِهِ تَأَذِّيًا لَا يُحْتَمَلُ عَادَةً لَمْ تُعَدَّ نَاشِزَةً وَتُصَدَّقُ فِي ذَلِكَ إنْ لَمْ تَدُلَّ قَرِينَةٌ قَوِيَّةٌ عَلَى كَذِبِهَا ا هـ ع ش
Artinya, “Karenanya bila istri dianggap mempunyai uzur, semisal suami mempunyai bau ketiak yang sangat tidak sedap dan istri terganggu karenanya dengan kadar sakit yang secara umumnya tidak dapat diabaikan, maka ia tidak dianggap sebagai istri yang nusyuz (ketika ia menolak ajakan berhubungan seksual dengan suaminya).
Ia juga dibenarkan dalam pernyataannya berkaitan hal ini jika tidak ada qarinah atau indikasi kuat yang menunjukkan atas kebohongannya. Demikian pernyataan Syekh Ali As-Syubramilisi),” (As-Syarwani, tth: VII/441).
Dari sini mungkin dapat dimaklumi, menurut Ustadz Ahmad Muntaha, karena uzur suami berpenyakit lepra atau bahkan berbau ketiak yang sangat tidak sedap saja istri boleh menolak ajakan berhubungan seksual dengannya, apalagi karena uzur suami terjangkit Covid-19, yang secara medis memang berbahaya dan menjadi pandemi dunia.
Dasar yang sama juga dapat digunakan untuk dalih mematuhi aturan social distancing dalam rangka mencegah persebaran virus Corona atau COVID-19 , seperti yang dibilang Shaikh Abdullah al-Mutlaq. Wallahu a’lam.
Bahkan, Al-Mutlaq yang merupakan ulama penasihat Kerajaan Arab Saudi mengatakan kepada seorang wanita, dia berhak menendang suaminya keluar dari ranjang atau tempat tidur, jika sang suami tidak mematuhi aturan social distancing. ( Baca juga: Social Distancing, Ulama Arab Saudi Sebut Istri Berhak Tendang Suami dari Ranjang ).
Pertanyaannya, benarkah dalam Islam istri boleh menolak ajakan berhubungan seksual dengan suami untuk mencegah menyebaran virus corona ?
Banyak hadis yang mewajibkan istri untuk melayani suami ketika suami meminta hubungan seks. Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)
Pertanyaannya, dalam kondisi sepertii apa kewajiban itu bisa gugur? Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda, dalam laman Nadlatul Ulama, Senin (5/4/2020) mengulas "bolehkah istri menolak berhubungan dengan suami yang terjangkit Covid-1 ? Dalam literatur khazanah fiqih Islam, menurutnya, mengenal istilah nusyuz, yaitu pembangkangan istri atas ketaatan yang wajib dipenuhinya untuk suami. Di antaranya adalah ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual dengannya.
Menurutnya, istri dalam kondisi tertentu bila mempunyai uzur kondisi fisik atau sakit yang tidak memungkinkan memberikan pelayanan seksual kepada suami diperbolehkan untuk menolaknya.
Keterangan ini dapat ditemukan pada Al-Masu'atul Fiqhiyyah dan Asnal Mathalib (Wizaratul Auqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, [Kuwait, Al-Wizarah: 1421 H/2001 M], juz XL. halaman 284) dan Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatit Thalib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1422 H], juz III, halaman 434).
Mengontekstualisasikan hukum nusyuz Syekh Ali As-Syubramilisi (997-1087 H/1588-1676 M), pakar fiqih Syafi’i asal Mesir menyatakan, ketika suami menderita sakit menular lepra, maka istri tidak dianggap nusyuz dengan tidak menyediakan pelayanan seksual terhadapnya.
وَبَقِيَ مَا لَوْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمَجْذُومُ وَلَمْ يَتَيَسَّرْ لَهَا فَسْخٌ بِسَبَبِ الْجُذَامِ فَهَلْ يَكْتَفِي فِي دَفْعِ النُّشُوزِ مِنْهَا بِانْفِرَادِهَا عَنْهُ فِي جَانِبٍ مِنْ الْبَيْتِ فَلَا تَكُونُ نَاشِزَةً بِذَلِكَ وَلَا بِعَدَمِ تَمْكِينِهَا لَهُ مِنْ الْجِمَاعِ وَالتَّمَتُّعِ بِهَا أَوْ لَا فِيهِ نَظَرٌ وَالظَّاهِرُ الْأَوَّلُ ا هـ ع ش
Artinya, “Pembahasan nusyuz ini menyisakan kasus andaikan suami yang menderita lepra dan istri tidak mudah mengajukan fasakh nikah karena sebab penyakit lepra suaminya, maka apakah untuk menghindari nusyuz ia cukup menyendiri di pojok rumah sehingga tidak berstatus perempuan yang nusyuz karenanya, dan tidak berstatus nusyuz pula dengan tidak ada kesediannya untuk memberikan layanan seksual terhadap suaminya, baik persetubuhan dan percumbuan lainnya?
Dalam hal ini perlu pembahasan lebih lanjut. Pendapat yang jelas adalah yang pertama. Demikian pernyataan Syekh Ali As-Syubramilisi,” (Abdul Hamid As-Syarwani, Hasyiyyatus Syarwani ‘alat Tuhfah, [Beirut, Darul Fikr: tth], juz VII, halaman 441).
Bahkan dalam kasus yang lebih ringan, yaitu ketika suami mempunyai bau ketiak yang sangat tidak sedap dan secara umumnya orang istri tidak tahan terhadapnya, Syekh Ali As-Syubramilisi juga menyatakan bahwa hal itu termasuk uzur dan istri tidak dianggap sebagai wanita yang nusyuz atau membangkang terhadap suami atas penolakannya ketika diajak berhubungan seksual.
فَإِنْ عُذِرَتْ كَأَنْ كَانَ بِهِ صُنَانٌ مَثَلًا مُسْتَحْكَمٌ وَتَأَذَّتْ بِهِ تَأَذِّيًا لَا يُحْتَمَلُ عَادَةً لَمْ تُعَدَّ نَاشِزَةً وَتُصَدَّقُ فِي ذَلِكَ إنْ لَمْ تَدُلَّ قَرِينَةٌ قَوِيَّةٌ عَلَى كَذِبِهَا ا هـ ع ش
Artinya, “Karenanya bila istri dianggap mempunyai uzur, semisal suami mempunyai bau ketiak yang sangat tidak sedap dan istri terganggu karenanya dengan kadar sakit yang secara umumnya tidak dapat diabaikan, maka ia tidak dianggap sebagai istri yang nusyuz (ketika ia menolak ajakan berhubungan seksual dengan suaminya).
Ia juga dibenarkan dalam pernyataannya berkaitan hal ini jika tidak ada qarinah atau indikasi kuat yang menunjukkan atas kebohongannya. Demikian pernyataan Syekh Ali As-Syubramilisi),” (As-Syarwani, tth: VII/441).
Dari sini mungkin dapat dimaklumi, menurut Ustadz Ahmad Muntaha, karena uzur suami berpenyakit lepra atau bahkan berbau ketiak yang sangat tidak sedap saja istri boleh menolak ajakan berhubungan seksual dengannya, apalagi karena uzur suami terjangkit Covid-19, yang secara medis memang berbahaya dan menjadi pandemi dunia.
Dasar yang sama juga dapat digunakan untuk dalih mematuhi aturan social distancing dalam rangka mencegah persebaran virus Corona atau COVID-19 , seperti yang dibilang Shaikh Abdullah al-Mutlaq. Wallahu a’lam.
(mhy)