Batal dan tidaknya puasa

Kamis, 11 Juli 2013 - 08:47 WIB
Batal dan tidaknya puasa
Batal dan tidaknya puasa
A A A
Tanya:

Ibadah Ramadan seperti puasa merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Untuk bisa melaksanakan dengan baik, salah satunya kita harus tahu apa saja yang membatalkan dan tidak membatalkan puasa.

Demikian hal ini saya sampaikan, atas perhatian dan jawaban pengasuh saya ucapkan terima kasih.

Jawaban:

Ibadah Ramadan yang diantaranya puasa memang harus kita laksanakan dengan sebaik-baiknya dan kita laksanakan pula dengan perasaan senang sehingga meskipun ibadah ini berat, ringan kita laksanakannya.

Masih banyak memang kaum muslimin tidak tahu persis apa saja yang membatalkan dan tidak membatalkan puasa, karena itu pertanyaan yang anda ajukan sangat tepat. Adapun yang membatalkan puasa antara lain:

1. Makan dan minum dengan sengaja. Dalam hal ini Rasul bersabda yang artinya: “Barangsiapa lupa ketika berpuasa, lalu makan dan minum, maka hendaklah puasanya itu diteruskan” (HR. Jamaah selain Nasa’i).

2. Haid dan Nipas bagi wanita meskipun darah haidnya keluar beberapa menit menjelang buka puasa. Dalam hal ini Aisyah pernah berkata: “Kami disuruh oleh Rasulullah mengqada puasa dan tidak disuruh mengqada salat” (HR. Muslim).

3. Muntah dengan sengaja, Rasul bersabda yang artinya: “barangsiapa terpaksa muntah, tidaklah wajib mengqada puasanya, dan barangsiapa yang mengusahakan muntah dengan sengaja, maka hendaklah dia mengqada puasanya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

4. Bersetubuh, bahkan hal ini ada hukumannya sebagaimana hadits yang artinya: “kejadian bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasul SAW katanya: “celaka saya, ya Rasul”. Nabi berkata: “apa yang telah mencelakakan engkau?. Jawab laki-laki itu: “saya telah bersetubuh dengan isteri saya” pada siang hari Ramadan”. Rasul berkata: “sanggupkah engkau memerdekakan hamba?”. Laki-laki itu menjawab: “tidak ya Rasul”.

Rasul bertanya lagi: “Kuatkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak ya Rasul”. Rasul bertanya lagi: “Adakah engkau mempunyai makanan guna memberi makan kepada 60 orang miskin?. Jawab laki-laki itu: “Tidak ya Rasul”.

Maka diberikanlah kepadanya sebuah bakul berisi kurma, “sedekahkanlah kurma ini”, pinta Rasul kepadanya. “Kepada siapa”, tanya laki-laki itu. “Apa kepada yang lebih miskin dari saya”, tegasnya. “Demi Allah, tidak ada penduduk kampung yang lebih memerlukan makanan ini kecuali seisi rumah saya”. Mendengar hal itu Rasul tertawa dan berkata: “pulanglah, dan berikanlah kurma ini kepada seisi rumahmu” (HR. Bukhari dan Muslim).

5. Keluar sperma (mani) dengan sengaja.
6. Gila bila datangnya di waktu siang berpuasa.

Sedangkan yang tidak membatalkan puasa antara lain:
1. Makan dan minum tidak sengaja, sebagaimana hadits di atas.
2. Muntah dengan tidak sengaja, sebagaimana hadits di atas

3. Mencium isteri, haditsnya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah pernah mencium dia, padahal ia sedang berpuasa” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

4. Berkumur-kumur dan menuang air di kepala, begitu dalam satu hadits yang artinya: “Aku pernah melihat Nabi SAW menuangkan air di atas kepalanya karena panas matahari, padahal ia sedang berpuasa” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Tentang berkumur-kumur, Rasul mengumpamakan hal itu dengan menjawab orang yang mencium isterinya, beliau bersabda: “bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur-kumur dengan air padahal engkau sedang berpuasa?. Aku menjawab: “Tidak mengapa”. Maka bertanya Rasul SAW: Mengapa begitu” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

5. Junub sampai pagi, haditsnya dari Aisyah ra yang artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW pernah junub sampai waktu subuh dengan sebab bersetubuh, bukan mimpi, kemudian beliau tetap berpuasa” (HR. Bukhari Muslim).

6. Mimpi hingga mengeluarkan sperma, hal ini karena termasuk pemberian Allah, bukan sesuatu yang disengaja.

Itulah beberapa hal yang sangat penting untuk kita ingat kembali, semoga jawaban pengasuh bermanfaat bagi kita bersama.





Syahwat dan syariat

Setiap manusia memiliki berbagai macam keinginan atau kesenangan pada sesuatu yang sering disebut dengan syahwat, ini merupakan pemberian dari Allah SWT ke dalam jiwanya dan Allah SWT menyebutkan beberapa hal yang umumnya disenangi oleh manusia sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imran [3]:14).

Dalam ensiklopedia Alquran dinyatakan bahwa syahwat berarti kesenangan. Dalam bentuk kata kerja, kata itu berarti “mencintai” atau “menyenangi sesuatu.” Al Asfahani seperti yang dikutif dalam buku itu menjelaskan bahwa syahwat pada dasarnya berarti nafsu terhadap sesuatu yang diingini. Ia membagi syahwat menjadi dua macam, yaitu (1) syahwah shadiqah (syahwat yang benar), berupa keinginan yang jika dipenuhi bisa merusak badan seperti nafsu makan ketika lapar; dan (2) syahwah kadzibah (syahwat yang tidak benar) yang jika tidak terpenuhi tidak berakibat apa-apa bagi badan.

Syahwat pada manusia tidak harus kita pandang secara negatif, karena itu ibadah puasa sebenarnya tidak dimaksudkan untuk membunuh syahwat hingga manusia tidak punya selera terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, tapi mendidik untuk memiliki kemampuan mengendalikannya, hal ini karena syahwat sebenarnya potensi penting yang ada pada diri kita dalam konteks pengabdian kepada Allah SWT.

Karena itu, DR. M. Ratib An Nablusi dalam kata pengantar bukunya Muqawwamat At Taklif menyebutkan dua hakikat syahwat. Pertama, Allah tidak menciptakan syahwat di dalam diri kita kecuali agar dengannya kita naik kearah Allah, Tuhan langit dan bumi. Syahwat adalah tangga sebagai media kita untuk mendaki, sekaligus turunan-turunan yang akan menjerumuskan kita. Jadi syahwat bersifat netral, bisa membawa anda naik menuju Allah dan mampu menjermuskan hamba –kita berlindung kepada Allah-ke tingkat manusia terendah.

Kedua, Allah tidak menciptakan syahwat di dalam diri kita kecuali Dia ciptakan juga saluran yang bersih sebagai media mengekspresikannya. Di dalam Islam, tidak ada pengekangan, yang ada adalah pembatasan dan pengaturan. Kecintaan kepada perempuan misalnya, saluran yang bersih baginya adalah pernikahan.

Bila anda mengapresiasikan dorongan syahwat ini pada saluran yang telah tersedia, maka Allah akan berbahagia dan menciptakan kebahagiaan. Namun bila anda mengapresiasikannya pada saluran yang tidak disyariatkan oleh Allah, anda akan sengsara dan menciptakan kesengsaraan.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Sayyid Quthb dalam tafsirnya menyebutkan: “Ungkapan kalimat ini tidak memiliki konotasi untuk menganggapnya kotor dan tidak disukai. Tetapi, ia hanya semata-mata menunjukkan tabiat dan dorongan-dorongannya, menempatkannya pada tempat tanpa melewati batas, serta tidak mengalahkan apa yang lebih mulia dan lebih tinggi dalam kehidupan serta mengajaknya memandang ke ufuk lain setelah menunjukkan vitalnya apa-apa yang diingini itu dengan tanpa tenggelam dan semata-mata bergelimang di dalamnya.

Disinilah keistimewaan Islam dengan memelihara fitrah manusia dan menerima kenyataannya serta berusaha mendidik, merawat dan meninggikannya. Bukan membekukan dan mematikannya.”

Karena itu, syahwat harus dibingkai dengan syariat sehingga melampiaskannya tetap dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.




(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7729 seconds (0.1#10.140)