Antara onani dan zina

Jum'at, 12 Juli 2013 - 11:48 WIB
Antara onani dan zina
Antara onani dan zina
A A A
Tanya :

Saya mempunyai teman, sewaktu di SMP, dia sering melakukan onani, ketika saya tanyakan dia menjawab, kan lebih baik beronani dari pada berzina. Yang ingin saya tanyakan:
1. Apa betul onani lebih baik dari zina?
2. Kalau tidak zina tapi sering onani, apa mungkin bisa terserang penyakit “kotor”?
3. Bagaimna hukumnya di dalam Islam?
4. Bagaimana cara menghilangkan hal itu sementara dia belum berumah tangga?
Demikian pertanyaan ini saya ajukan, atas jawaban pengasuh saya haturkan terima kasih.

Jawaban :
Di dalam kehidupan kita, memang seringkali kita dapati orang yang tidak mengerti dengan Islam yang mengakibatkan salah paham terhadap Islam. Apalagi sudah salah paham, maka patal akibatnya, karena orang yang salah paham terhadap Islam bisa mempermainkan ajaran Islam. Orang yang mengatakan lebih baik onani dari pada zina termasuk orang yang demikian.

Di dalam Islam sudah ditetapkan kepada siapa seseorang boleh melampiaskan keinginan seksualnya dan selain ketetapan itu berarti tidak dibenarkan dan termasuk haram hukumnya. Allah berfirman yang artinya: “Dan (berbahagialah) mereka yang menjaga kemaluannya melaikan terhadap isteri atau hamba-hamba perempuan yang mereka miliki; sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al Mukminun [23]:5-7)

Melampiaskan keinginan seksual dengan tangan sendiri merupakan perbuatan melampaui batas sebagaimana yang disebutkan pada ayat di atas, begitulah yang dipahami oleh Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al Umm. Bahkan Rasulullah SAW sendiri menyebutkan bahwa orang yang beronani itu termasuk ke dalam tujuh orang yang tidak dilihat Allah, tidak dibersihan dan tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang baik di hari kiamat nanti, Rasul SAW bersabda yang artinya: “Tujuh orang yang Allah tidak suka melihat mereka pada hari kiamat, tidak diperbaiki dan tidak pula dikumpulkan bersama orag-orang yang beramal (Baik) dan akan dimasukkan mereka ke dalam neraka kecuali jika mereka taubat, yaitu orang yang kawin dengan tangannya (onani) ... (HR. Hasan bin Arfah dari Anas ra)

Dari segi kesehatan, orang yang beronani itu tidak hanya akan menderita penyakit kelamin yang istilah anda itu penyakit kotor, tapi bisa juga mengakibatkan penyakit mental bahkan tidak sedikit yang sampai gila karena tidak pernah terpuaskan dengan apa yang mereka lakukan. Karena itu hukumnya juga sangat jelas, yaitu haram.

Untuk mengatasi hal itu, kalau seseorang belum sanggup berumah tangga, maka Nabi SAW menganjurkan kepanya untuk berpuasa, tentu saja di samping puasa Ramadan, juga puasa sunat seperti Senin dan Kamis, puasa selang seling seperti puasanya Nabi Daud dan puasa sunat lainnya. Di samping itu yang bersangkutan juga harus terus meningkatkan pemahamannya terhadap ajaran Islam, dengan pemahaman yang semakin baik, insya Allah seseorang tidak berani melakukan penyelewengan dari jalan hidupnya






Tiga kesempatan dalam Ramadan


Ada banyak nilai tarbiyyah (pendidikan) Ramadan yang akan kita peroleh, khususnya dari ibadah puasa. Pemahaman tentang masalah ini perlu kita ingat dan kita segarkan kembali agar ibadah puasa Ramadan pada tahun ini bisa kita optimalkan dalam perolehan hasil-hasilnya. Untuk itu, paling tidak ada tiga momentum atau kesempatan yang tidak boleh kita sia-siakan pada Ramadan kita, khususnya tahun ini.

Pertama, momentum untuk membersihkan jiwa. Keadaan jiwa seseorang menjadi penentu utama bagi dirinya dalam bersikap dan berprilaku. Sikap dan prilaku yang baik atau buruk sangat ditentukan oleh apakah jiwanya bersih atau tidak. Puasa mentarbiyyah kita untuk menjadi manusia yang memiliki jiwa yang bersih. Indikasi jiwa yang bersih adalah senang melaksanakan apa yang diperintah Allah, menjauhi apa yang dilarang-Nya serta selalu berupaya untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada Allah swt, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala (ridha Allah), maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu (HR. Bukhari).

Jiwa yang bersih akan membuat seseorang, pertama, senang pada kejujuran dan puasa memang mendidik seorang muslim untuk bersikap dan berprilaku jujur, meskipun tidak ada orang lain yang mengetahui kalau dia melakukan pelanggaran.

Kedua, takut kepada Allah dan selalu merasa diawasi olehnya yang membuat tumbuh dalam jiwanya rasa dekat kepada Allah SWT sehingga dia tidak mau melanggar ketentuan-ketentuan Allah swt, meskipun pelanggaran yang dilakukannya termasuk pelanggaran yang kecil dan tidak diketahui oleh orang lain.

Ketiga, orang yang mendambakan kebersihan jiwa, manakala telah diselimuti dengan dosa, maka dia ingin membersihkan dosa-dosanya itu, dan puasa merupakan salah satu upaya untuk membersihkan jiwa dari dosa-dosa. Keempat, jiwa yang bersih juga diindikasikan dalam bentuk disiplin dalam menjalankan ketentuan-ketentuan Allah SWT dan puasa memang melatih kita untuk menjadi orang yang disiplin dalam menjalani kehidupan sebagaimana yang telah digariskan Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya.

Makan, minum, melakukan hubungan seksual dan sebagainya ada ketentuan waktu yang harus ditaati oleh seorang muslim selama menunaikan ibadah puasa, ini berarti puasa harus menghasilkan jiwa disiplin dalam ketaatan kepada Allah swt. Dan kedisiplinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam dunia apapun, apalagi dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.

Momentum Kedua dari ibadah puasa Ramadhan adalah meningkatkan kemampuan mengendalikan Hawa Nafsu. Secara khusus, ibadah puasa juga mendidik kita untuk melakukan pengendalian terhadap hawa nafsu termasuk nafsu seksual, tapi bukan membunuhnya sehingga kita tidak memilikinya lagi. Nafsu seksual merupakan salah satu pintu yang digunakan oleh syaitan dalam menggoda manusia menuju jalan yang sesat.

Karena itu, tidaklah aneh kalau kita menemukan begitu banyak manusia yang akhirnya jatuh ke lembah yang nista karena tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya. Berapa banyak orang kaya yang jatuh miskin, berapa banyak pejabat yang jatuh dari kursi kekuasaannya dan berapa banyak terjadi kasus-kasus kerusakan akhlak lainnya karena berpangkal dari persoalan hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan.

Karena itu, dalam masalah nafsu seksual misalnya tidak aneh juga kalau ada psikolog menganggap seks sebagai faktor utama penggerak aktivitas manusia, karena memang begitulah yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia, khususnya di dunia barat. Wabah kerusakan moral dan berbagai penyakit telah bermunculan karena bermula dari ketidakmampuan manusia mengendalikan nafsu seksualnya.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim, masalah nafsu merupakan karunia Allah SWT yang pelampiasannya boleh dilakukan pada batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka ibadah puasa melatih kita untuk mengendalikan berbagai keinginan, jangankan kepada wanita lain atau kepada lelaki lain, kepada isteri atau suami saja harus dikendalikan dengan sebaik-baiknya pada saat sedang berpuasa, Allah berfirman: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak bisa menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (QS Al Baqarah [2]:187).

Ketiga momentum yang harus kita manfaatkan dalam ibadah Ramadhan adalah untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bila kita hendak simpulkan tentang apa sesungguhnya target ibadah puasa secara khusus dan ibadah Ramadan lainnya secara umum, maka target yang hendak kita capai adalah terwujudnya peningkatan taqwa kepada Allah swt dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS Al Baqarah [2]:183).

Oleh karena itu, dari Ramadan ke Ramadan, dari satu peribadatan ke peribadatan berikutnya semestinya membuat taqwa kita kepada Allah swt semakin berkualitas, ibarat orang menaiki tangga, maka dia sudah berada pada pijakan tangga yang lebih tinggi sesuai dengan frekuensi peribadatannya. Taqwa kepada Allah swt dalam arti melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dalam berbagai situasi dan kondisi memiliki kedudukan yang sangat penting.

Karena itu, Ketika menguraikan ayat di atas, Sayyid Quthb dalam tafsirnya menyatakan bahwa taqwa itulah yang membangkitkan kesadaran dalam hati sehingga mau menunaikan kewajiban, demi mentaati Allah dan untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Taqwa inilah yang menjaga hati sehingga tidak merusak puasanya dengan maksiat, walaupun cuma getaran hati untuk berbuat maksiat. Taqwa merupakan puncak ketinggian rohani, dan puasa merupakan salah satu jalan untuk mencapainya.

Manakala dari tahun ke tahun ibadah Ramadan kita tunaikan, tapi ternyata tidak ada peningkatan taqwa kepada Allah yang kita tunjukkan, maka kita khawatir kalau puasa kita itu tergolong yang hanya merasakan lapar dan haus saja, Rasulullah saw bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan pahalanya, melainkan hanya lapar dan haus saja (HR. Ahmad dan Hakim dari Abu Hurairah).





(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4149 seconds (0.1#10.140)