Mengada puasa orang lain
A
A
A
Tanya :
Melalui rublik ini, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan pelaksanaan ibadah puasa. Adapun yang ingin saya tanyakan antara lain: Bolehkah menggantikan puasa orang lain karena orang tersebut uzur sampai meninggal dunia, padahal sewaktu sehat ada kemungkinan baginya untuk mengqhada puasa, tapi itu tidak dilakukannya?
Demikian hal ini saya tanyakan.
Jawab :
Seseorang yang tidak puasa dengan sebab uzur berarti dia mempunyai utang puasa yang harus dibayar, bila utang itu belum dibayar juga, maka ahli warisnya harus membayarnya dengan cara berpuasa juga, hal ini bisa disimpulkan dari hadits Rasul yang artinya: “Dari Aisyah, telah berkata Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang mati dengan meninggalkan kewajiban (kada) puasa, hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wali yang dimaksud bukan berarti orang tuanya, tapi berarti keluarganya. Dalam hadits yang lain Rasul menegaskan yang artinya: “Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya seorang wanita telah bertanya kepada Rasul SAW, katanya: “ibu saya telah meninggalkan puasa nazar yang belum dikerjakannya, apakah saya boleh puasa menggantikannya?”, jawab Rasul: “Bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai utang kemudian engkau bayar utangnya itu, adakah terbayar utang ibumu itu?”, wanita itu menjawab: “tentu terbayar”, Rasul SAW bersabda: “berpuasalah engkau untuk menggantikan puasa ibumu” (HR Muslim).
Demikian jawabannya, semoga bermanfaat.
Akhlak iman
Iman memang tidak cukup hanya dengan pernyataan atau pengakuan. Sesudah kita mengaku beriman, menjadi keharusan kita untuk membuktikannya dalam sikap dan tingkah laku yang islami, salah satunya adalah dari sisi akhlak yang mulia.
Dalam satu hadits, dari sekian banyak yang harus kitab tunjukkan, Rasulullah SAW bersabda:
ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلاَقِ اْلإِيْمَانِ: مَنْ إِذَا غَضِبَ لَمْ يُدْخِلْهُ غَضَبُهُ فِى بَاطِلِ وَمَنْ إِذَا رَضِيَ لَمْ يُخْرِجْهُ مِنْ حَقِّ وَمَنْ إِذَا قَدَرَ لَمْ يتَعَاطَ مَا لَيْسَ لَهُ
Ada tiga yang termasuk akhlak iman: barangsiapa jika maka marahnya tidak memasukkannya ke dalam kebatilan, barangsiapa jika ridha, maka keridhaannya tidak mengeluarkannya dari kebenaran, dan barangsiapa yang jika berkuasa, maka ia tidak mengambil apa yang bukan miliknya (HR. Thabrani dari Anas bin Malik)
Dari hadits di atas, ada tiga akhlak iman yang harus kita wujudkan dalam hidup ini.
1. Marah dalam kebenaran.
Dalam interaksi seseorang dengan orang lain, kadangkala terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan sehingga menimbulkan kemarahan. Bila seseorang mampu melampiaskan kemarahan, seringkali kemarahan itu ditumpahkan, bahkan melebihi kesalahan yang dilakukan orang tersebut.
Namun di dalam Islam, seorang muslim sangat ditekankan untuk menahan amarah, apalagi bisa memaafkan kesalahan orang lain meskipun ia belum minta maaf, ini merupakan ciri penting dari orang yang bertaqwa kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran [3]:133-134).
Meskipun demikian, bila kemarahan mau ditunjukkan, maka kemarahan itu tidak sampai mengarah kepada kebathilan atau hal-hal yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasulnya. Misalnya saja seorang suami marah kepada isterinya sampai memukul, apalagi sampai pada pukulan yang membahayakan.
Begitu pula dengan seorang isteri yang marah kepada suami hingga menuntut cerai, padahal masalahnya tidak bisa dijadikan alasan untuk menuntut cerai. Contoh lainnya adalah marah kepada saudara sampai memutuskan hubungan persaudaraan apalagi sebab kemarahannya hanya persoalan sepele, hal lain adalah kemarahan seseorang dengan orang lain atau sekelompok orang dengan kelompok lainnya hingga menimbulkan permusuhan, tawuran, peperangan hingga pengrusakan dan pembunuhan.
Oleh karena itu bila kemarahan bisa ditahan meskipun seseorang bisa melampiaskannya dan seandainya saat marah tetap bisa mengontrol diri sehingga tidak keluar dari nilai-nilai kebenaran, maka hal itu membuat seseorang dimasukkan ke dalam kelompok orang yang kuat, Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالسُّرْعَةِ وَاِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
Orang kuat bukanlah yang dapat mengalahkan musuh, namun orang yang kuat adalah orang yang dapat mengontrol dirinya ketika marah (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Ridha dalam kebenaran
Saling ridha antar satu orang dengan orang lain merupakan sesuatu yang menyenangkan, hal ini karena antar seseorang dengan orang lain menjadi bersahabat, bersaudara bahkan sampai melebihi persaudaraan karena ikatan nasab dan kesukuan.
Ada pula orang tua yang ridha kepada anak dan anak ridha kepada orang tua, suami ridha kepada isteri lalu isteri ridha kepada suami. Tegasnya antar sesama manusia seringkali saling ridha. Namun, keridhaan harus tetap dalam kerangka keimanan sehingga jangan sampai ridha itu mengeluarkan manusia dari nilai-nilai kebenaran.
Namun yang banyak terjadi justeru ridha membuat seseorang menyimpang dari koridor kebenaran. Misalnya dengan dalih ridha kepada anak, orang tua menuruti saja kehendak anak meskipun kehendaknya tidak benar, bahkan kesalahan dan tindak kriminal yang dilakukannya malah dilindungi dan dibela, bukan dihukum.
Begitu pula dengan orang tua yang bersalah membuat sang anak yang ridha kepada orang tua tidaknya tidak mau meluruskan dan mengungkap kesalahan itu. Tidak sedikit suami isteri yang dengan dalih ridha menjadi TST alias “Tahu Sama Tahu” dalam arti tidak mempersoalkan kesalahan yang dilakukannya meskipun dia tahu bahwa pasangannya itu melakukan kesalahan.
Ada lagi teman atau anggota dalam organisasi politik yang melakukan penyimpangan seperti korupsi tapi partai, pimpinan dan teman-temannya melindunginya, bahkan di pengadilan dibela sedemikian rupa agar kesalahan yang dilakukannya tidak dianggap dan tidak divonis bersalah.
Dengan demikian, begitu banyak orang yang ridha kepada orang lain justeru membuatnya keluar dari prinsip-prinsip kebenaran, padahal dalam prinsip keimanan sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas, keridhaan kita kepada orang lain jangan mengeluarkan kita dari kebenaran.
Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS An Nisa [4]:135).
3. Berkuasa tapi tidak korup
Banyak sekali kejadian di dunia ini dari masa ke masa dimana orang yang berkuasa menjadikan momentum kekuasaannya untuk mendapatkan kekayaan yang banyak, bukan dari gaji yang semestinya diperoleh, tapi dengan berbagai macam cara, termasuk membuat aturan yang memang menjadi kewenangannya, aturan yang menguntungkan dirinya untuk mengeruk kekayaan negara dan orang lain bagi kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya.
Dalam konteks sekarang, memang terasa aneh, meskipun banyak orang sudah anggap biasa bila ada orang begitu berambisi untuk menjadi bupati, walikota, gubernur apalagi presiden. Bila dihitung-hitung, penghasilan bupati atau gubernur dengan segala tunjangannya sekitar Rp 100 juta/bulan, itu berarti 1,2 Milyar setahun, dikalikan 5 tahun maka pendapatannya 6 Milyar. Untuk mendapatkan jabatan itu biaya kampanyenya bisa mencapai 10-20 Milyar bahkan lebih, tapi sesudah berakhir masa jabatan justeru kekayaannya bertambah banyak.
Orang yang menyadari bahwa jabatan harus mampu dipertanggungjawabkan dihadapan manusia dan Allah SWT, maka mereka sangat hati-hati dalam mengemban amanah jabatan itu, termasuk dalam masalah keuangan. Umar bin Abd Aziz merupakan salah seorang Khalifah yang amat hati-hati dalam masalah keuangan dalam kaitan dengan jabatan, meskipun hal itu bersumber dari hadiah.
Karenanya ketika ia mendapati isterinya menggunakan perhiasan emas yang mahal, ia pun bertanya kepada sang isteri darimana ia mendapatkannya karena ia merasa tidak memberikan uang untuk membelinya. Ternyata isterinya menjawab dari hadiah yang diberikan kepadanya dari pihak lain. Umar memerintahkan agar mencopot dan menyerahkannya ke baitul mal karena hadiah itu ada hubungan dengan jabatannya sebagai khalifah.
Begitu hati-hati Khalifah Umar bin Abd Aziz terhadap keuangan sehingga beliau saat menjadi Khalifah bukan semakin mewah, tapi justeru semakin sederhana. Oleh karena itu, bila seorang mukmin berkuasa, diantara akhlak imani yang ditunjukkannya adalah tidak mendapatkan harta secara tidak halal atau merekayasanya biar supaya halal, dalam bahasa sekarang tidak korupsi.
Bagi penguasa yang mendapatkan harta dari penyogok, maka dilaknat Allah SWT dan siap-siap menempati neraka, Rasulullah SAW bersabda:
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ
Allah melaknat orang yang menyuap dan disuap dan menjadi perantara antar keduanya (HR. Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Karena itu pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka, Rasulullah SAW bersabda:
الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فىِ النَّارِ
Penyuap dan yang disuap di neraka (HR.Thabrani).
Mengambil uang negara dengan cara yang tidak sah atau direkayasa agar seolah-olah sah merupakan bentuk pencurian yang sangat tercela, sebab janganlah pencurian atau korupsi, memberli barang curian saja sudah tidak dibenarkan karena hal itu bagian dari pencurian, Rasulullah SAW bersabda:
مَنِ اشْتَرَى سِرْقَةً وَهُوَ يَعْلَمُ اَنَّهَا سِرْقَةٌ فَقَدِ اشْتَرَكَ فِى اِثْمِهَا وَعَارِهَا.
Siapa yang membeli barang curian sedang dia tahu bahwa barang itu barang curian, maka ia turut serta mendapatkan dosa dan kejelekannya (HR. Baihaki)
Dengan demikian, bila iman dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari, akhlak pemimpin dan masyarakat menjadi sangat mulia yang membuat kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa akan menjadi semakin mulia.
Melalui rublik ini, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan pelaksanaan ibadah puasa. Adapun yang ingin saya tanyakan antara lain: Bolehkah menggantikan puasa orang lain karena orang tersebut uzur sampai meninggal dunia, padahal sewaktu sehat ada kemungkinan baginya untuk mengqhada puasa, tapi itu tidak dilakukannya?
Demikian hal ini saya tanyakan.
Jawab :
Seseorang yang tidak puasa dengan sebab uzur berarti dia mempunyai utang puasa yang harus dibayar, bila utang itu belum dibayar juga, maka ahli warisnya harus membayarnya dengan cara berpuasa juga, hal ini bisa disimpulkan dari hadits Rasul yang artinya: “Dari Aisyah, telah berkata Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang mati dengan meninggalkan kewajiban (kada) puasa, hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wali yang dimaksud bukan berarti orang tuanya, tapi berarti keluarganya. Dalam hadits yang lain Rasul menegaskan yang artinya: “Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya seorang wanita telah bertanya kepada Rasul SAW, katanya: “ibu saya telah meninggalkan puasa nazar yang belum dikerjakannya, apakah saya boleh puasa menggantikannya?”, jawab Rasul: “Bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai utang kemudian engkau bayar utangnya itu, adakah terbayar utang ibumu itu?”, wanita itu menjawab: “tentu terbayar”, Rasul SAW bersabda: “berpuasalah engkau untuk menggantikan puasa ibumu” (HR Muslim).
Demikian jawabannya, semoga bermanfaat.
Akhlak iman
Iman memang tidak cukup hanya dengan pernyataan atau pengakuan. Sesudah kita mengaku beriman, menjadi keharusan kita untuk membuktikannya dalam sikap dan tingkah laku yang islami, salah satunya adalah dari sisi akhlak yang mulia.
Dalam satu hadits, dari sekian banyak yang harus kitab tunjukkan, Rasulullah SAW bersabda:
ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلاَقِ اْلإِيْمَانِ: مَنْ إِذَا غَضِبَ لَمْ يُدْخِلْهُ غَضَبُهُ فِى بَاطِلِ وَمَنْ إِذَا رَضِيَ لَمْ يُخْرِجْهُ مِنْ حَقِّ وَمَنْ إِذَا قَدَرَ لَمْ يتَعَاطَ مَا لَيْسَ لَهُ
Ada tiga yang termasuk akhlak iman: barangsiapa jika maka marahnya tidak memasukkannya ke dalam kebatilan, barangsiapa jika ridha, maka keridhaannya tidak mengeluarkannya dari kebenaran, dan barangsiapa yang jika berkuasa, maka ia tidak mengambil apa yang bukan miliknya (HR. Thabrani dari Anas bin Malik)
Dari hadits di atas, ada tiga akhlak iman yang harus kita wujudkan dalam hidup ini.
1. Marah dalam kebenaran.
Dalam interaksi seseorang dengan orang lain, kadangkala terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan sehingga menimbulkan kemarahan. Bila seseorang mampu melampiaskan kemarahan, seringkali kemarahan itu ditumpahkan, bahkan melebihi kesalahan yang dilakukan orang tersebut.
Namun di dalam Islam, seorang muslim sangat ditekankan untuk menahan amarah, apalagi bisa memaafkan kesalahan orang lain meskipun ia belum minta maaf, ini merupakan ciri penting dari orang yang bertaqwa kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran [3]:133-134).
Meskipun demikian, bila kemarahan mau ditunjukkan, maka kemarahan itu tidak sampai mengarah kepada kebathilan atau hal-hal yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasulnya. Misalnya saja seorang suami marah kepada isterinya sampai memukul, apalagi sampai pada pukulan yang membahayakan.
Begitu pula dengan seorang isteri yang marah kepada suami hingga menuntut cerai, padahal masalahnya tidak bisa dijadikan alasan untuk menuntut cerai. Contoh lainnya adalah marah kepada saudara sampai memutuskan hubungan persaudaraan apalagi sebab kemarahannya hanya persoalan sepele, hal lain adalah kemarahan seseorang dengan orang lain atau sekelompok orang dengan kelompok lainnya hingga menimbulkan permusuhan, tawuran, peperangan hingga pengrusakan dan pembunuhan.
Oleh karena itu bila kemarahan bisa ditahan meskipun seseorang bisa melampiaskannya dan seandainya saat marah tetap bisa mengontrol diri sehingga tidak keluar dari nilai-nilai kebenaran, maka hal itu membuat seseorang dimasukkan ke dalam kelompok orang yang kuat, Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالسُّرْعَةِ وَاِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
Orang kuat bukanlah yang dapat mengalahkan musuh, namun orang yang kuat adalah orang yang dapat mengontrol dirinya ketika marah (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Ridha dalam kebenaran
Saling ridha antar satu orang dengan orang lain merupakan sesuatu yang menyenangkan, hal ini karena antar seseorang dengan orang lain menjadi bersahabat, bersaudara bahkan sampai melebihi persaudaraan karena ikatan nasab dan kesukuan.
Ada pula orang tua yang ridha kepada anak dan anak ridha kepada orang tua, suami ridha kepada isteri lalu isteri ridha kepada suami. Tegasnya antar sesama manusia seringkali saling ridha. Namun, keridhaan harus tetap dalam kerangka keimanan sehingga jangan sampai ridha itu mengeluarkan manusia dari nilai-nilai kebenaran.
Namun yang banyak terjadi justeru ridha membuat seseorang menyimpang dari koridor kebenaran. Misalnya dengan dalih ridha kepada anak, orang tua menuruti saja kehendak anak meskipun kehendaknya tidak benar, bahkan kesalahan dan tindak kriminal yang dilakukannya malah dilindungi dan dibela, bukan dihukum.
Begitu pula dengan orang tua yang bersalah membuat sang anak yang ridha kepada orang tua tidaknya tidak mau meluruskan dan mengungkap kesalahan itu. Tidak sedikit suami isteri yang dengan dalih ridha menjadi TST alias “Tahu Sama Tahu” dalam arti tidak mempersoalkan kesalahan yang dilakukannya meskipun dia tahu bahwa pasangannya itu melakukan kesalahan.
Ada lagi teman atau anggota dalam organisasi politik yang melakukan penyimpangan seperti korupsi tapi partai, pimpinan dan teman-temannya melindunginya, bahkan di pengadilan dibela sedemikian rupa agar kesalahan yang dilakukannya tidak dianggap dan tidak divonis bersalah.
Dengan demikian, begitu banyak orang yang ridha kepada orang lain justeru membuatnya keluar dari prinsip-prinsip kebenaran, padahal dalam prinsip keimanan sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas, keridhaan kita kepada orang lain jangan mengeluarkan kita dari kebenaran.
Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS An Nisa [4]:135).
3. Berkuasa tapi tidak korup
Banyak sekali kejadian di dunia ini dari masa ke masa dimana orang yang berkuasa menjadikan momentum kekuasaannya untuk mendapatkan kekayaan yang banyak, bukan dari gaji yang semestinya diperoleh, tapi dengan berbagai macam cara, termasuk membuat aturan yang memang menjadi kewenangannya, aturan yang menguntungkan dirinya untuk mengeruk kekayaan negara dan orang lain bagi kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya.
Dalam konteks sekarang, memang terasa aneh, meskipun banyak orang sudah anggap biasa bila ada orang begitu berambisi untuk menjadi bupati, walikota, gubernur apalagi presiden. Bila dihitung-hitung, penghasilan bupati atau gubernur dengan segala tunjangannya sekitar Rp 100 juta/bulan, itu berarti 1,2 Milyar setahun, dikalikan 5 tahun maka pendapatannya 6 Milyar. Untuk mendapatkan jabatan itu biaya kampanyenya bisa mencapai 10-20 Milyar bahkan lebih, tapi sesudah berakhir masa jabatan justeru kekayaannya bertambah banyak.
Orang yang menyadari bahwa jabatan harus mampu dipertanggungjawabkan dihadapan manusia dan Allah SWT, maka mereka sangat hati-hati dalam mengemban amanah jabatan itu, termasuk dalam masalah keuangan. Umar bin Abd Aziz merupakan salah seorang Khalifah yang amat hati-hati dalam masalah keuangan dalam kaitan dengan jabatan, meskipun hal itu bersumber dari hadiah.
Karenanya ketika ia mendapati isterinya menggunakan perhiasan emas yang mahal, ia pun bertanya kepada sang isteri darimana ia mendapatkannya karena ia merasa tidak memberikan uang untuk membelinya. Ternyata isterinya menjawab dari hadiah yang diberikan kepadanya dari pihak lain. Umar memerintahkan agar mencopot dan menyerahkannya ke baitul mal karena hadiah itu ada hubungan dengan jabatannya sebagai khalifah.
Begitu hati-hati Khalifah Umar bin Abd Aziz terhadap keuangan sehingga beliau saat menjadi Khalifah bukan semakin mewah, tapi justeru semakin sederhana. Oleh karena itu, bila seorang mukmin berkuasa, diantara akhlak imani yang ditunjukkannya adalah tidak mendapatkan harta secara tidak halal atau merekayasanya biar supaya halal, dalam bahasa sekarang tidak korupsi.
Bagi penguasa yang mendapatkan harta dari penyogok, maka dilaknat Allah SWT dan siap-siap menempati neraka, Rasulullah SAW bersabda:
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ
Allah melaknat orang yang menyuap dan disuap dan menjadi perantara antar keduanya (HR. Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Karena itu pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka, Rasulullah SAW bersabda:
الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فىِ النَّارِ
Penyuap dan yang disuap di neraka (HR.Thabrani).
Mengambil uang negara dengan cara yang tidak sah atau direkayasa agar seolah-olah sah merupakan bentuk pencurian yang sangat tercela, sebab janganlah pencurian atau korupsi, memberli barang curian saja sudah tidak dibenarkan karena hal itu bagian dari pencurian, Rasulullah SAW bersabda:
مَنِ اشْتَرَى سِرْقَةً وَهُوَ يَعْلَمُ اَنَّهَا سِرْقَةٌ فَقَدِ اشْتَرَكَ فِى اِثْمِهَا وَعَارِهَا.
Siapa yang membeli barang curian sedang dia tahu bahwa barang itu barang curian, maka ia turut serta mendapatkan dosa dan kejelekannya (HR. Baihaki)
Dengan demikian, bila iman dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari, akhlak pemimpin dan masyarakat menjadi sangat mulia yang membuat kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa akan menjadi semakin mulia.
(nfl)