PCINU Jerman mengkaji Salafussalih, Salafi dan Wahhabi
A
A
A
Sindonews.com - Memasuki minggu terakhir bulan Ramadan 1434, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman menggelar acara pamungkas rangkaian Pengkajian Ramadan.
Acara ini diselenggarakan di kawasan Lankwitz, Berlin, Sabtu, 3 Agustus 2013 kemarin. Topik yang dikaji tentang Salafussalih, Salafi dan Wahabi: Tinjauan Doktrin dan Sejarah.
Narasumber pengkajian adalah Munirul Ikhwan, Lc, M.A (alumni Univ Al-Azhar Kairo & Univ Leiden belanda, yang saat ini menjadi kandidat doktor bidang Studi-Islam di Freie Universität Berlin, Jerman.
Menurut Suratno, kandidat doktor di Goethe-Uni Frankfurt, selaku Ketua Tanfidz NU Jerman, acara pengkajian dimulai pada pukul 19.30 waktu Berlin dan di hadiri oleh sekitar 30 peserta, termasuk Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Berlin, Prof. Dr. Agus Rubiyanto.
Dalam ceremahnya, Munir menjelaskan bahwa Salafussalih merujuk pada generasi yang menjadi panutan atau role model umat Islam dalam beragama. Hal ini karena salafussalih dipandang sebagai generasi emas yang memiliki kedekatan dengan era kenabian.
Gagasan bahwa sejarah dimulai dengan era keemasan (golden age) ini didasarkan pada sebuah hadist. Sebuah riwayat mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda. “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, dan kemudian generasi setelah mereka lagi…”
Dengan demikian, Salafussalih sering diidentifikasi dengan tiga generasi pertama umat Islam yang dianggap saleh. Sementara menurut Munir, perspektif Alquran tentang sejarah umat Islam dari generasi ke generasi selanjutnya cenderung lebih egaliter.
Alquran lebih banyak berbicara tentang karakter dan syarat-syarat bangsa/generasi yang bangkit dan bangsa yang hancur.
Selanjutnya, Munir menjelaskan bahwa Wahhabi adalah orientasi teologi purifikasi yang dikenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) yang lahir dan besar di wilayah Najd, Saudi Arabia.
Karena merasa praktek keagamaan yang ada di masyarakatnya saat itu dianggap menyeleweng, tokoh pendiri Wahhabi ini mengajak pada ide purifikasi agama dengan merujuk pada penafsiran literalis terhadap Alquran dan hadist.
Implikasinya, tidak hanya dia menolak capaian-capaian intelektual ulama terdahulu, tetapi Abdul Wahhab juga menghukumi fuqaha (ahli hukum Islam) yang tidak sesuai dengan ide purifikasinya, sebagai zindiq yang hukumnya sama dengan murtad (keluar dari agama Islam), yakni boleh dibunuh.
Dalam perkembangannya, Wahhabi sering menggunakan kekerasan dan pembunuhan dalam dakwahnya, khususnya ketika mengepung Mekkah pada awal abad ke-19. Ibnu Taimiyyah, seorang teolog dan ulama zaman Mamluk, menjadi role-model Abdul Wahhab dalam propagandanya.
Fatwa Ibn Taimiyyah tentang jihad melawan Mongol yang ketika itu pemimpinnya sudah masuk Islam, diadopsi oleh Abdul Wahhab dengan fatwa jihad melawan Turki Usmani, karena dianggap tidak punya komitmen pada agama.
Menurut Munir, sebenarnya dakwah Wahhabi tidak akan berhasil jika saja tidak menjalin patronase dengan keluarga Su’ud yang pada saat itu ingin menjadi penguasa regional.
Dakwah Abdul Wahhab saat itu tidak saja mendapat pertentangan dari berbagai kalangannya, tetapi juga dari Ayah dan saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Di era kontemporer saat ini, Wahhabi terkadang mendompleng label Salafi yang mengandung pengertian ajaran yang lebih legitimatif dan otoritatif.
Salafi, seperti dijelaskan Munir, pada awalnya merupakan gerakan pembaharuan Islam yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama awalnya terpusat di Mesir. Salafi mendorong “pembacaan” langsung teks agama, al-Qur’an dan sunnah, untuk merespon tantangan modernisasi.
Salafi juga menganggap produk hukum atau ijtihad ulama terdahulu bukan sebagai otoritas yang mengikat dan diikuti. Mereka memegang prinsip egalitarianisme dalam intelektualitas dan giat mengadvokasi tentang perlunya ijtihad dan karenanya dalam perspektif ulama tradisional, salafi dianggap one-step-ahead (selangkah lebih maju) pemikirannya.
Merespon Wahhabi yang dalam kurun terakhir sering diidentikkan dengan Salafi, seorang ulama Salafi asal Mesir, Muhammad al-Ghazali (m. 1996), mengkritik keras Wahhabi.
Al-Ghazali menyebut Wahhabi sebagai ahlul hadist dalam makna yang peyoratif (negatif), yakni mereka yang hanya menghafal banyak hadits namun tidak bisa memahami hadits sehingga dapat menghasilkan produk hukum.
Selesai ceramah, dilanjutkan dengan sesi-tanya jawab sampai waktu berbuka puasa tiba. Lalu ketika adzan Magrib berkumandang sekitar pukul 21.10 dilanjutkan dengan buka-puasa dengan takjil, sholat Maghrib berjamaah dan terakhir, makan bersama (Srt-Mnr). (munirul ikhwan lc ma)
Acara ini diselenggarakan di kawasan Lankwitz, Berlin, Sabtu, 3 Agustus 2013 kemarin. Topik yang dikaji tentang Salafussalih, Salafi dan Wahabi: Tinjauan Doktrin dan Sejarah.
Narasumber pengkajian adalah Munirul Ikhwan, Lc, M.A (alumni Univ Al-Azhar Kairo & Univ Leiden belanda, yang saat ini menjadi kandidat doktor bidang Studi-Islam di Freie Universität Berlin, Jerman.
Menurut Suratno, kandidat doktor di Goethe-Uni Frankfurt, selaku Ketua Tanfidz NU Jerman, acara pengkajian dimulai pada pukul 19.30 waktu Berlin dan di hadiri oleh sekitar 30 peserta, termasuk Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Berlin, Prof. Dr. Agus Rubiyanto.
Dalam ceremahnya, Munir menjelaskan bahwa Salafussalih merujuk pada generasi yang menjadi panutan atau role model umat Islam dalam beragama. Hal ini karena salafussalih dipandang sebagai generasi emas yang memiliki kedekatan dengan era kenabian.
Gagasan bahwa sejarah dimulai dengan era keemasan (golden age) ini didasarkan pada sebuah hadist. Sebuah riwayat mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda. “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, dan kemudian generasi setelah mereka lagi…”
Dengan demikian, Salafussalih sering diidentifikasi dengan tiga generasi pertama umat Islam yang dianggap saleh. Sementara menurut Munir, perspektif Alquran tentang sejarah umat Islam dari generasi ke generasi selanjutnya cenderung lebih egaliter.
Alquran lebih banyak berbicara tentang karakter dan syarat-syarat bangsa/generasi yang bangkit dan bangsa yang hancur.
Selanjutnya, Munir menjelaskan bahwa Wahhabi adalah orientasi teologi purifikasi yang dikenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) yang lahir dan besar di wilayah Najd, Saudi Arabia.
Karena merasa praktek keagamaan yang ada di masyarakatnya saat itu dianggap menyeleweng, tokoh pendiri Wahhabi ini mengajak pada ide purifikasi agama dengan merujuk pada penafsiran literalis terhadap Alquran dan hadist.
Implikasinya, tidak hanya dia menolak capaian-capaian intelektual ulama terdahulu, tetapi Abdul Wahhab juga menghukumi fuqaha (ahli hukum Islam) yang tidak sesuai dengan ide purifikasinya, sebagai zindiq yang hukumnya sama dengan murtad (keluar dari agama Islam), yakni boleh dibunuh.
Dalam perkembangannya, Wahhabi sering menggunakan kekerasan dan pembunuhan dalam dakwahnya, khususnya ketika mengepung Mekkah pada awal abad ke-19. Ibnu Taimiyyah, seorang teolog dan ulama zaman Mamluk, menjadi role-model Abdul Wahhab dalam propagandanya.
Fatwa Ibn Taimiyyah tentang jihad melawan Mongol yang ketika itu pemimpinnya sudah masuk Islam, diadopsi oleh Abdul Wahhab dengan fatwa jihad melawan Turki Usmani, karena dianggap tidak punya komitmen pada agama.
Menurut Munir, sebenarnya dakwah Wahhabi tidak akan berhasil jika saja tidak menjalin patronase dengan keluarga Su’ud yang pada saat itu ingin menjadi penguasa regional.
Dakwah Abdul Wahhab saat itu tidak saja mendapat pertentangan dari berbagai kalangannya, tetapi juga dari Ayah dan saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Di era kontemporer saat ini, Wahhabi terkadang mendompleng label Salafi yang mengandung pengertian ajaran yang lebih legitimatif dan otoritatif.
Salafi, seperti dijelaskan Munir, pada awalnya merupakan gerakan pembaharuan Islam yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama awalnya terpusat di Mesir. Salafi mendorong “pembacaan” langsung teks agama, al-Qur’an dan sunnah, untuk merespon tantangan modernisasi.
Salafi juga menganggap produk hukum atau ijtihad ulama terdahulu bukan sebagai otoritas yang mengikat dan diikuti. Mereka memegang prinsip egalitarianisme dalam intelektualitas dan giat mengadvokasi tentang perlunya ijtihad dan karenanya dalam perspektif ulama tradisional, salafi dianggap one-step-ahead (selangkah lebih maju) pemikirannya.
Merespon Wahhabi yang dalam kurun terakhir sering diidentikkan dengan Salafi, seorang ulama Salafi asal Mesir, Muhammad al-Ghazali (m. 1996), mengkritik keras Wahhabi.
Al-Ghazali menyebut Wahhabi sebagai ahlul hadist dalam makna yang peyoratif (negatif), yakni mereka yang hanya menghafal banyak hadits namun tidak bisa memahami hadits sehingga dapat menghasilkan produk hukum.
Selesai ceramah, dilanjutkan dengan sesi-tanya jawab sampai waktu berbuka puasa tiba. Lalu ketika adzan Magrib berkumandang sekitar pukul 21.10 dilanjutkan dengan buka-puasa dengan takjil, sholat Maghrib berjamaah dan terakhir, makan bersama (Srt-Mnr). (munirul ikhwan lc ma)
(stb)