Cak Nur: Nabi Ibrahim, Musa dan Isa Adalah Tokoh Muslim
Selasa, 31 Januari 2023 - 05:15 WIB
Cendekiawan Islam, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur, mengatakan Nabi Ibrahim, dan demikian pula dengan semua Nabi, termasuk Musa dan Isa semuanya adalah tokoh-tokoh yang muslim dan mengajarkan islam.
"Sekalipun tidak berarti para Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan Arab yang berbunyi m-u-s-l-i-m dan i-s-l-a-m, karena justru kebanyakan para Nabi bukanlah orang-orang Arab," tulis Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Mereka adalah muslim dan mengajarkan islam dalam arti, semuanya bersikap pasrah dan berdamai dengan Allah dan membawa pesan dasar yang sama, yaitu agar manusia tunduk patuh kepada-Nya melalui sikap pasrah dan berdamai, dan dengan jalan menempuh hidup bermoral.
Cak Nur menjelaskan bahwa "yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti luhur."
Menurutnya, pesan dasar itu, sebagai pesan Tuhan kepada semua Nabi dan Rasul --dan melalui mereka kepada seluruh ummat manusia membentuk makna "generik" agama, yaitu makna dasar dan universal sebelum suatu agama terlembagakan menjadi bentuk-bentuk formal dan parokial.
Oleh karena itu, kata Cak Nur, sepanjang penjelasan al-Qur'an, agama yang benar ialah agama yang memiliki makna generik itu, yang titik tolaknya ialah sikap pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa Arab disebut Islam). [Lihat QS Ali Imran 3:19 dan 85]
Maka, misalnya, al-Qur'an menolak klaim kaum Yahudi atau Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani, sebab dalam pandangan Kitab Suci al-Qur'an keyahudian dan kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan formal dan bahkan parokial dari suatu agama generik, yang sesungguhnya tidak memerlukannya.
Mdenurutnya, yang pertama (Yahudi) merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama Israil atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon berdasarkan nama tempat (Nazaret).
Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan formal dan parokial lainnya, ditolak Kitab Suci, sebab agama yang benar secara asli haruslah tidak bernama kecuali dengan nama yang menggambarkan semangat makna generik kebenaran itu sendiri, yaitu, dalam bahasa Arab, Islam (Sikap Pasrah dan Damai kepada Allah).
Oleh karena itu al-Qur'an menegaskan, Ibrahim adalah seorang hanif; yaitu seorang yang karena bimbingan kesucian dirinya sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan pemihakan yang murni kepada yang benar dan baik secara generik, asli dan sejati. Juga ditegaskan, Ibrahim adalah seorang Muslim (yang pasrah dan damai kepada Allah).
Pola Ekonomi
Di sisi lain, Cak Nur juga menjawab tuduhan yang mengatakan Islam tidak mempunyai sangkut paut dengan milieu ekonomi. Bahkan negeri-negeri Muslim dituduh sebagai penyebab kemunduran negeri-negeri itu.
Ia menjelaskan masyarakat Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan gejala menganut pola ekonomi yang bermacam-macam dalam zaman yang berbeda atau tempat yang berbeda.
Mengutip Rodinson, Cak Nur Menyebut jika kemajuan adalah suatu "Kapitalisme", sebagaimana orang cenderung melihat buktinya melalui runtuhnya sistem sosialis atau komunis, maka Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme itu, tanpa kehilangan sifatnya yang paling mendasar.
Tesis Rodinson ini terbuka untuk dipersoalkan, kata Cak Nur, namun kesimpulannya yang tegas bahwa kaum Muslim tidak perlu meninggalkan hal-hal yang secara esensial bersifat Islam mendorong orang bertanya: Lalu apa wujud dari hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu?
"Jawabnya adalah, hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu dengan sendirinya adalah pesan dasar atau risalah asasiyyah Islam itu sendiri," tutur Cak Nur.
"Tapi," Cak Nur mengatakan, "sementara frase 'pesan dasar' Islam terdengar familiar bagi setiap yang pernah membahas masalah-masalah keislaman, namun wujud nyatanya sendiri sering masih merupakan problem."
"Sekalipun tidak berarti para Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan Arab yang berbunyi m-u-s-l-i-m dan i-s-l-a-m, karena justru kebanyakan para Nabi bukanlah orang-orang Arab," tulis Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Mereka adalah muslim dan mengajarkan islam dalam arti, semuanya bersikap pasrah dan berdamai dengan Allah dan membawa pesan dasar yang sama, yaitu agar manusia tunduk patuh kepada-Nya melalui sikap pasrah dan berdamai, dan dengan jalan menempuh hidup bermoral.
Cak Nur menjelaskan bahwa "yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti luhur."
Menurutnya, pesan dasar itu, sebagai pesan Tuhan kepada semua Nabi dan Rasul --dan melalui mereka kepada seluruh ummat manusia membentuk makna "generik" agama, yaitu makna dasar dan universal sebelum suatu agama terlembagakan menjadi bentuk-bentuk formal dan parokial.
Oleh karena itu, kata Cak Nur, sepanjang penjelasan al-Qur'an, agama yang benar ialah agama yang memiliki makna generik itu, yang titik tolaknya ialah sikap pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa Arab disebut Islam). [Lihat QS Ali Imran 3:19 dan 85]
Maka, misalnya, al-Qur'an menolak klaim kaum Yahudi atau Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani, sebab dalam pandangan Kitab Suci al-Qur'an keyahudian dan kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan formal dan bahkan parokial dari suatu agama generik, yang sesungguhnya tidak memerlukannya.
Mdenurutnya, yang pertama (Yahudi) merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama Israil atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon berdasarkan nama tempat (Nazaret).
Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan formal dan parokial lainnya, ditolak Kitab Suci, sebab agama yang benar secara asli haruslah tidak bernama kecuali dengan nama yang menggambarkan semangat makna generik kebenaran itu sendiri, yaitu, dalam bahasa Arab, Islam (Sikap Pasrah dan Damai kepada Allah).
Oleh karena itu al-Qur'an menegaskan, Ibrahim adalah seorang hanif; yaitu seorang yang karena bimbingan kesucian dirinya sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan pemihakan yang murni kepada yang benar dan baik secara generik, asli dan sejati. Juga ditegaskan, Ibrahim adalah seorang Muslim (yang pasrah dan damai kepada Allah).
Pola Ekonomi
Di sisi lain, Cak Nur juga menjawab tuduhan yang mengatakan Islam tidak mempunyai sangkut paut dengan milieu ekonomi. Bahkan negeri-negeri Muslim dituduh sebagai penyebab kemunduran negeri-negeri itu.
Ia menjelaskan masyarakat Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan gejala menganut pola ekonomi yang bermacam-macam dalam zaman yang berbeda atau tempat yang berbeda.
Mengutip Rodinson, Cak Nur Menyebut jika kemajuan adalah suatu "Kapitalisme", sebagaimana orang cenderung melihat buktinya melalui runtuhnya sistem sosialis atau komunis, maka Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme itu, tanpa kehilangan sifatnya yang paling mendasar.
Tesis Rodinson ini terbuka untuk dipersoalkan, kata Cak Nur, namun kesimpulannya yang tegas bahwa kaum Muslim tidak perlu meninggalkan hal-hal yang secara esensial bersifat Islam mendorong orang bertanya: Lalu apa wujud dari hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu?
"Jawabnya adalah, hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu dengan sendirinya adalah pesan dasar atau risalah asasiyyah Islam itu sendiri," tutur Cak Nur.
"Tapi," Cak Nur mengatakan, "sementara frase 'pesan dasar' Islam terdengar familiar bagi setiap yang pernah membahas masalah-masalah keislaman, namun wujud nyatanya sendiri sering masih merupakan problem."