Bila Ihsan Diwujudkan Secara Nyata dalam Tasawuf Menurut Cak Nur

Kamis, 19 Januari 2023 - 18:43 WIB
loading...
Bila Ihsan Diwujudkan Secara Nyata dalam Tasawuf Menurut Cak Nur
Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling sulit dipahami. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur , mengatakan ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf , kemudian yang dipraktikkan melalui ajaran tarekat adalah sebuah wawasan tentang kebulatan, kebenaran, atau kebenaran dalam dimensinya yang utuh.

Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling sulit dipahami. "Sebabnya ialah, kebenaran dalam dimensinya yang utuh, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu jika ia terlatih melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap apa hakikat yang ada di balik penampakan lahiriyahnya itu," ujar Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".



Menurutnya, pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah dalam Kitab Suci tentang Nabi Musa as , dengan seorang yang dilukiskan sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh 'ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah.

Tokoh ini dalam literatur kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi Khidir (al-Khidlr), yang agaknya merupakan nama perlambang akan kebenaran yang selalu hijau agar dan tidak pernah mati (khidlr artinya hijau).

Dalam kisah itu dituturkan bagaimana seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak tahan, dan memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak perahu milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang sedang asyik bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir roboh di sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah pada mereka berdua.

Dan barulah Musa paham akan tingkah laku aneh gurunya itu ketika ia memperoleh keterangan saat mereka hendak berpisah: guru itu merusak perahu nelayan miskin, ialah justru untuk menyelamatkan miliknya yang berharga itu dari bahaya perampok yang memilih perahu-perahu --yang nampak baik dan utuh; ia bunuh bocah itu karena ia tahu dari Allah bahwa anak itu akan tumbuh menjadi penjahat dan membuat sengsara orang tuanya, padahal orang tuanya adalah lelaki-perempuan yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah yang hendak roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim yang kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan selamat dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya rendah itu.



Menurut Cak Nur, penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup terkenal. Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan sering justru dianggap sebaga bagian dari kualtias tokoh tersebut sebagai "orang suci" atau kekasih Allah (wali).

"Namun justru di sini letak masalahnya yang paling pelik, yaitu, menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada seorang wali yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai seorang wali," tuturnya.

Juga tak ada yang tahu bahwa seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti dikatakan oleh penulis kitab Nata'ij al-Afkar sebagaimana dikutip oleh KH Hasyim Asyari dalam kitabnya "Al-Durar antara lain Muntatsirah fi al-Masa'il al-Tis' al-'Asyarah":

Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan pengakuan, bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya tentu ia akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat sedikit pun juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan tingkah laku mereka (golongan thariqat).

Cak Nur mengataka pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap Allah sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat azhab-Nya:

Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azabku adalah azab yang amat pedih ( QS al-Hijr 15 :49-50).



Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi, sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu menangkapnya.

Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat paradoks-paradoks, den mencoba memperoleh cita rasa (menurut istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.

Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah den syarahnya, KH Hasyim Asy'ari bahwa tauhid mengenal tiga jenjang: pertama penilaian bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu dan teori) bahwa Allah itu satu adanya; dan ketiga, timbulnya cita rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq).

Yang pertama, adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum sufi yang telah mencapai ma'rifat dan yang memiliki pengalaman tentang hakikat.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2443 seconds (0.1#10.140)