Zakat Konsep Harta yang Bersih Menurut Kiai Masdar Mas'udi
Senin, 20 Maret 2023 - 17:32 WIB
Kiai Haji Masdar Farid Mas'udi mengatakan sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan , bahkan keadilan sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain (syahadat, salat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara mustahil.
"Misalnya, karena kekhusyukannya dalam menunaikan salat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya."
"Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil," ujar Kiai Masdar dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas zakat konsep harta yang bersih..
Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas.
Hal ini, kata Kiai Masdar, Karena Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.
Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat.
Sementara untuk manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak punya urusan.
Kiai Masdar mengatakan sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul (sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable).
Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang bersifat empirik.
Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur.
"Ini berarti bahwa yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara implisit haruslah ma'qul," terangnya.
Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih mendasar lagi soal "keadilan sosial," kata Kiai Masdar, orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu, satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat.
Menurutnya, karena seperti halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi itu.
"Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya," ujarnya.
Lebih dari sekadar meletakkan soal penguasaan sumber daya materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan serendah-rendahnya.
Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana ketimpangan, di mana sebagian yang lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.
Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama.
"Misalnya, karena kekhusyukannya dalam menunaikan salat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya."
"Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil," ujar Kiai Masdar dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas zakat konsep harta yang bersih..
Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas.
Hal ini, kata Kiai Masdar, Karena Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.
Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat.
Sementara untuk manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak punya urusan.
Kiai Masdar mengatakan sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul (sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable).
Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang bersifat empirik.
Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur.
"Ini berarti bahwa yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara implisit haruslah ma'qul," terangnya.
Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih mendasar lagi soal "keadilan sosial," kata Kiai Masdar, orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu, satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat.
Menurutnya, karena seperti halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi itu.
"Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya," ujarnya.
Lebih dari sekadar meletakkan soal penguasaan sumber daya materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan serendah-rendahnya.
Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana ketimpangan, di mana sebagian yang lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.
Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama.