Al-Fatih Sebaik-Baik Pemimpin, Pasukannya Sebaik-baik Pasukan
Selasa, 21 Juli 2020 - 05:00 WIB
SULTAN Muhammad Al-Fatih telah menjadi jawaban dari bisyarah Rasulullah SAW yang tertera pada hadis nya. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam . Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad bin Hanval Al Musnad).
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, menjelaskan sesungguhnya, penaklukan Konstantinopel tidak dimulai dari nol. la merupakan hasil akumulatif perjuangan kaum muslimin selama berabad-abad, sejak awal masa berkembangnya Islam. Hal itu didorong oleh kabar gembira yang pernah diucapkan Rasulullah, sebagaimana hadis tersebut.
Perhatian untuk kembali menaklukkan Konstantinopel semakin kuat bersamaan dengan munculnya pemerintahan Bani Utsmani. ( )
Kalau diperhatikan, ternyata para Sultan Bani Utsman termasuk para pemimpin yang memiliki pemahaman fikih yang sangat kuat tentang perlunya menyediakan segala faktor-faktor yang dibutuhkan, untuk mencapai tujuan. Muhammad Al-Fatih sendiri termasuk Sultan yang sangat getol menempuh jalan itu dalam perjalanan jihadnya. Dia sangat tekun berusaha menjalankan firman Allah yang berbunyi:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang" (Al-Anfal: 60)
Muhammad Al-Fatih memahami ayat ini, bahwa masalah kemenangan dalam agama ini membutuhkan segala bentuk kekuatan yang beragam. Dia telah mampu menjabarkan makna ayat ini secara aplikatif dalam jihadnya yang diberkahi. Maka dia segera mempersiapkan sebuah pasukan dalam jumlah besar untuk mengepung Kota Konstantinopel. Pada saat itu, tidak ada satu jenis senjata pun yang tidak dia pergunakan. Dari meriam, pasukan berkuda, hingga pasukan pemanah.
Tentu saja semua ini membutuhkan kekayaan besar. Dengan sendirinya Sultan sudah memikirkan dari arah mana saja dia akan mendapatkan kekayaaan untuk membiayai perang yang tentu sangat mahal itu. Untuk membuat meriam, peluru, kapal, panah, membeli kuda, membeli minyak, kayu-kayu dll.
Semua itu membutuhkan kekayaan tidak kecil. Dapat disimpulkan, penaklukan Konstantinopel tak akan pernah terwujud, jika Khilafah Turki Utsmani fakir-miskin.
Pasukan yang mengepung Kota Konstantinopel dipimpin oleh Muhammad Al-Fatih, telah menyiapkan persiapan ruhani yang mantap. Mereka belajar di bawah naungan pendidikan yang sangat menekankan makna iman dan takwa sikap amanah, serta melaksanakan risalah. Mereka terdidik dalam makna-makna akidah yang benar.
Mereka dibimbing oleh para ulama yang ikhlas. Mereka telah menjadikan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya sebagai manhaj dalam mendidik individu-individu. Para ulama itu mendidik mereka dengan hal-hal berikut:
Pertama, bahwa Allah itu adalah Tunggal dan tidak memiliki sekutu apa pun. Dia tidak pernah mengambil sahabat wanita, tidak memiliki anak. Dia lepas dari semua sifat kekurangan dan memiliki sifat sempurna.
Kedua, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Pengatur segala urusan sebagaimana disebutkan.
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (Al-A’raaf: 54)
Ketiga, bahwa sesungguhnya Allah adalah sumber semua kenikmatan dalam wujud ini, baik njkmat kecil atau besar, yang tampak atau tersembunyi.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, menjelaskan sesungguhnya, penaklukan Konstantinopel tidak dimulai dari nol. la merupakan hasil akumulatif perjuangan kaum muslimin selama berabad-abad, sejak awal masa berkembangnya Islam. Hal itu didorong oleh kabar gembira yang pernah diucapkan Rasulullah, sebagaimana hadis tersebut.
Perhatian untuk kembali menaklukkan Konstantinopel semakin kuat bersamaan dengan munculnya pemerintahan Bani Utsmani. ( )
Kalau diperhatikan, ternyata para Sultan Bani Utsman termasuk para pemimpin yang memiliki pemahaman fikih yang sangat kuat tentang perlunya menyediakan segala faktor-faktor yang dibutuhkan, untuk mencapai tujuan. Muhammad Al-Fatih sendiri termasuk Sultan yang sangat getol menempuh jalan itu dalam perjalanan jihadnya. Dia sangat tekun berusaha menjalankan firman Allah yang berbunyi:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang" (Al-Anfal: 60)
Muhammad Al-Fatih memahami ayat ini, bahwa masalah kemenangan dalam agama ini membutuhkan segala bentuk kekuatan yang beragam. Dia telah mampu menjabarkan makna ayat ini secara aplikatif dalam jihadnya yang diberkahi. Maka dia segera mempersiapkan sebuah pasukan dalam jumlah besar untuk mengepung Kota Konstantinopel. Pada saat itu, tidak ada satu jenis senjata pun yang tidak dia pergunakan. Dari meriam, pasukan berkuda, hingga pasukan pemanah.
Tentu saja semua ini membutuhkan kekayaan besar. Dengan sendirinya Sultan sudah memikirkan dari arah mana saja dia akan mendapatkan kekayaaan untuk membiayai perang yang tentu sangat mahal itu. Untuk membuat meriam, peluru, kapal, panah, membeli kuda, membeli minyak, kayu-kayu dll.
Semua itu membutuhkan kekayaan tidak kecil. Dapat disimpulkan, penaklukan Konstantinopel tak akan pernah terwujud, jika Khilafah Turki Utsmani fakir-miskin.
Pasukan yang mengepung Kota Konstantinopel dipimpin oleh Muhammad Al-Fatih, telah menyiapkan persiapan ruhani yang mantap. Mereka belajar di bawah naungan pendidikan yang sangat menekankan makna iman dan takwa sikap amanah, serta melaksanakan risalah. Mereka terdidik dalam makna-makna akidah yang benar.
Mereka dibimbing oleh para ulama yang ikhlas. Mereka telah menjadikan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya sebagai manhaj dalam mendidik individu-individu. Para ulama itu mendidik mereka dengan hal-hal berikut:
Pertama, bahwa Allah itu adalah Tunggal dan tidak memiliki sekutu apa pun. Dia tidak pernah mengambil sahabat wanita, tidak memiliki anak. Dia lepas dari semua sifat kekurangan dan memiliki sifat sempurna.
Kedua, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Pengatur segala urusan sebagaimana disebutkan.
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (Al-A’raaf: 54)
Ketiga, bahwa sesungguhnya Allah adalah sumber semua kenikmatan dalam wujud ini, baik njkmat kecil atau besar, yang tampak atau tersembunyi.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ