Bolehkah Perempuan atau Seorang Istri Berkurban Sendiri?
Selasa, 28 Juli 2020 - 12:30 WIB
Pada bulan Dzulhijjah, amalan yang paling dicintai Allah Ta'ala adalah berkurban. Syariat menganjurkan kepada setiap muslim dan muslimah untuk melakukan ibadah kurban terutama bagi yang memiliki kelapangan harta. Bagi mereka yang mampu, tentu berkurban tidak terlalu sulit. Tetapi, ada sebagian orang yang berhalangan berkurban karena satu atau lain hal. Ada yang tidak bisa kurban lantaran kemampuan ekonomi yang rendah.
Kondisi masyarakat saat ini pun bervariasi. Banyak pasangan berkeluarga, masing-masing bekerja. Baik suami atau istri, masing-masing memiliki penghasilan sendiri. Tidak menutup kemungkinan, banyak contoh seorang istri yang mampu berkurban karena berdikari secara ekonomi. Sementara, di saat yang sama, suami tidak berpenghasilan cukup.
Dalam contoh tersebut, bolehkah seorang istri melaksanakan kurban menggantikan posisi suami ? Dan apakah kurban yang ia tunaikan itu bisa ditujukan untuk keluarganya?
Dalam 'Alfiqhul Islami wa Adillatuhu' disebutkan, “Sesunguhnya kurban hukumnya sunnah muakkad atau sangat dianjurkan, bukan wajib. Namun demikian, dimakruhkan meninggalkan kurban bagi orang yang mampu melakukannya.” (Baca juga : Siap-siap Melaksanakan Puasa Tarwiyah dan Arafah )
Anjuran berkurban ini berlaku untuk setiap muslim yang mukallaf dan mampu untuk berkurban, baik laki-laki atau perempuan, mukim atau musfir, lagi berhaji atau tidak, sudah menikah atau belum menikah. Laki-laki atau perempuan, baik sudah menikah atau belum, sangat dianjurkan berkurban jika mampu melakukannya.
Pendapat lain dari Syaikh Shalih Al-Munajjid yang mengatakan, kurban itu disyari’atkan untuk laki-laki dan perempuan. Jika seorang perempuan mampu untuk berkurban, maka disunnahkan baginya berkurban. Jika ia berkurban, maka boleh baginya untuk berniat untuk satu keluarga dan nantinya suaminya masuk dalam pahala kurban. (Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah kurban itu untuk satu keluarga atau ditujukan perintahnya untuk setiap individu dalam rumah yang telah baligh?
Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Hukum kurban adalah sunnah muakkad. kurban disyari’atkan pada laki-laki dan perempuan. Boleh seorang pria meniatkan kurban untuk keluarganya. Boleh juga perempuan atau istri meniatkan untuk keluarganya. Karena setiap tahunnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua kibas yang gemuk dan bertanduk, salah satunya beliau niatkan untuk dirinya dan anggota keluarganya. Sedangkan qurban yang satunya lagi, beliau niatkan untuk umatnya. (Baca juga : Aurat Dilihat Sesama Muslimah, Bagaimana Hukumnya? )
Dalam kitab Almuhalla, Ibnu Hazm menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan terkait anjuran berkurban, baik sudah menikah atau belum. Hal ini karena yang menjadi ukuran kesunahan berkurban adalah mampu melakukannya, bukan menikah atau belum. Berkurban boleh dilakukan oleh musafir, sebagaimana boleh dilakukan bagi orang yang mukim, dan tidak ada bedanya. Demikian pula perempuan atau seorang istri.
Prof Abd al Karim Zaidan di dalam bukunya “Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ati” menjelaskan, ibadah inti tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa pun di antara keduanya, bila dinyatakan mampu berkurban maka hendaknya melaksanakannya. Seorang istri yang berkemampuan secara finansial untuk berkurban, maka ia boleh berkurban. Bila suami tidak mampu maka istri berhak menunaikannya.
Istri dinyatakan boleh berkurban, baik membeli atau menyembelihnya sendiri, atau mendelegasikan tugas itu kepada orang lain. Ia tidak perlu meminta izin suami . Pendapat ini adalah opsi yang disuarakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah. (Baca juga : Rambut Perempuan dalam Pandangan Syariat )
Adapun waktu penyembelihan kurban adalah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah), setiap tahunnya seperti itu. Kemudian disunnahkan bagi shahibul kurban untuk memakan dari hasil kurban, untuk menghadiahkan pada kerabat dan tetangga, juga menyedekahkan sebagiannya pula.
Wallahu A'lam
Kondisi masyarakat saat ini pun bervariasi. Banyak pasangan berkeluarga, masing-masing bekerja. Baik suami atau istri, masing-masing memiliki penghasilan sendiri. Tidak menutup kemungkinan, banyak contoh seorang istri yang mampu berkurban karena berdikari secara ekonomi. Sementara, di saat yang sama, suami tidak berpenghasilan cukup.
Dalam contoh tersebut, bolehkah seorang istri melaksanakan kurban menggantikan posisi suami ? Dan apakah kurban yang ia tunaikan itu bisa ditujukan untuk keluarganya?
Dalam 'Alfiqhul Islami wa Adillatuhu' disebutkan, “Sesunguhnya kurban hukumnya sunnah muakkad atau sangat dianjurkan, bukan wajib. Namun demikian, dimakruhkan meninggalkan kurban bagi orang yang mampu melakukannya.” (Baca juga : Siap-siap Melaksanakan Puasa Tarwiyah dan Arafah )
Anjuran berkurban ini berlaku untuk setiap muslim yang mukallaf dan mampu untuk berkurban, baik laki-laki atau perempuan, mukim atau musfir, lagi berhaji atau tidak, sudah menikah atau belum menikah. Laki-laki atau perempuan, baik sudah menikah atau belum, sangat dianjurkan berkurban jika mampu melakukannya.
Pendapat lain dari Syaikh Shalih Al-Munajjid yang mengatakan, kurban itu disyari’atkan untuk laki-laki dan perempuan. Jika seorang perempuan mampu untuk berkurban, maka disunnahkan baginya berkurban. Jika ia berkurban, maka boleh baginya untuk berniat untuk satu keluarga dan nantinya suaminya masuk dalam pahala kurban. (Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah kurban itu untuk satu keluarga atau ditujukan perintahnya untuk setiap individu dalam rumah yang telah baligh?
Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Hukum kurban adalah sunnah muakkad. kurban disyari’atkan pada laki-laki dan perempuan. Boleh seorang pria meniatkan kurban untuk keluarganya. Boleh juga perempuan atau istri meniatkan untuk keluarganya. Karena setiap tahunnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua kibas yang gemuk dan bertanduk, salah satunya beliau niatkan untuk dirinya dan anggota keluarganya. Sedangkan qurban yang satunya lagi, beliau niatkan untuk umatnya. (Baca juga : Aurat Dilihat Sesama Muslimah, Bagaimana Hukumnya? )
Dalam kitab Almuhalla, Ibnu Hazm menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan terkait anjuran berkurban, baik sudah menikah atau belum. Hal ini karena yang menjadi ukuran kesunahan berkurban adalah mampu melakukannya, bukan menikah atau belum. Berkurban boleh dilakukan oleh musafir, sebagaimana boleh dilakukan bagi orang yang mukim, dan tidak ada bedanya. Demikian pula perempuan atau seorang istri.
Prof Abd al Karim Zaidan di dalam bukunya “Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ati” menjelaskan, ibadah inti tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa pun di antara keduanya, bila dinyatakan mampu berkurban maka hendaknya melaksanakannya. Seorang istri yang berkemampuan secara finansial untuk berkurban, maka ia boleh berkurban. Bila suami tidak mampu maka istri berhak menunaikannya.
Istri dinyatakan boleh berkurban, baik membeli atau menyembelihnya sendiri, atau mendelegasikan tugas itu kepada orang lain. Ia tidak perlu meminta izin suami . Pendapat ini adalah opsi yang disuarakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah. (Baca juga : Rambut Perempuan dalam Pandangan Syariat )
Adapun waktu penyembelihan kurban adalah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah), setiap tahunnya seperti itu. Kemudian disunnahkan bagi shahibul kurban untuk memakan dari hasil kurban, untuk menghadiahkan pada kerabat dan tetangga, juga menyedekahkan sebagiannya pula.
Wallahu A'lam
(wid)