Kisah Bijak Para Sufi: Ibarat Tentang Tiga Tingkatan
Rabu, 29 Juli 2020 - 06:18 WIB
KEHIDUPAN manusia, dan kehidupan masyarakat, bukanlah seperti apa yang tampak. Kenyataannya, kehidupan itu mengkuti suatu pola yang jelas bagi sebagian orang dan tersembunyi bagi yang lainnya.
Lagipula, ada lebih dari satu pola yang bergerak setiap waktu. Sekalipun begitu, manusia mengambil satu bagian dari satu pola dan mencoba menyatukannya dengan bagian lain. Mereka selalu menemukan apa yang mereka harapkan, bukan apa yang sungguh nyata.
Mari kita renungkan, sebagai contoh, tiga perihal: gandum di ladang, air di sungai, dan garam di tambang. Ini adalah keadaan manusia pada umumnya. Ia ciptaan yang beberapa indranya sempurna dan sekaligus ciptaan yang memiliki potensi dan kemampuan yang masih bisa dikembangkan lebih lanjut.
Masing-masing ketiga tingkatan tadi mewakili hakikat dari kemampuan manusia. Kemampuan itu bisa tetap apa adanya, atau keadaan (dalam hal manusia, usaha) mungkin mengubahnya.
Ini adalah keadaan dari Tingkatan Pertama, atau keadaan manusia.
Akan tetapi, pada Tingkatan Kedua, kita memiliki taraf di mana sesuatu yang lebih lanjut bisa dilakukan. Gandum, dengan usaha dan pengetahuan, dikumpulkan dan digiling menjadi tepung. Air ditimba dari sungai dan simpan untuk penggunaan lebih lanjut. Garam disuling dan disaring. Ini adalah Tingkatan yang kegiatannya berbeda dengan yang pertama tadi, yang hanya sekadar pertumbuhan. Dalam Tingkatan ini, pengetahuan yang tadinya tersimpan, kemudian digunakan.
Tingkatan Ketiga bisa tercipta hanya setelah ketiga hakikat, dalam jumlah dan ukuran yang tepat, telah dipadukan di tempat tertentu dan pada waktu tertentu. Garam, air, dan tepung dicampur dan diremas menjadi adonan. Sebuah unsur hidup ditambahkan ketika pada adonan itu dimasukkan ragi dan tanur (panggangan roti) disiapkan untuk memanggang roti. Pembuatan roti ini bergantung kepada 'sentuhan' seperti juga kepada pengetahuan yang tersimpan.
Segala sesuatu akan berlaku menurut situasinya dan situasi itu adalah Tingkatan di mana sesuatu itu berada. Bila tujuannya adalah roti, mengapa ribut soal penyaringan garam?
Kisah ini, yang berasal dari para Sufi Sarmoun, menggemakan ajaran Ghazali bahwa 'orang tolol tidak mempunyai pengetahuan sejati mengenai pelajaran kaum terpelajar. Begitu pula, kaum terpelajar tidak memiliki gambaran yang memadai tentang pengetahuan Manusia Tercerahkan.'
Idries Shah dalam Tales of The Dervishes diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi menjelaskan kisah ini juga menggarisbawahi keyakinan para darwis bahwa agama-agama tradisional, sekolah-sekolah filsafat atau metafisika terus saja 'menggiling tepung' dan tak dapat melangkah lebih lanjut karena kekurangan orang-orang berhikmat, yang jarang sekali muncul.( )
Lagipula, ada lebih dari satu pola yang bergerak setiap waktu. Sekalipun begitu, manusia mengambil satu bagian dari satu pola dan mencoba menyatukannya dengan bagian lain. Mereka selalu menemukan apa yang mereka harapkan, bukan apa yang sungguh nyata.
Mari kita renungkan, sebagai contoh, tiga perihal: gandum di ladang, air di sungai, dan garam di tambang. Ini adalah keadaan manusia pada umumnya. Ia ciptaan yang beberapa indranya sempurna dan sekaligus ciptaan yang memiliki potensi dan kemampuan yang masih bisa dikembangkan lebih lanjut.
Baca Juga
Masing-masing ketiga tingkatan tadi mewakili hakikat dari kemampuan manusia. Kemampuan itu bisa tetap apa adanya, atau keadaan (dalam hal manusia, usaha) mungkin mengubahnya.
Ini adalah keadaan dari Tingkatan Pertama, atau keadaan manusia.
Akan tetapi, pada Tingkatan Kedua, kita memiliki taraf di mana sesuatu yang lebih lanjut bisa dilakukan. Gandum, dengan usaha dan pengetahuan, dikumpulkan dan digiling menjadi tepung. Air ditimba dari sungai dan simpan untuk penggunaan lebih lanjut. Garam disuling dan disaring. Ini adalah Tingkatan yang kegiatannya berbeda dengan yang pertama tadi, yang hanya sekadar pertumbuhan. Dalam Tingkatan ini, pengetahuan yang tadinya tersimpan, kemudian digunakan.
Tingkatan Ketiga bisa tercipta hanya setelah ketiga hakikat, dalam jumlah dan ukuran yang tepat, telah dipadukan di tempat tertentu dan pada waktu tertentu. Garam, air, dan tepung dicampur dan diremas menjadi adonan. Sebuah unsur hidup ditambahkan ketika pada adonan itu dimasukkan ragi dan tanur (panggangan roti) disiapkan untuk memanggang roti. Pembuatan roti ini bergantung kepada 'sentuhan' seperti juga kepada pengetahuan yang tersimpan.
Segala sesuatu akan berlaku menurut situasinya dan situasi itu adalah Tingkatan di mana sesuatu itu berada. Bila tujuannya adalah roti, mengapa ribut soal penyaringan garam?
Kisah ini, yang berasal dari para Sufi Sarmoun, menggemakan ajaran Ghazali bahwa 'orang tolol tidak mempunyai pengetahuan sejati mengenai pelajaran kaum terpelajar. Begitu pula, kaum terpelajar tidak memiliki gambaran yang memadai tentang pengetahuan Manusia Tercerahkan.'
Idries Shah dalam Tales of The Dervishes diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi menjelaskan kisah ini juga menggarisbawahi keyakinan para darwis bahwa agama-agama tradisional, sekolah-sekolah filsafat atau metafisika terus saja 'menggiling tepung' dan tak dapat melangkah lebih lanjut karena kekurangan orang-orang berhikmat, yang jarang sekali muncul.( )
(mhy)