Adzan Senyap di Bumi Andalusia
Kamis, 06 Agustus 2020 - 17:01 WIB
Bumi Andalusia , Spanyol pernah menjadi pusat peradaban Islam dalam kurun tahun 711 hingga 1487 Masehi. Usai Ratu Isabella dan Raja Ferdinand menguasai seluruh daratan Andalusia, umat Islam hanya terdengar kisah dukanya.
Tapi kisah duka itu sudah berlalu dan mulai bersemi kembali seiring dengan mulai era keterbukaan. Buktinya, komunitas muslim di Andalusia diberikan ijin untuk mendirikan Masjid. Paling tidak kini sudah terdapat enam masjid yang tersebar di enam kota di kecil di kawasan Andalusia yang berdiri sejak akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an. (Baca Juga: Musalla Tak Memadai, Muslim Shibuya Tokyo Galang Dana untuk Bangun Masjid)
Walau tidak semua diperkenankan oleh pemerintah Kerajaan Spanyol , misalnya Adzan masih belum diperkenankan berkumandang dengan pengeras suara. Hal itu karena masyarakat lingkungan sekitar Masjid atau Mezquita dalam bahasa Spanyol belum mengerti kegunaan panggilan adzan itu.
Menurut Abdul Razak Saleh, Sekretaris Presiden Masjid Al Hooda, Kota Cadiz, Spanyol bahwa saat ini memang belum dapat mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, karena lingkungan masjid masih belum mengerti. "Apalagi jumlah umat Islam di kota Cadiz ini hanya 50- 70 orang saja," kata calon Doktor Bahasa Inggris Universitas Cadiz itu kepada kami.
Tapi dia menjelaskan, pemerintah Kota Cadiz menerima keberadaan umat Islam di Kota tertua di Eropa itu. Hal itu dibuktikan saat pengurusan alih fungsi rumah toko (ruko) tempat saat ini Masjid Al Hooda berada cukup sederhana dan cepat.
"Pada saat pengurusan ijin alih fungsi menjadi Masjid Al Hooda pada tahun 2011, pemerintah kota hanya melihat pengurus dan sertifikat penyewaan. Dalam satu kerja kami sudah mengantungi ijin," kenang dia.
Masjid Al Hooda ini berada di lantai dasar sebuah apartemen di kawasan Kota Tua Cadiz. Umat Islam menyewa 400 Euro perbulan untuk ruangan yang terletak di jalan di tikungan jalan Compo de Sur. "Uang sewa itu sudah termasuk pemakaian listrik dan air," kata dia.
Tak heran, kata dia, dengan sikap keterbukaan pemerintah Spanyol kini sudah ada enam masjid di kawasan Andalusia, pertama di Alqeciras satu masjid, La Linea, Chiclana de La Frontena, Cadiz, Jerez de La Frontera ,La Alcaidesa dan Marbella. Sebenarnya masih ada dua masjid di kawasan Andusia tapi saat ini kawasan itu dibawah kekuasan Inggris, Gibraltar. Nama negara Koloni Inggris yang diambil dari Panglima Islam Tariq Bin Ziyad itu telah berdiri masjid Tariq Bin Ziyad dan Masjid Ibrahim Al Ibrahim. Masjid terakhir didirikan tahun 1997 atas bantuan Raja Fadh Dari Saudi Arabia.
Keterbukaan pemerintah Spanyol akan beragaman penduduknya, membuat komunitas Muslim Cadiz berani mengajukan dana pembinaan kepada pemerintah Kota untuk mendirikan madrasah. "Kamu lihat sendiri, ruangan masjid ini hanya lima meter kali sepuluh sudah termasuk dapur dan toilet, sehingga kami butuh ruangan tambahan untuk Madrasah," kata Razak.
Proposal itu belum mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah kota Cadiz. Razak Maklum, kota Cadiz dengan berpenduduk 1,2 juta itu, sedangkan penduduk yang beragama Islam hanya 70 orang. "Tapi kami tetap berusaha untuk mewujudkan madrasah itu," kata dia.
Minimnya muslim di kota ini ditengarai karena tingkat tidak banyak kesempatan kerja bagi Imigran. Sehingga aliran imigran dari Maroko dan negera Afrika utara lainya tidak sampai di Cadiz.
"Tingkat Pengangguran di Cadiz paling tinggi di Eropa, mencapai 40%," kata Razak.( )
Dia menambahkan, warga muslim di Cadiz umumnya imigran dari Maroko, tapi juga ada yang dari Afrika Seletan, Sinegal dan Tunisia yang telah menetap puluhan tahun. "Ada juga lima mualaf orang Spanyol asli," ujar dia.
Dia menjelaskan, Masjid Al Hooda dibiayai secara mandiri oleh komuitas muslim Cadiz. "Sadaqah dari jamah menjadi pendanaan utama operasional masjid. Tak heran kami tidak bisa mengaji iman, sehingga siapa saja bisa menjadi imam shalat wajib," kata dia.
Kondisi itu juga dialami saudara mereka di Kota La Liena. Di kota perbatasan Spanyol dan Gibraltar, komunitas muslim mencapai 1.800 jiwa. Jumlah itu disumbang oleh imigran Marako yang bekerja di Gibraltar, tapi bertempat tinggal di La Linea. Karena jumlah muslim cukup banyak di kota berpenduduk 62.940 itu.
Menurut Muhammad Bullus, Presiden Masjid Badar, La Linea, operasional masjid berasal dari infak dan sadaqah jamaah. Tapi sedikit lebih baik, komunitas muslim La Linea tidak lagi menyewa ruangan sebagai masjid, tapi telah memiliki sendiri Masjid yang terletak di pusat pertokoan pusat kota. "Tempat ini menjadi masjid sejak 12 tahun yang lalu. Sebelumnya kami ada masjid di tempat lebih tinggi dan harga sewanya mahal. Sekarangf masjid ini sudah menjadi milik umat muslim," kata dia.
Toko yang disulap menjadi masjid itu, dibeli dengan cara mencicil. Saat kami bertemu pada pertengahan Oktober 2019, Muhammad tengah berusaha keras untuk mengumpulkan uang pelunasan pelunasan Masjid itu.
"Masjid ini sudah dibayar setengahnya dan setengahnya lagi tengah di cicil. Kami punya diberi waktu dua bulan untuk melunasi masjid ini,yakni 1.120 Euro jika tidak, maka tempat ini tidak menjadi masjid lagi dan uang umat Isalam akan hilang," terang dia.
Ia menceritakan, tadinya gedung yang terletak tepat di belakang terminal bus antar kota La Linea itu merupakan kafe, dan toko-toko tetangganya juga saat ini ada yang Kafe, rumah biliar hingga klub malam. "Lokasi ini yang bisa dapat, tapi tidak menghalangi kami beribadah," ujar Muhammad.
Seperti di Cadiz, masjid ini juga tidak mengumandangkan adzan dengan pengeras suara. Tapi pengurus masjid mencetak selebaran waktu salat untuk dibagikan kepada Jamaah. Selain itu Dengan kemajuan teknologi, jamaah bisa mengakses waktu solat melalui gawai pintarnya,” kata dia.
Walau sudah menjadi hal milik, tapi bangunan seluas 300 meter persegi itu tidak bisa dibangun kubah atau menara masjid sebagai ciri khas rumah ibadah. "Membangun kubah belum di ijinkan oleh pemerintah kota," kata dia.
Tapi dia tidak kurang akal, untuk menandakan banguan itu masjid, dia menulis setiap pintu dengan tulisan Arab "Masjid Badar". Selain itu, lukisan corak kubah di pintu masuk juga akan memudahkan pencirian masjid.
Dia menceritakan, di kawasan Andalusia ini hanya Masjid Marbella yang diperkenankan rancang bangun masjid layaknya masjid pada umumnya, lengkap dengan kubah dan menara. "Itu karena, Masjid Marbella dibangun atas bantuan Raja Fadh dari Arab Saudi, masjid itu satu paket pembangunnnya dengan Masjid Ibrahim bin Ibrahim di Gibraltar," jelas dia.
Kehidupan komunitas muslim di La Linea juga didukung oleh maraknya bermunculan rumah makan halal. Dua di antara terletak 50-100 meter dari lokasi masjid, atau masih dipusat kota La Linea. Masih menurut Muhammad, rumah makan itu dikelola warga India dan Pakistan. (
)
Tulisan ini dikirim oleh Abdul Aziz
Tapi kisah duka itu sudah berlalu dan mulai bersemi kembali seiring dengan mulai era keterbukaan. Buktinya, komunitas muslim di Andalusia diberikan ijin untuk mendirikan Masjid. Paling tidak kini sudah terdapat enam masjid yang tersebar di enam kota di kecil di kawasan Andalusia yang berdiri sejak akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an. (Baca Juga: Musalla Tak Memadai, Muslim Shibuya Tokyo Galang Dana untuk Bangun Masjid)
Walau tidak semua diperkenankan oleh pemerintah Kerajaan Spanyol , misalnya Adzan masih belum diperkenankan berkumandang dengan pengeras suara. Hal itu karena masyarakat lingkungan sekitar Masjid atau Mezquita dalam bahasa Spanyol belum mengerti kegunaan panggilan adzan itu.
Menurut Abdul Razak Saleh, Sekretaris Presiden Masjid Al Hooda, Kota Cadiz, Spanyol bahwa saat ini memang belum dapat mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, karena lingkungan masjid masih belum mengerti. "Apalagi jumlah umat Islam di kota Cadiz ini hanya 50- 70 orang saja," kata calon Doktor Bahasa Inggris Universitas Cadiz itu kepada kami.
Tapi dia menjelaskan, pemerintah Kota Cadiz menerima keberadaan umat Islam di Kota tertua di Eropa itu. Hal itu dibuktikan saat pengurusan alih fungsi rumah toko (ruko) tempat saat ini Masjid Al Hooda berada cukup sederhana dan cepat.
"Pada saat pengurusan ijin alih fungsi menjadi Masjid Al Hooda pada tahun 2011, pemerintah kota hanya melihat pengurus dan sertifikat penyewaan. Dalam satu kerja kami sudah mengantungi ijin," kenang dia.
Masjid Al Hooda ini berada di lantai dasar sebuah apartemen di kawasan Kota Tua Cadiz. Umat Islam menyewa 400 Euro perbulan untuk ruangan yang terletak di jalan di tikungan jalan Compo de Sur. "Uang sewa itu sudah termasuk pemakaian listrik dan air," kata dia.
Tak heran, kata dia, dengan sikap keterbukaan pemerintah Spanyol kini sudah ada enam masjid di kawasan Andalusia, pertama di Alqeciras satu masjid, La Linea, Chiclana de La Frontena, Cadiz, Jerez de La Frontera ,La Alcaidesa dan Marbella. Sebenarnya masih ada dua masjid di kawasan Andusia tapi saat ini kawasan itu dibawah kekuasan Inggris, Gibraltar. Nama negara Koloni Inggris yang diambil dari Panglima Islam Tariq Bin Ziyad itu telah berdiri masjid Tariq Bin Ziyad dan Masjid Ibrahim Al Ibrahim. Masjid terakhir didirikan tahun 1997 atas bantuan Raja Fadh Dari Saudi Arabia.
Keterbukaan pemerintah Spanyol akan beragaman penduduknya, membuat komunitas Muslim Cadiz berani mengajukan dana pembinaan kepada pemerintah Kota untuk mendirikan madrasah. "Kamu lihat sendiri, ruangan masjid ini hanya lima meter kali sepuluh sudah termasuk dapur dan toilet, sehingga kami butuh ruangan tambahan untuk Madrasah," kata Razak.
Proposal itu belum mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah kota Cadiz. Razak Maklum, kota Cadiz dengan berpenduduk 1,2 juta itu, sedangkan penduduk yang beragama Islam hanya 70 orang. "Tapi kami tetap berusaha untuk mewujudkan madrasah itu," kata dia.
Minimnya muslim di kota ini ditengarai karena tingkat tidak banyak kesempatan kerja bagi Imigran. Sehingga aliran imigran dari Maroko dan negera Afrika utara lainya tidak sampai di Cadiz.
"Tingkat Pengangguran di Cadiz paling tinggi di Eropa, mencapai 40%," kata Razak.( )
Dia menambahkan, warga muslim di Cadiz umumnya imigran dari Maroko, tapi juga ada yang dari Afrika Seletan, Sinegal dan Tunisia yang telah menetap puluhan tahun. "Ada juga lima mualaf orang Spanyol asli," ujar dia.
Dia menjelaskan, Masjid Al Hooda dibiayai secara mandiri oleh komuitas muslim Cadiz. "Sadaqah dari jamah menjadi pendanaan utama operasional masjid. Tak heran kami tidak bisa mengaji iman, sehingga siapa saja bisa menjadi imam shalat wajib," kata dia.
Kondisi itu juga dialami saudara mereka di Kota La Liena. Di kota perbatasan Spanyol dan Gibraltar, komunitas muslim mencapai 1.800 jiwa. Jumlah itu disumbang oleh imigran Marako yang bekerja di Gibraltar, tapi bertempat tinggal di La Linea. Karena jumlah muslim cukup banyak di kota berpenduduk 62.940 itu.
Menurut Muhammad Bullus, Presiden Masjid Badar, La Linea, operasional masjid berasal dari infak dan sadaqah jamaah. Tapi sedikit lebih baik, komunitas muslim La Linea tidak lagi menyewa ruangan sebagai masjid, tapi telah memiliki sendiri Masjid yang terletak di pusat pertokoan pusat kota. "Tempat ini menjadi masjid sejak 12 tahun yang lalu. Sebelumnya kami ada masjid di tempat lebih tinggi dan harga sewanya mahal. Sekarangf masjid ini sudah menjadi milik umat muslim," kata dia.
Toko yang disulap menjadi masjid itu, dibeli dengan cara mencicil. Saat kami bertemu pada pertengahan Oktober 2019, Muhammad tengah berusaha keras untuk mengumpulkan uang pelunasan pelunasan Masjid itu.
"Masjid ini sudah dibayar setengahnya dan setengahnya lagi tengah di cicil. Kami punya diberi waktu dua bulan untuk melunasi masjid ini,yakni 1.120 Euro jika tidak, maka tempat ini tidak menjadi masjid lagi dan uang umat Isalam akan hilang," terang dia.
Ia menceritakan, tadinya gedung yang terletak tepat di belakang terminal bus antar kota La Linea itu merupakan kafe, dan toko-toko tetangganya juga saat ini ada yang Kafe, rumah biliar hingga klub malam. "Lokasi ini yang bisa dapat, tapi tidak menghalangi kami beribadah," ujar Muhammad.
Seperti di Cadiz, masjid ini juga tidak mengumandangkan adzan dengan pengeras suara. Tapi pengurus masjid mencetak selebaran waktu salat untuk dibagikan kepada Jamaah. Selain itu Dengan kemajuan teknologi, jamaah bisa mengakses waktu solat melalui gawai pintarnya,” kata dia.
Walau sudah menjadi hal milik, tapi bangunan seluas 300 meter persegi itu tidak bisa dibangun kubah atau menara masjid sebagai ciri khas rumah ibadah. "Membangun kubah belum di ijinkan oleh pemerintah kota," kata dia.
Tapi dia tidak kurang akal, untuk menandakan banguan itu masjid, dia menulis setiap pintu dengan tulisan Arab "Masjid Badar". Selain itu, lukisan corak kubah di pintu masuk juga akan memudahkan pencirian masjid.
Dia menceritakan, di kawasan Andalusia ini hanya Masjid Marbella yang diperkenankan rancang bangun masjid layaknya masjid pada umumnya, lengkap dengan kubah dan menara. "Itu karena, Masjid Marbella dibangun atas bantuan Raja Fadh dari Arab Saudi, masjid itu satu paket pembangunnnya dengan Masjid Ibrahim bin Ibrahim di Gibraltar," jelas dia.
Kehidupan komunitas muslim di La Linea juga didukung oleh maraknya bermunculan rumah makan halal. Dua di antara terletak 50-100 meter dari lokasi masjid, atau masih dipusat kota La Linea. Masih menurut Muhammad, rumah makan itu dikelola warga India dan Pakistan. (
Baca Juga
Tulisan ini dikirim oleh Abdul Aziz
(rhs)