Bulan Syaban, Waktu Terakhir Membayar Utang Puasa Ramadan
Selasa, 27 Februari 2024 - 10:49 WIB
Bulan Syaban merupakan bulan terakhir untuk mengganti utang puasa (qadha) Ramadan. Karena itu, menyegerakan qadha (bayar ganti) puasa itu lebih utama, apalagi ketika telah tiba saat-saat terakhir dibolehkan mengqadhanya, sebelum datang kembali Bulan Ramadan.
Dalam Islam, bersegera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menundanya, termasuk di dalamnya adalah mengqadha puasa , merupakan perkara yang sangat ditekankan. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (Qs. Ali Imran : 133)
Allah Subhanahu wa ta'ala pun memuji mereka orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang disyariatkan. Seperti dalam firman-Nya:
"Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dulu memperolehnya." (QS. al-Mukminun : 61)
Namun demikian, ketika akan menqadha puasa Ramadan , tidaklah wajib bagi kita untuk melakukannya secara berurutan dan berkesinambungan. Karena, Allah Ta'ala berfirman,
"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(Qs.al-Baqarah : 185)
"Jadi, tidak masalah jika mengqadha puasa dilakukan secara terpisah, tidak berurutan dan tidak berkesinambungan,"ungkap Ustadz Amar Abdullah bin Syakir yang aktif di Yayasan Hisbah ini.
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, “Jika mau, dia boleh mengqadha secara berselang-selang.”
Demikian pula yang dikemukakan oleh imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal. Abu Dawud di dalam Masaa-ilnya (hal.95) berkata : “Aku pernah mendengar Ahmad (bin Hanbal) ditanya tentang qadha’ puasa Ramadhan, maka dia menjawab, ‘Jika mau, boleh diqadha secara terpisah; jika mau, dia boleh diqadha berurutan.”
Tentunya, pilihan ini dilakukan selama waktu mengqadha puasa Ramadan masih lapang. Namun, jika waktu yang tersedia untuk mengqadhanya mengharuskan kita melakukan puasa qadha secara berurutan dan berkesinambungan maka kita harus melakukannya secara berurutan dan berkesinambungan.
Misalnya, di bulan Ramadan tahun lalu Anda mempunyai hutang puasa 6 hari, misalnya, sementara waktu yang tersedia untuk mengqadhanya di bulan Syaban ini tinggal 6 hari saja, maka Anda harus melakukan qadha puasa Anda secara berurutan dan berkesinambungan.
"Karena, jika Anda tidak melakukannya dengan cara demikian itu, niscaya Anda akan menyisakan sebagian dari kewajiban Anda. Anda masih menanggung hutang puasa. Berbeda ketika Anda melakukan qadha dengan cara berurutan dan berkesinambungan. Niscaya, begitu Anda memasuki bulan Ramadan berikutnya, Anda tidak lagi memikul hutang puasa Ramadan sebelumnya,"ujarnya.
Dalam Islam, bersegera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menundanya, termasuk di dalamnya adalah mengqadha puasa , merupakan perkara yang sangat ditekankan. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِي
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (Qs. Ali Imran : 133)
Allah Subhanahu wa ta'ala pun memuji mereka orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang disyariatkan. Seperti dalam firman-Nya:
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
"Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dulu memperolehnya." (QS. al-Mukminun : 61)
Namun demikian, ketika akan menqadha puasa Ramadan , tidaklah wajib bagi kita untuk melakukannya secara berurutan dan berkesinambungan. Karena, Allah Ta'ala berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر
"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(Qs.al-Baqarah : 185)
"Jadi, tidak masalah jika mengqadha puasa dilakukan secara terpisah, tidak berurutan dan tidak berkesinambungan,"ungkap Ustadz Amar Abdullah bin Syakir yang aktif di Yayasan Hisbah ini.
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, “Jika mau, dia boleh mengqadha secara berselang-selang.”
Demikian pula yang dikemukakan oleh imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal. Abu Dawud di dalam Masaa-ilnya (hal.95) berkata : “Aku pernah mendengar Ahmad (bin Hanbal) ditanya tentang qadha’ puasa Ramadhan, maka dia menjawab, ‘Jika mau, boleh diqadha secara terpisah; jika mau, dia boleh diqadha berurutan.”
Tentunya, pilihan ini dilakukan selama waktu mengqadha puasa Ramadan masih lapang. Namun, jika waktu yang tersedia untuk mengqadhanya mengharuskan kita melakukan puasa qadha secara berurutan dan berkesinambungan maka kita harus melakukannya secara berurutan dan berkesinambungan.
Misalnya, di bulan Ramadan tahun lalu Anda mempunyai hutang puasa 6 hari, misalnya, sementara waktu yang tersedia untuk mengqadhanya di bulan Syaban ini tinggal 6 hari saja, maka Anda harus melakukan qadha puasa Anda secara berurutan dan berkesinambungan.
"Karena, jika Anda tidak melakukannya dengan cara demikian itu, niscaya Anda akan menyisakan sebagian dari kewajiban Anda. Anda masih menanggung hutang puasa. Berbeda ketika Anda melakukan qadha dengan cara berurutan dan berkesinambungan. Niscaya, begitu Anda memasuki bulan Ramadan berikutnya, Anda tidak lagi memikul hutang puasa Ramadan sebelumnya,"ujarnya.
(wid)