Tafsir Ayat-Ayat Puasa, Begini Penjelasannya
Selasa, 05 Maret 2024 - 13:38 WIB
Bulan Ramadan segera tiba, umat Islam akan menyambutnya dengan suka cita. Selama sebulan penuh, bagi seorang muslim kewajiban berpuasa Ramadan harus dijalankan dengan baik dan benar. Untuk itu, tidak ada salahnya kita mengetahui dan memahami ayat-ayat Al Qur'an yang memerintahkan kewajiban puasa Ramadan ini.
Dalam kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc, 22 Syaban 1445 H lalu, dijelaskan tentang tafsir ayat-ayat puasa. Berikut pemaparan dai yang berkhidmat di Kajian Sunnah tersebut:
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa…”
Semua ayat yang yang dimulai dengan ucapan ini, selalu isinya kalau tidak perintah maka larangan. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kalau kamu mendengar Allah mengatakan ‘Hai orang-orang yang beriman,’ maka siapkan telingamu untuk mendengarkannya.”
Allah memanggil orang yang beriman. Karena iman itu hakikatnya adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Konsekuensi iman adalah kita senantiasa tunduk dan patuh. Makanya yang tunduk dan patuh kepada Allah hanyalah orang-orang yang beriman. Kalau ada orang yang tidak tunduk, berarti itu menunjukkan keimanannya kurang. Semakin iman seseorang sempurna, biasanya semakin ketundukannya pun kepada Allah sempurna.
"Semua kita Alhamdulillah beriman. Berarti kita semua dipanggil. Semua yang merasa dirinya beriman kepada Allah dan kehidupan akhirat dipanggil oleh Allah. Kalau antum dipanggil sama presiden, maka siap langsung datang. Ini yang memanggil adalah pencipta presiden, bahkan pencipta alam semesta. Mana yang lebih layak untuk kita tunduk dan patuhi? Tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala,"paparnya.
Ketika Allah mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman,” maka kita bersiap untuk mengatakan sami’na wa atha’na.
“Diwajibkan atas kalian berpuasa.” Shiyam berasal dari kata shaum, yang secara bahasa artinya menahan diri. Adapun secara istilah adalah menahan diri dari semua yang membatalkan puasa dimulai dari semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari disertai dengan niat.
Atas dasar definisi ini, rukun puasa itu ada dua. Yang pertama adalah niat. Dan niat tempatnya di hati, bukan di lisan. Tidak perlu kita mengucapkan niat, karena Nabi tidak pernah mengajarkan demikian. Niat puasa itu harus dari semenjak malam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Siapa yang tidak meniatkan puasa dari malam sebelum fajar terbit, maka puasanya tidak sah.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan yang lainnya)
Maka ketika kita sahur, disitu otomatis pasti mengandung niat untuk puasa
Rukun yang kedua yaitu meninggalkan semua yang membatalkan puasa. Yaitu makan dan minum dengan sengaja, kalau lupa maka tidak batal. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Siapa yang makan karena lupa saat ia sedang berpuasa, hendaklah ia melanjutkan puasanya, karena saat itu Allah sedang memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu A'lam
Dalam kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc, 22 Syaban 1445 H lalu, dijelaskan tentang tafsir ayat-ayat puasa. Berikut pemaparan dai yang berkhidmat di Kajian Sunnah tersebut:
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa…”
Semua ayat yang yang dimulai dengan ucapan ini, selalu isinya kalau tidak perintah maka larangan. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kalau kamu mendengar Allah mengatakan ‘Hai orang-orang yang beriman,’ maka siapkan telingamu untuk mendengarkannya.”
Allah memanggil orang yang beriman. Karena iman itu hakikatnya adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Konsekuensi iman adalah kita senantiasa tunduk dan patuh. Makanya yang tunduk dan patuh kepada Allah hanyalah orang-orang yang beriman. Kalau ada orang yang tidak tunduk, berarti itu menunjukkan keimanannya kurang. Semakin iman seseorang sempurna, biasanya semakin ketundukannya pun kepada Allah sempurna.
"Semua kita Alhamdulillah beriman. Berarti kita semua dipanggil. Semua yang merasa dirinya beriman kepada Allah dan kehidupan akhirat dipanggil oleh Allah. Kalau antum dipanggil sama presiden, maka siap langsung datang. Ini yang memanggil adalah pencipta presiden, bahkan pencipta alam semesta. Mana yang lebih layak untuk kita tunduk dan patuhi? Tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala,"paparnya.
Ketika Allah mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman,” maka kita bersiap untuk mengatakan sami’na wa atha’na.
“Diwajibkan atas kalian berpuasa.” Shiyam berasal dari kata shaum, yang secara bahasa artinya menahan diri. Adapun secara istilah adalah menahan diri dari semua yang membatalkan puasa dimulai dari semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari disertai dengan niat.
Atas dasar definisi ini, rukun puasa itu ada dua. Yang pertama adalah niat. Dan niat tempatnya di hati, bukan di lisan. Tidak perlu kita mengucapkan niat, karena Nabi tidak pernah mengajarkan demikian. Niat puasa itu harus dari semenjak malam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak meniatkan puasa dari malam sebelum fajar terbit, maka puasanya tidak sah.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan yang lainnya)
Maka ketika kita sahur, disitu otomatis pasti mengandung niat untuk puasa
Rukun yang kedua yaitu meninggalkan semua yang membatalkan puasa. Yaitu makan dan minum dengan sengaja, kalau lupa maka tidak batal. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Siapa yang makan karena lupa saat ia sedang berpuasa, hendaklah ia melanjutkan puasanya, karena saat itu Allah sedang memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga
Wallahu A'lam
(wid)