Apakah Keluar Flek Cokelat Membatalkan Puasa?
loading...

Keluarnya flek ketika puasa, memang seringkali membingungkan kaum Hawa. Apakah terhitung haid, sehingga puasanya batal, ataukah bukan haid sehingga tetap wajib melanjutkan puasanya. Foto ilustrasi/pexels
A
A
A
Apakah keluar flek cokelat membatalkan puasa? Masalah tersebut sering dialami kaum wanita muslimah, terutama terkait siklus bulanan atau masa haid mereka.
Tentang masalah kaum wanita ini, Ustaz Ammi Nur Baits, pembina dan dewan konsultasi syariah menjelaskannnya sebagai berikut:
Keluarnya flek ketika puasa, memang seringkali membingungkan kaum Hawa. Apakah terhitung haid, sehingga puasanya batal, ataukah bukan haid sehingga tetap wajib melanjutkan puasanya. Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah batas waktu minimal darah yang keluar bisa disebut haid.
Menurut Ustaz Ami Nur Baits, ada 3 pendapat ulama mazhab dalam hal ini,
Tarjih:
"Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam,"ujarnya.
Di antara alasan yang mendukung pendapat ini adalah
Pertama, satu istilah yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah, dipahami dengan tiga pendekatan:
-Makna syariat
-Makna ‘urf (anggapan yang berlaku di masyarakat)
-Makna bahasa arab
Kaidah yang dijelaskan para ulama ushul, ketika ada satu istilah dalam Al-Quran dan Sunnah, penedekatan pertama adalah makna syariat, jika syariat tidak menjelaskan, berpindah pada makna ‘urf, pemahaman yang berlaku di masyarakat ketika itu, kemudian makna bahasa arab. (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, Dr. Abdullah Yusuf Al-Judai’, hlm. 260 – 262)
Istilah ‘haid’ terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, dalil tentang haid dalam Al-Quran dan Sunnah hanya menjelaskan hukum-hukum yang berlaku ketika seorang wanita mengalami haid. Namun tidak dijelaskan tentang definisi dan batasan haid. Sehingga pendekatan dengan makna syariat, tidak memungkinkan. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32684)
Karena itu, mayoritas ulama mengembalikan batasan haid kepada makna ‘urf atau bahasa arab.
Secara bahasa, haid berasal dari kata hadha [arab: حاض ] yang artinya mengalir. Orang arab mengatakan, [حاضت الشجرة ] “pohon itu mengalami haid”, maksud mereka adalah pohon itu mengalirkan getahnya.
Sementara yang namanya mengalir, secara bahasa, tidak teranggap hanya dalam bentuk spots, flek, atau tetes. Semacam ini secara bahasa tidak disebut haid.
Kedua, terdapat riwayat yang disebutkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
“Apabila seorang wanita setelah suci dari haid, dia melihat seperti air cucian daging, atau flek, atau lebih kurang seperti itu, hendaknya dia cuci dengan air, kemudian wudhu dan boleh shalat tanpa harus mandi. Kecuali jika dia melihat darah kental.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 994)
Keterangan:
Makna ‘air cucian daging’ (Ghusalah Lahm) adalah warna darah merah pucat, layaknya air yang digunakan untuk mencuci daging.
Flek atau darah yang keluar statusnya najis, dan membatalkan wudhu. Karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memerintahkan agar dicuci dan berwudhu jika hendak salat.
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang status puasa wanita yang mengalami flek-flek, apakah puasanya sah? Dan itu terjadi sepanjang bulan Ramadan. Jawab beliau,
Tentang masalah kaum wanita ini, Ustaz Ammi Nur Baits, pembina dan dewan konsultasi syariah menjelaskannnya sebagai berikut:
Keluarnya flek ketika puasa, memang seringkali membingungkan kaum Hawa. Apakah terhitung haid, sehingga puasanya batal, ataukah bukan haid sehingga tetap wajib melanjutkan puasanya. Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah batas waktu minimal darah yang keluar bisa disebut haid.
Menurut Ustaz Ami Nur Baits, ada 3 pendapat ulama mazhab dalam hal ini,
1. Pendapat Mazhab Hanafiyah
Mazhab Hanafiyah berpendapat, batas minimal bisa disebut haid adalah 3 hari. Ketika darah itu keluar kurang dari 3 kali 24 jam, menurut hanafiyah, bukan darah haid. Sehingga tetap wajib menjalankan aktivitas sebagaimana layaknya sedang suci.2. Pendapat Mazhab Malikiyah
Mazhab ini berpendapat sebaliknya dari Hanafiyah. Menurutnya, tidak ada batas waktu minimal untuk keluarnya darah haid. Wanita bisa mengalami haid, meskipun darah yang keluar hanya sekali. Sehingga flek, menurut Malikiyah, terhitung sebagai haid.3. Pendapat Mazhab Syafiiyah dan Hambali
Kedua mazhab ini menegaskan bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam. Jika darah yang keluar kurang dari 24 jam, tidak terhitung haid. Sehingga flek sekali – dua kali, tidak terhitung sebagai haid.Tarjih:
"Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam,"ujarnya.
Di antara alasan yang mendukung pendapat ini adalah
Pertama, satu istilah yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah, dipahami dengan tiga pendekatan:
-Makna syariat
-Makna ‘urf (anggapan yang berlaku di masyarakat)
-Makna bahasa arab
Kaidah yang dijelaskan para ulama ushul, ketika ada satu istilah dalam Al-Quran dan Sunnah, penedekatan pertama adalah makna syariat, jika syariat tidak menjelaskan, berpindah pada makna ‘urf, pemahaman yang berlaku di masyarakat ketika itu, kemudian makna bahasa arab. (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, Dr. Abdullah Yusuf Al-Judai’, hlm. 260 – 262)
Istilah ‘haid’ terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, dalil tentang haid dalam Al-Quran dan Sunnah hanya menjelaskan hukum-hukum yang berlaku ketika seorang wanita mengalami haid. Namun tidak dijelaskan tentang definisi dan batasan haid. Sehingga pendekatan dengan makna syariat, tidak memungkinkan. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32684)
Karena itu, mayoritas ulama mengembalikan batasan haid kepada makna ‘urf atau bahasa arab.
Secara bahasa, haid berasal dari kata hadha [arab: حاض ] yang artinya mengalir. Orang arab mengatakan, [حاضت الشجرة ] “pohon itu mengalami haid”, maksud mereka adalah pohon itu mengalirkan getahnya.
Sementara yang namanya mengalir, secara bahasa, tidak teranggap hanya dalam bentuk spots, flek, atau tetes. Semacam ini secara bahasa tidak disebut haid.
Kedua, terdapat riwayat yang disebutkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِذَا رَأَتِ الْمَرْأَةُ بَعْدَ مَا تَطْهُرُ مِنَ الْحَيْضِ مِثْلَ غُسَالَةِ اللَّحْمِ، أَوْ قَطْرَةِ الرُّعَافِ، أَوْ فَوْقَ ذَلِكَ أَوْ دُونَ ذَلِكَ، فَلْتَنْضَحْ بِالْمَاءِ، ثُمَّ لِتَتَوَضَّأْ وَلْتُصَلِّ وَلَا تَغْتَسِلْ، إِلَّا أَنْ تَرَى دَمًا غَلِيظًا
“Apabila seorang wanita setelah suci dari haid, dia melihat seperti air cucian daging, atau flek, atau lebih kurang seperti itu, hendaknya dia cuci dengan air, kemudian wudhu dan boleh shalat tanpa harus mandi. Kecuali jika dia melihat darah kental.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 994)
Keterangan:
Makna ‘air cucian daging’ (Ghusalah Lahm) adalah warna darah merah pucat, layaknya air yang digunakan untuk mencuci daging.
Flek atau darah yang keluar statusnya najis, dan membatalkan wudhu. Karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memerintahkan agar dicuci dan berwudhu jika hendak salat.
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang status puasa wanita yang mengalami flek-flek, apakah puasanya sah? Dan itu terjadi sepanjang bulan Ramadan. Jawab beliau,