Ijtihad Tarawih dari Masa ke Masa, di Era Umar Bin Abdul Aziz 36 Rakaat
Jum'at, 01 Mei 2020 - 05:47 WIB
KATA Tarawih adalah bentuk plural (jamak) dari single tarwiih. Dan Tarwiih adalah bentuk mashdar (kata sifat/hasil kerja) dari kata kerja Rawwaha – Yurawwihu. Pada zaman Rasulullah, istilah salat tarawih belum dipopulerkan. Istilah tarwih mulai dikenal di era Khalifah Umar bin Khattab dan setelah itu berkembang dinamis dari masa ke masa.
Rasulullah Salallahu alaihi wa salam (SAW) lebih banyak melakukan salat malam pada bulan suci Ramadhan di rumah saja. Para sahabat mencatat, beliau hanya tiga malam saja di Masjid Madinah.
Menurut Ahmad Zarkasih, penulis buku "Sejarah Tarawih", salat yang disebut dengan istilah salat tarawih ini adalah salah satu bentuk salat malam juga pada umumnya.
"Menjadi khusus karena memang ada anjuran Nabi SAW yang khusus untuk menghidupi malam-malam Ramadhan dengan banyak ibadah, salah satu adalah mendirikan salat malam ramadhan," katanya.
Hal itu, kata Zarkasih, sesuai hadis Rasulullah seperti diriwayatkan an-Nasa'i. "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan, dan mensunnahkan qiyam-nya…"
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam ramadhan tanpa memerintahkan dengan kuat. (HR al-Bukhori).
Dua hadis yang disebutkan itu dan hadits-hadis lain dengan nada sejenis merupakan anjuran yang sifatnya khusus dari segi waktu pengerjaan; yakni malam-malam ramadhan untuk menghidupinya dengan ibadah, salah satunya salat.
Dan di sisi lain, hadis-hadis sejenis juga adalah anjuran yang sangat umum sekali. Bahwa Nabi SAW menganjurkan untuk menghidupi malam Ramadhan dengan ibadah, tapi tidak ditentukan jenis ibadah apa.
Begitu juga salat yang dianjurkan untuk dilakukan di malam-malam Ramadhan tersebut. Tidak pernah ada sebutan yang eksplisit tentang jumlah rakaat dan format salat yang bagaimana harusnya. Jadi anjurannya umum untuk semua jenis ibadah dan dengan jumlah rakaat yang tidak ditentukan.
Para sahabat ketika itu menjalankan apa yang diajurkan dengan format yang tidak teratur dan tidak terkomando dengan runutan yang sama. Sebagian mereka melakukannya di rumah, sebagian lain melakukannya di masjid Nabawi. Mereka yang di Masjid Nabawi pun mengerjakannya tidak dengan alur yang sama; ada yang mengerjakan dengan sendiri-sendiri, dan ada juga yang mengerjakannya dengan berjamaah.
Yang berjamaah pun berbeda-beda jumlahnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau bahkan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan bacaan siapa yang ia suka, imam itulah yang ia ikuti. Itulah yang diceritakan oleh Sayyidah ‘Aisyah; Istri Nabi SAW yang kemudian direkam oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
"Dari sayyidah ‘Aisyah RA, beliau berkata: orang-orang melaksanakan salat di masjid Rasulillah SAW di malam-malam Ramadhan itu berpisah-pisah. Mereka mengikuti orang yang punya hafalan qur’an untuk dijadikan imam salatnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau lebih sedikit atau bahkan lebih banyak dari itu. (HR. Ahmad)
Itu berarti bahwa salat di masjid Nabawi itu memang tidak dihadiri oleh Nabi SAW yang memilih salat di dalam rumahnya. Karena kalau saja Nabi SAW ada di dalam masjid, niscaya seluruh sahabat yang berada di dalamnya pun akan menjadikan beliau imam salat mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, sebagaimana disebut oleh sayyidina Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW masuk ke dalam masjid di tengah malam untuk menunaikan salat malam Ramadhan. Dan orang-orang yang ada dalam masjid itu serentak mengikuti Nabi SAW untuk menjadi makmum beliau, termasuk sayyidina Anas RA karena memang beliau yang memulai duluan dan diikuti oleh banyak orang.
Agak lama berdirinya Nabi SAW di salat tersebut. Namun ketika beliau sadar bahwa beliau diikuti oleh banyak orang di belakang beliau, beliau percepat salatnya dan setelah selesai salat, beliau masuk rumah lagi dan meneruskan salatnya di dalam. Dan salat yang dilakukan di rumah itulah, salat yang sangat lama berdirinya.
Rasulullah tidak meneruskan di masjid, karena khawatir memberatkan mereka-mereka yang sudah menjadi makmumnya.
Terkait dengan beberapa sahabat yang melakukannya di rumah; yakni melakukan salat malam Ramadhan di rumah, Nabi SAW pun membolehkan, dan tidak mengingkari itu.
Terbukti ketika Nabi SAW ditanya oleh sahabat Ubai bin Ka’ab yang ternyata salat malam Ramadhan di rumah menjadi imam untuk orang-orang di rumahnya. Masih dari Kitab yang sama yakni Kitab Qiyam Ramadhan 6, yang disusun oleh Imam al-Marwadzi, disebutkan tentang sahabat Ubai bin Ka’ab:
Dari jabir bin Abdullah, disebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya: “Wahai Rasul, semalam ada sesuatu di rumah ku.” Nabi SAW bertanya: “Apa itu?”, Beliau menjawab: “Wanita-wanita di rumahku mengaku tidak punya hapalan Qur’an, maka mereka salat menjadi makmumku di rumah, dan akupun salat menjadi imam mereka dengan 8 rakaat!” Nabi s.a.w. pun diam seakan memberikan isyarat ridha (kebolehan). (HR al-Marwadzi)
Begitu juga Nabi SAW yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Beliau mengajak orang rumahnya untuk mendirikan malam Ramadhan dengan salat malam. Setidaknya Nabi SAW pernah dalam 4 kali mengumpukan keluarga untuk salat malam bersamanya.
Rasulullah Salallahu alaihi wa salam (SAW) lebih banyak melakukan salat malam pada bulan suci Ramadhan di rumah saja. Para sahabat mencatat, beliau hanya tiga malam saja di Masjid Madinah.
Menurut Ahmad Zarkasih, penulis buku "Sejarah Tarawih", salat yang disebut dengan istilah salat tarawih ini adalah salah satu bentuk salat malam juga pada umumnya.
"Menjadi khusus karena memang ada anjuran Nabi SAW yang khusus untuk menghidupi malam-malam Ramadhan dengan banyak ibadah, salah satu adalah mendirikan salat malam ramadhan," katanya.
Hal itu, kata Zarkasih, sesuai hadis Rasulullah seperti diriwayatkan an-Nasa'i. "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan, dan mensunnahkan qiyam-nya…"
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam ramadhan tanpa memerintahkan dengan kuat. (HR al-Bukhori).
Dua hadis yang disebutkan itu dan hadits-hadis lain dengan nada sejenis merupakan anjuran yang sifatnya khusus dari segi waktu pengerjaan; yakni malam-malam ramadhan untuk menghidupinya dengan ibadah, salah satunya salat.
Dan di sisi lain, hadis-hadis sejenis juga adalah anjuran yang sangat umum sekali. Bahwa Nabi SAW menganjurkan untuk menghidupi malam Ramadhan dengan ibadah, tapi tidak ditentukan jenis ibadah apa.
Begitu juga salat yang dianjurkan untuk dilakukan di malam-malam Ramadhan tersebut. Tidak pernah ada sebutan yang eksplisit tentang jumlah rakaat dan format salat yang bagaimana harusnya. Jadi anjurannya umum untuk semua jenis ibadah dan dengan jumlah rakaat yang tidak ditentukan.
Para sahabat ketika itu menjalankan apa yang diajurkan dengan format yang tidak teratur dan tidak terkomando dengan runutan yang sama. Sebagian mereka melakukannya di rumah, sebagian lain melakukannya di masjid Nabawi. Mereka yang di Masjid Nabawi pun mengerjakannya tidak dengan alur yang sama; ada yang mengerjakan dengan sendiri-sendiri, dan ada juga yang mengerjakannya dengan berjamaah.
Yang berjamaah pun berbeda-beda jumlahnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau bahkan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan bacaan siapa yang ia suka, imam itulah yang ia ikuti. Itulah yang diceritakan oleh Sayyidah ‘Aisyah; Istri Nabi SAW yang kemudian direkam oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
"Dari sayyidah ‘Aisyah RA, beliau berkata: orang-orang melaksanakan salat di masjid Rasulillah SAW di malam-malam Ramadhan itu berpisah-pisah. Mereka mengikuti orang yang punya hafalan qur’an untuk dijadikan imam salatnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau lebih sedikit atau bahkan lebih banyak dari itu. (HR. Ahmad)
Itu berarti bahwa salat di masjid Nabawi itu memang tidak dihadiri oleh Nabi SAW yang memilih salat di dalam rumahnya. Karena kalau saja Nabi SAW ada di dalam masjid, niscaya seluruh sahabat yang berada di dalamnya pun akan menjadikan beliau imam salat mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, sebagaimana disebut oleh sayyidina Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW masuk ke dalam masjid di tengah malam untuk menunaikan salat malam Ramadhan. Dan orang-orang yang ada dalam masjid itu serentak mengikuti Nabi SAW untuk menjadi makmum beliau, termasuk sayyidina Anas RA karena memang beliau yang memulai duluan dan diikuti oleh banyak orang.
Agak lama berdirinya Nabi SAW di salat tersebut. Namun ketika beliau sadar bahwa beliau diikuti oleh banyak orang di belakang beliau, beliau percepat salatnya dan setelah selesai salat, beliau masuk rumah lagi dan meneruskan salatnya di dalam. Dan salat yang dilakukan di rumah itulah, salat yang sangat lama berdirinya.
Rasulullah tidak meneruskan di masjid, karena khawatir memberatkan mereka-mereka yang sudah menjadi makmumnya.
Terkait dengan beberapa sahabat yang melakukannya di rumah; yakni melakukan salat malam Ramadhan di rumah, Nabi SAW pun membolehkan, dan tidak mengingkari itu.
Terbukti ketika Nabi SAW ditanya oleh sahabat Ubai bin Ka’ab yang ternyata salat malam Ramadhan di rumah menjadi imam untuk orang-orang di rumahnya. Masih dari Kitab yang sama yakni Kitab Qiyam Ramadhan 6, yang disusun oleh Imam al-Marwadzi, disebutkan tentang sahabat Ubai bin Ka’ab:
Dari jabir bin Abdullah, disebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya: “Wahai Rasul, semalam ada sesuatu di rumah ku.” Nabi SAW bertanya: “Apa itu?”, Beliau menjawab: “Wanita-wanita di rumahku mengaku tidak punya hapalan Qur’an, maka mereka salat menjadi makmumku di rumah, dan akupun salat menjadi imam mereka dengan 8 rakaat!” Nabi s.a.w. pun diam seakan memberikan isyarat ridha (kebolehan). (HR al-Marwadzi)
Begitu juga Nabi SAW yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Beliau mengajak orang rumahnya untuk mendirikan malam Ramadhan dengan salat malam. Setidaknya Nabi SAW pernah dalam 4 kali mengumpukan keluarga untuk salat malam bersamanya.