7 Etika Calon Jemaah Haji untuk Mendapatkan Derajat Haji Mabrur

Kamis, 16 Mei 2024 - 13:20 WIB
Etika calon jemaah haji ini perlu dipahami oleh setiap umat muslim yang hendak menunaikan ibadah haji agar mendapatkan haji yang mabrur. Foto ilustrasi/ist
Etika calon jemaah haji ini perlu dipahami oleh setiap umat muslim yang hendak menunaikan ibadah haji. Dalam menjalankan salah satu ibadah wajib ini, setiap muslim tidak hanya harus mempersiapkan mental dan biaya saja, namun juga pengetahuan terkait apa-apa saja yang harus dilakukan di Tanah Suci.

Etika sendiri merupakan nilai moral dan norma yang menjadi pedoman, baik bagi suatu individu maupun suatu kelompok, dalam mengatur tindakan atau perilaku. Nilai ini sangatlah penting, terlebih ketika seseorang hendak berkunjung ke Tanah Suci.

Terkait etika calon jemaah haji ini ada beberapa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali terkait adab yang harus diperhatikan oleh jemaah yang menginginkan derajat haji mabrur .

7 Etika Calon Jemaah Haji

1. Fokus tujuan Haji hanya untuk Allah

Etika calon jemaah haji ini diawali dengan dari cita-cita dan tujuan mulia menunaikan ibadah haji. Ketika menunaikan ibadah haji, tujuan dan cita-citanya harus terfokus pada Allah SWT semata dan bukan untuk riya.

Selain itu, biaya yang dipakainya juga harus bersumber dari usaha yang baik dan halal. Peringatan Imam Al-Ghazali ini cukup beralasan mengingat Rasulullah saw. pernah bersabda:

Pada akhir zaman, orang-orang keluar untuk haji empat golongan: para penguasa untuk bersenang-senang, para hartawan untuk berdagang, orang-orang fakir untuk meminta-minta, dan para qari untuk memperdengarkan bacan.” (HR Al-Khatib).

2. Sederhana dan tidak berlebihan

Ini berkaitan dengan mempersiapkan perbekalan secukupnya dan memperbaiki hati dalam memberikan dan membelanjakannya tanpa disertai kekikiran dan sikap berlebihan. Pergunakanlah perbekalan secara sederhana.

Hindarilah perilaku bersenang-senang dan makan makanan yang enak-enak atau bermewah-mewahan dalam berpakaian. Sementara banyak memberi dan berbagi rezeki, menurut Al-Ghazali, tidak termasuk sikap berlebihan.

3. Jangan terlalu banyak berbicara

Ketika menunaikan ibadah haji, setiap muslim juga harus meninggalkan ar-rafats, al-fusuq dan al-jadal, sebagaimana yang dibicarakan Al-Qur’an.

Kata al-rafats merupakan kata umum yang mencakup segala perkataan sia-sia, keji, dan kotor. Termasuk di dalamnya perbuatan bersenda gurau atau membicarakan hubungan suami-istri. Sementara membicarakan hubungan suami-istri merupakan perbuatan yang dilarang karena mendorong kepada hal terlarang.

Sementara kata al-fusuq merupakan kata umum yang mencakup semua keadaan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Kemudian, al-jadal adalah berlebihan dalam permusuhan dan pertengkaran dengan hal-hal yang dapat menyebabkan kedengkian dan perpecahan, serta meruntuhkan budi pekerti yang baik.

4. Berpenampilan sederhana

Berpenampilan sederhana dan tidak banyak mengenakan perhiasan. Jauh dari kesan bermewah-mewahan dan memperlihatkan jabatan atau kekayaan, sehingga tidak tercatat sebagai orang yang sombong dan berlebihan.

Tampillah sebagai golongan lemah, miskin-papa, dan butuh terhadap rahmat dan ampunan Allah. Rasulullah saw. telah memerintahkan agar jamaah calon haji senantiasa berpenampilan sederhana dan menyembunyikan kekayaan, serta melarang untuk bersenang-senang dan bermewah-mewahan.

5. Berbaik sangka

Senantiasa berbaik sangka pada Allah atas apa yang telah dilakukan dan diinfakkan. Begitu pula dengan kepayahan, kerugian, bahkan mungkin musibah yang telah menimpa, baik yang menimpa harta maupun badan.

Ingatlah bahwa musibah adalah salah satu tanda diterima ibadah haji. Musibah saat haji sama dengan nafkah yang dikeluarkan di jalan Allah. Satu dirham sebanding dengan tujuh ratus dirham karena beratnya ujian di jalan jihad. (Al-Ghazali, I/265).

6. Menjaga kebersihan

Jamaah haji harus menjaga kebersihan diri, lingkungan sekitar, dan fasilitas umum dengan baik. Mereka juga diharapkan untuk menunjukkan keramahan dan bantuan kepada sesama jamaah haji yang membutuhkan.

7. Berempati dan berbagi

Selama perjalanan dan di Tanah Suci, jamaah haji harus menunjukkan empati terhadap orang lain dan bersedia berbagi rezeki dengan sesama yang membutuhkan. Ini merupakan bagian penting dari nilai-nilai sosial dan solidaritas dalam Islam.

(wid)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِى الۡـكِتٰبِ اَنۡ اِذَا سَمِعۡتُمۡ اٰيٰتِ اللّٰهِ يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَاُبِهَا فَلَا تَقۡعُدُوۡا مَعَهُمۡ حَتّٰى يَخُوۡضُوۡا فِىۡ حَدِيۡثٍ غَيۡرِهٖۤ‌ ‌ ۖ اِنَّكُمۡ اِذًا مِّثۡلُهُمۡ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ جَامِعُ‌‌‌الۡمُنٰفِقِيۡنَ وَالۡكٰفِرِيۡنَ فِىۡ جَهَـنَّمَ جَمِيۡعَا
Dan sungguh, Allah telah menurunkan ketentuan bagimu di dalam Kitab (Al-Qur'an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan oleh orang-orang kafir, maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena kalau tetap duduk dengan mereka, tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam,

(QS. An-Nisa Ayat 140)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More