Kedudukan Ipar dalam Islam dan Adab-adab Terhadapnya

Minggu, 23 Juni 2024 - 09:47 WIB
Ipar dalam Islam, bukanlah mahram dan boleh dinikahi, sehingga Islam mengatur di antaranya dengan menetapkan adab dengan saudara ipar agar tidak terjadi hal-hal buruk yang terjadi. Foto ilustrasi/IST
Ipar adalah maut , kalimat ini merupakan judul film yang tengah ramai diperbincangkan saat ini di Indonesia. Lantas, bagaimana sebenarnya kedudukan ipar dalam ajaran Islam ini? Dan adakah adab-adab untuk memperlakukannya?

Ajaran Islam sangat sempurna, karena semua hal sudah diatur secara detail dan rinci. Tanda kesempurnaan ajarannya adalah dicegahnya segala macam kerusakan yang bisa timbul dari mana saja, termasuk interaksi yang tidak memperhatikan adab dalam hubungan keluarga, dalam hal ini adalah saudara ipar.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ


“Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar)adalah maut.” (HR. Bukhari & Muslim).

Tentang Al-Hamwu, sebagian ulama menjelaskan Al-Hamwu adalah ipar (saudara laki-laki dari suami) dan keluarga dekat suami.

Kata maut dalam hadis, dimaksudkan perlunya kehati-hatian yang ketat terkait interaksi antara istri dengan saudara laki-laki sang suami. Sebab, bagaimanapun, saudara laki-laki suami terhadap istrinya tetaplah bukan muhrim, dan karena itu harus tepat adab dalam interaksi keduanya.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, ‘ipar adalah kematian’ maknanya adalah kekhawatiran darinya lebih banyak daripada selainnya, keburukan bisa terjadi darinya, dan fitnah lebih banyak, karena ipar memungkinkan untuk bisa sampai kepada perempuan dan berdua (berkhalwat) dengannya tanpa ada yang mengingkarinya.

Ibnul Arabi berpendapat, “Kata ‘kematian’ adalah kata yang biasa diungkapkan oleh orang-orang Arab seperti ‘Singa pembawa kematian’ artinya jika seseorang bertemu dengan singa maka bisa membuatnya mati dimakan singa.”

Imam Al-Qurtubi menambahkan, “Jika seorang lelaki berduaan dengan istri saudaranya maka hal itu dapat menyebabkan ‘kematian’ agama bagi istri saudaranya, bisa jadi dia ditalak suaminya, atau bahkan dirajam jika melakukan perzinaan.”

Hal ini tidak lain karena ipar bukanlah mahram dan boleh dinikahi, sehingga janganlah sampai terjadi adik merebut istri kakaknya, dan atau sebaliknya. Islam melalui syariatnya, telah menutup rapat kemungkinan-kemungkinan buruk terjadi, menimpa diri dan keluarga, di antaranya dengan menetapkan adab dengan saudara ipar.

Rasulullah bersabda, “Jangan kamu sekalian masuk ke dalam (ruang) wanita. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah bagaimana dengan saudara ipar?” Rasulullah menjawab, “Saudara ipar adalah kematian.” (HR. Ahmad).

Oleh karena itu, penting bagi kaum Muslimah dan para ipar dari istri adik laki-laki atau pun kakak laki-lakinya agar interaksi dengan saudara ipar berjalan sesuai dengan tuntunan sunnah.

Berikut beberapa adab yang harus diperhatikan para muslimah:

1. Para istri atau wanita dilarang bersolek, kecuali kepada dan untuk membahagiakan suami.

2. Tidak membukakan pintu kala sendiri di dalam rumah kepada semua tamu laki-laki yang bukan muhrim, terutama saudara ipar laki-laki.

3. Andai pun membutuhkan komunikasi dan interaksi, maka lakukanlah dengan menggunakan tirai atau hijab (pembatas). 4. Selalu menundukkan pandangan, dan bersuaralah dengan suara yang tegas dan jelas, jangan lemah lembut dan mendayu-dayu.

Diatur Demi Kemaslahatan

Dalam Islam, interaksi pria dan wanita diatur dan ditetapkan melainkan akan mendatangkan kemaslahatan.

Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan dari nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan, sesunguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah (pengatur) di atasnya, hingga Dia melihat bagaimana kalian beramal. Karena itu takutlah kalian kepada dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il adalah pada wanitanya.” (HR. Ahmad dan Muslim).

Dengan demikian, prinsip dasar interaksi seseorang dengan saudara iparnya adalah terjaminnya pencegahan terhadap pintu kerusakan yang sedemikian buruk.

“Tidaklah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahram-nya kecuali sesungguhnya pihak ketiganya adalah setan. (HR. Tirmidzi).

Lantas, bagaimana jika karena suatu keadaan, sehingga seorang istri harus membawa adik perempuannya tinggal serumah dengan suami, atau pun sebaliknya, sang suami harus membawa adik laki-lakinya tinggal serumah dengan sang istri?

Jika bisa dihindari, tentu pilihan menjauhi sangat lebih baik. Jika terpaksa, maka harus bisa dipastikan bahwa ikhtilat benar-benar dapat diminimalisir bahkan ditiadakan di dalam rumah, sehingga semua benar-benar terjaga dengan baik sebagaimana tuntunan syariah.

Allah berfirman:

فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلاً وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلاً


“Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu.” (QS. Faathir [35]: 43).



Wallahu A'lam
(wid)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari 'Urwah bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa dalam shalatnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering berdoa: ALLAHUMMA INNI 'AUUDZUBIKA MIN 'ADZAABIL QABRI WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAL WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MAHYA WAL MAMAATI, ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MINAL MA'TSMI WAL MAGHRAMI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung dari fitnah Dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan lilitan hutang). Maka seseorang bertanya kepada beliau, Alangkah seringnya anda memohon perlindungan diri dari lilitan hutang. Beliau bersabda: Sesungguhnya apabila seseorang sudah sering berhutang, maka dia akan berbicara dan berbohong, dan apabila berjanji, maka dia akan mengingkari.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 746)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More