5 Tanda Haji Mabrur dan Dalilnya

Senin, 24 Juni 2024 - 13:31 WIB
Semua jemaah yang telah melaksanakan ibadah haji, pasti mencita-citakan menjadi haji mabrur. Haji mabrûr bukanlah sekadar haji yang sah. Mabrûr artinya diterima oleh Allah SWT, dan sah artinya menggugurkan kewajiban. Foto ilustrasi/ist
Ada tanda-tanda haji mabrur yang terlihat jelas dari jemaah haji yang sudah melaksanakannya. Apa saja tanda haji mabrur tersebut dan bagaimana dalilnya?

Semua jemaah yang telah melaksanakan ibadah haji , pasti mencita-citakan menjadi haji mabrur. Haji mabrûr bukanlah sekadar haji yang sah. Mabrûr artinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla, dan sah artinya menggugurkan kewajiban.

Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan dalam bukunya yang diterjemahkan Abu Zakaria Sutrisno berjudul "Ringkasan Fiqih Haji" menjelaskan, bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla. "Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrûr,"ungkap Syaikh Shaleh bin Fauzan.

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Lathâiful Ma’ârif Fîma Li Mawâsimil ‘Am Minal Wazhâif mengatakan: “Yang hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin Allah Azza wa Jalla memberikan karunia kepada jemaah haji yang tidak baik dikarenakan jama’ah haji yang baik.”

Di antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:

1. Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal

Karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi SAW:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا


"Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [HR Muslim]

Orang yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api.

2. Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi SAW .

Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qâdhi: “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla.”

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan.

Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah.

3. Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik

Amalan yang baik yang dilakukan seperti zikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.

Ibnu Rajab berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi SAW pernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ


Memberi makan dan berkata-kata baik. [HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)]

4. Tidak berbuat maksiat selama ihram

Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ


(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji. [ QS al-Baqarah : 197]

Nabi Shallalalhu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ


'Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [HR Muslim]

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.

Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.

Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.

Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiyat.

5. Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik

Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.

Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai rida Allah Azza wa Jalla ; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah dalam At-Târîkh al-Kabir mengatakan: “Haji mabrûr adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Ia juga mengatakan: “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”

Ibnu Hajar al-Haitami dalam Qutul Qulub mengatakan: “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis zikir dan kesadaran.”



Wallahu A'lam
(wid)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendengar seseorang mengucapkan: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, bahwasanya Engkau adalah Allah Yang Maha Esa, yang bergantung pada-Nya segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sungguh dia telah meminta kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, yang apabila diminta dengan menyebut-Nya, pasti akan diberi dan apabila berdoa dengan menyebut-Nya pasti akan dikabulkan.

(HR. Sunan Ibnu Majah No. 3847)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More