Abu Ja’far Al-Mansur: Pembangun Imperium Abbasiyah yang Sebenarnya

Rabu, 16 Oktober 2024 - 17:32 WIB
Salah satu pemberontakan yang berhasil ditumpas adalah pemberontakan Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali. Ilustrasi: AI
ABU Ja’far Al-Mansur adalah khalifah kedua Daulah Abbasiyah (754-775 M/137-159 H). Ia diangkat menjadi khalifah setelah saudaranya Abu Abbas al-Safah meninggal dunia pada tahun 136/754 M.

"Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah perkasa, keras hati, kuat keimanan, bijaksana, cerdas, pemberani, teliti, disiplin, kuat beribadah dan sederhana," demikian disebut dalam buku "Teks Books, Sejarah dan Kebudayaan Islam" (IAIN Alaudin, 1981-1982).

Itu sebabnya tidak mengherankan, bila dikatakan ketika dia memikul jabatan khalifah , kekuatan Daulah Abbasiyah belum ada, tonggaknya masih goyah, kekuasaannya masih terancam. Akan tetapi setelah beliau memerintah selama 22 tahun, dia meninggalkan Daulah Abbasiyah dalam keadaan kokoh, mantap, megah dan agung serta memesona.

Itulah sebabnya di atas keberhasilan beliau membangun Daulah Abbasiyah dia disebut sebagai seorang pembangun Imperium Abbasiyah yang sebenarnya.



Abu Ja’far digelar dengan al-Mansur, artinya: yang memperoleh pertolongan Allah SWT karena dia selalu menang dalam menghadapi berbagai peperangan, baik ke dalam menghadapi pemberontak, maupun ke luar mengatasi serangan Byzantium.

Joesoef So’yb dalam bukunya berjudul "Sejarah Daulah Abbasiyah" (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) memaparkan Abu Jafar al-Mansur mempunyai sikap yang mengagumkan, yaitu hidupnya yang sederhana. Jika kesederhanaannya tampak pada sepuluh tahun dari awal pemerintahannya yang disibukkan dengan perjuangan mengamankan dan menstabilkan pemerintahan, dapat dimaklumi.

Akan tetapi sekalipun beliau telah berhasil membangun Imperium Daulah Abbasiyah menjadi megah dan agung, tetapi dia tetap pada sikap sederhananya, hal ini merupakan sesuatu hal yang luar biasa.

"Dia mampu mempertahankan sikap sederhananya sekalipun dikelilingi oleh kemegahan dan keagungan," tulis Joesoef So'yb.

Langkah pertama yang dilakukan khalifah al-Mansur setelah diangkat menjadi khalifah adalah menciptakan stabilitas pemerintahannya. Sebab di atas pemerintahan yang stabil lah pembangunan dapat dilaksanakan. Untuk terciptanya stabilitas tersebut beliau menghadapi pemberontakan-pemberontakan dan kerusuhan-kerusuhan.



Pemberontakan Abdullah bin Ali

Salah satu pemberontakan itu adalah pemberontakan Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali. Yusuf Rahman dalam bukunya berjudul "Sejarah Kebudayaan Islam" (Pekanbaru: IAIN Susqa, 1987) menceritakan pada waktu gerakan menumbangkan Daulah Umayyah digalakkan, Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali diperintahkan Abu Abbas untuk menghadapi perlawanan khalifah Marwan II (khalifah terakhir Daulah Umayyah) yang sedang menuju ke Kufah bersama tentaranya yang berjumlah 120.000 orang.

Kedua pasukan itu bertemu dipinggir sungai Zab, anak sungai Tigris. Pasukan Abdullah bin Ali dan dibantu Shaleh bin Ali dapat menangkap dan membunuh Marwan II yang melarikan diri ke Mesir.228

Abu Abbas telah berjanji bahwa siapa yang mampu mematahkan perlawanan khalifah Marwan II, akan diangkat manjadi khalifah sepeninggalnya. Atas dasar janji itu, Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali melakukan perlawanan membunuh Marwan II.

Namun kini janji itu dikhianati oleh Abu Abbas. Memang diakui bahwa andil Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali dalam gerakan mendirikan Daulah Abbasiyah sangat besar, dibandingkan dengan Abu Ja’far al-Mansur yang mempunyai tugas memadamkan pemberontakan di Kufah.



Pada masa pemerintahan Abu Abbas, Abdullah bin Ali diangkat menjadi Raja Muda (gubernur) untuk wilayah Palestina dan Syria, dan Shaleh bin Ali menjadi gubernur wilayah Mesir dan Afrika Utara, sementara Abu Ja’far al-mansur tidak mendapat jabatan.

Di penghujung pemerintahan Abu Abbas (yang memerintah selama empat tahun, meninggal dalam usia muda karena serangan penyakit cacar), justru mengangkat Abu Jafar Al-mansur (saudaranya) sebagai Khalifah, bukan Abdullah bin Ali (pamannya).

Pengangkatan itu tampaknya didasarkan atas hubungan famili, lebih dekat dengan saudara dibanding paman, bukan atas pertimbangan jasa dan pengabdian. Maka wajar Abdullah bin Ali merasa dikhianati dan melakukan pemberontakan.
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Dua kalimat yang ringan diucapkan tetapi berat timbangannya, dan disenangi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Pengasih yaitu, Subhanallah wa Bihamdihi Subhaanallaahil Azhim (Maha Suci Allah dengan segala pujian-Nya dan Maha Suci Allah Yang Maha Agung).

(HR. Muslim No. 4860)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More