Milad Muhammadiyah ke-112: Teladan Djuanda dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Rabu, 27 November 2024 - 11:28 WIB
PERINGATAN Milad Muhammadiyah ke-112 diselenggarakan di berbagai wilayah di Indonesia. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 November 1912 M. Hanya saja peringatan milad atau ulang tahun tidak dilakukan secara serentak di tanggal tersebut.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, misalnya, memperingati milad sampai Desember nanti. Banyak acara digelar. Salah satunya pentas Sandiwara Kebangsaan.
Hajatan seni itu digelar di Taman Ismail Marzuki , Selasa malam (26/11). Sandiwara kolosal tersebut memilih tema "Sang Surya di Atas Lautan" yang mengangkat kisah dan teladan Pahlawan Nasional yang kader Muhammadiyah Ir. Djuanda Kartawijaya. Sutradaranya, Prof. Dr. Imamuddin dan Suryana MD, Spd, M.Ds.c.
Menariknya, para pemain sandiwara persembahan Lembaga Seni Budaya PWM DKI Jakarta ini kebanyakan bukanlah seniman beneran. Di antara mereka adalah guru besaryang bukan profesor seni.
Prof. Dr. Bunyamin yang memerankan Ir. Djuanda, misalnya, adalah Guru Besar Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka atau Uhamka. Lalu ada Prof. Dr. Agus Suradika sebagai Letkol Sabur adalah Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah (UTM) Jakarta.
Pemain lainnya yang rata-rata akademisi adalah Dr. Edy Sukardi ( Presiden Sukarno ), Dr. Tadjudin (Wilopo), Dr. Rusjdy S. Arifin (Chaerul Saleh).
Aktivis Muhammadiyah
Sandiwara ini mengisahkan perjalanan hidup Djuanda melalui penggalan-penggalan fragmen. Dia adalah guru sekolah, kader, sekaligus aktivis Muhammadiyah yang kemudian dipercaya Bung Karno mendampinginya sebagai perdana menteri pada usia 46 tahun.
Djuanda adalah sosok bersahaja yang mencintai bangsanya. Dia guru yang tak silau dengan iming-iming jabatan, seorang pejabat yang terjaga integritas moralnya, seorang teladan yang bijaksana bagi keluarga.
Djuanda menjadi perdana menteri terakhir yang pernah dimiliki Indonesia. Kendati hanya menjabat dua tahun, jasanya untuk Republik Indonesia sangat besar. Ketika kesatuan bangsa dan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 baru menjadi slogan politik, Deklarasi Djuanda menyempurnakan utuhnya Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah negara kepulauan.
Dalam salah satu fragmen, ditampilkan bagaimana Djuanda sebagai seorang pejabat di lingkungan keluarga. Djuanda tak memakai aji mumpung. Dia menolak keinginan keluarganya yang bermaksud ikut serta dalam perjalanan dinas ke luar negeri.
Djuanda mengajarkan tentang teladan Khalifah Umar bin Abdul Aziz . "Jangan aji mumpung. Jangan lantaran Papi pejabat kalian menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi," ujarnya setelah Djuanda mengisahkan tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada anak, istri dan menantunya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera mematikan lampu di ruangannya dan mengganti dengan lampu yang lain, ketika putranyadatang untuk membicarakan urusan keluarga. Khalifah membedakan mana urusan negara dan mana urusan keluarga dengan tegas. Mana yang dibiayai negara dan mana yang dibeli sendiri dari gajinya. "Ingatlah teladan Khalifah Umar bin Abdul Aziz," ujar Djuanda lagi.
Ditunjukkan pula bagaimana Djuanda mendidik Awaluddin Jamin, menantunya yang polisi. Awaludin yang akhirnya memang menjadi kapolri, tak ingin menjadikan nama mertuanya itu sebagai pelumas kariernya di kepolisian.
Riang Gembira
Secara umum, sandiwara kolosal yang melibatkan sekitar 200 personel ini layak mendapatkan apresiasi positif. Aspek humor yang terselip hampir pada setiap fragmen tidak mengganggu substasi alur kisah yang sarat akan nilai-nilai.
Ketua PWM DKI Jakarta Akhmad H Abubakar menjelaskan, Sang Surya di Atas Lautan merupakan sandiwara kedua yang pernah ditampilkan LSB PWM DKI Jakara. Tahun lalu, tokoh yang diangkat adalah KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah.
”Namanya perayaan milad memang harus riang gembira. Malam ini kita semua semoga terhibur sekaligus mendapatkan ilmu, sebelum besok kita semua ke TPS,” kata Abubakar dalam sambutannya.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, misalnya, memperingati milad sampai Desember nanti. Banyak acara digelar. Salah satunya pentas Sandiwara Kebangsaan.
Hajatan seni itu digelar di Taman Ismail Marzuki , Selasa malam (26/11). Sandiwara kolosal tersebut memilih tema "Sang Surya di Atas Lautan" yang mengangkat kisah dan teladan Pahlawan Nasional yang kader Muhammadiyah Ir. Djuanda Kartawijaya. Sutradaranya, Prof. Dr. Imamuddin dan Suryana MD, Spd, M.Ds.c.
Menariknya, para pemain sandiwara persembahan Lembaga Seni Budaya PWM DKI Jakarta ini kebanyakan bukanlah seniman beneran. Di antara mereka adalah guru besaryang bukan profesor seni.
Prof. Dr. Bunyamin yang memerankan Ir. Djuanda, misalnya, adalah Guru Besar Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka atau Uhamka. Lalu ada Prof. Dr. Agus Suradika sebagai Letkol Sabur adalah Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah (UTM) Jakarta.
Pemain lainnya yang rata-rata akademisi adalah Dr. Edy Sukardi ( Presiden Sukarno ), Dr. Tadjudin (Wilopo), Dr. Rusjdy S. Arifin (Chaerul Saleh).
Aktivis Muhammadiyah
Sandiwara ini mengisahkan perjalanan hidup Djuanda melalui penggalan-penggalan fragmen. Dia adalah guru sekolah, kader, sekaligus aktivis Muhammadiyah yang kemudian dipercaya Bung Karno mendampinginya sebagai perdana menteri pada usia 46 tahun.
Djuanda adalah sosok bersahaja yang mencintai bangsanya. Dia guru yang tak silau dengan iming-iming jabatan, seorang pejabat yang terjaga integritas moralnya, seorang teladan yang bijaksana bagi keluarga.
Djuanda menjadi perdana menteri terakhir yang pernah dimiliki Indonesia. Kendati hanya menjabat dua tahun, jasanya untuk Republik Indonesia sangat besar. Ketika kesatuan bangsa dan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 baru menjadi slogan politik, Deklarasi Djuanda menyempurnakan utuhnya Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah negara kepulauan.
Dalam salah satu fragmen, ditampilkan bagaimana Djuanda sebagai seorang pejabat di lingkungan keluarga. Djuanda tak memakai aji mumpung. Dia menolak keinginan keluarganya yang bermaksud ikut serta dalam perjalanan dinas ke luar negeri.
Djuanda mengajarkan tentang teladan Khalifah Umar bin Abdul Aziz . "Jangan aji mumpung. Jangan lantaran Papi pejabat kalian menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi," ujarnya setelah Djuanda mengisahkan tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada anak, istri dan menantunya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera mematikan lampu di ruangannya dan mengganti dengan lampu yang lain, ketika putranyadatang untuk membicarakan urusan keluarga. Khalifah membedakan mana urusan negara dan mana urusan keluarga dengan tegas. Mana yang dibiayai negara dan mana yang dibeli sendiri dari gajinya. "Ingatlah teladan Khalifah Umar bin Abdul Aziz," ujar Djuanda lagi.
Ditunjukkan pula bagaimana Djuanda mendidik Awaluddin Jamin, menantunya yang polisi. Awaludin yang akhirnya memang menjadi kapolri, tak ingin menjadikan nama mertuanya itu sebagai pelumas kariernya di kepolisian.
Riang Gembira
Secara umum, sandiwara kolosal yang melibatkan sekitar 200 personel ini layak mendapatkan apresiasi positif. Aspek humor yang terselip hampir pada setiap fragmen tidak mengganggu substasi alur kisah yang sarat akan nilai-nilai.
Ketua PWM DKI Jakarta Akhmad H Abubakar menjelaskan, Sang Surya di Atas Lautan merupakan sandiwara kedua yang pernah ditampilkan LSB PWM DKI Jakara. Tahun lalu, tokoh yang diangkat adalah KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah.
”Namanya perayaan milad memang harus riang gembira. Malam ini kita semua semoga terhibur sekaligus mendapatkan ilmu, sebelum besok kita semua ke TPS,” kata Abubakar dalam sambutannya.
(mhy)