Gerakan Muhammadiyah Meniru Protestan? Al-Qur'an Paralel dengan Kemanusiaan
Rabu, 04 Desember 2024 - 06:11 WIB
SUKIDI dan Robert W Hefner dalam satu artikelnya bertajuk "Etika Protestan dalam Muhammadiyah" memaparkan cara hidup dan gagasan Kiai Ahmad Dahlan , pendiri Muhammadiyah .
Hasil kerja Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya yang terlihat dari beragam kegiatannya - aktivis gerakan ini menyebut berbagai ragam kegiatan Muhammadiyah itu dengan istilah amal-usaha - oleh Hefner disebut luar biasa, tanpa ada yang menyamai.
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)" bab "Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un" menyebut hubungan kerja sosial Muhammadiyah itu, terutama pendirinya, dengan Etika Protestan , perlu dikaji lebih serius.
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta..
Demikian pula kesimpulan Sukidi, kata Abdul Munir Mukhan, yang mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model Protestan, perlu ditelaah secara serius.
Abdul Munir Mulkhan menyoroti beberapa gagasan dasar keagamaan Ahmad Dahlan, terutama yang berhubungan dengan pembaruan sosial budaya yang dilakukannya dalam berbagai bentuk amal-usaha dari Gerakan Muhammadiyah.
Kiai Ahmad Dahlan sendiri, katanya, terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Islam Jawa yang ketika itu berada dalam kontrol Penguasa Kolonial.
Sejak sebelum kemerdekaan, Muhammadiyah terlibat aktif dalam Masyumi sebagai anggota istimewa yang selanjutnya dalam dinamika kepartaian dalam beragam bentuk.
Namun, reformasi sosial-budaya gerakan ini terus berlangsung di bawah sinar ide-ide genial pendirinya hampir tanpa contoh dalam sejarah Islam dan pemikiran tokoh pembaharu Islam di berbagai belahan dunia.
Kiai Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang baru beredar luas dalam edisi Inggris tahun 1950-an.
Sementara Weber belum pernah berkunjung ke negeri ini, maka jika terdapat kesesuaian antara gagasan dan praktik keagamaan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan dengan berbagai tesis Weber dan tradisi kaum Calvinis, mungkin hal itu lebih merupakan sebuah “insiden kesesuaian sosiologis” sunnatullah atau hukum alam.
Hubungan gagasan dan kerja sosial Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya dengan berbagai tesis Max Weber, bisa dilihat dari beberapa fakta historis berikut ini.
Max Weber sendiri lahir pada 1864 dan meninggal pada 1920, sementara Ahmad Dahlan lahir pada 1868 dan meninggal pada 1923, tiga tahun sesudah Weber wafat.
Bagian pertama karya monumental Weber berjudul Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, terbit pertama kali pada 1904, ketika Dahlan sudah pergi haji yang kedua kali (1883 dan 1902).
Ide-ide awal Kiai Ahmad Dahlan sudah muncul beberapa tahun sebelum ia berketetapan hati mendirikan Muhammadiyah yang baru dimintakan izin ke Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 18 November 1912 yang kemudian dijadikan penanda kelahiran organisasi ini.
Kemanusian
Kiai Ahmad Dahlan menyatakan adanya paralelitas tafsir atas Alquran dengan akal suci dan temuan iptek. Karena itu ia menganjurkan umat Islam untuk mempelajari Filsafat bagi pengembangan kemampuan akal suci tersebut.
Hasil kerja Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya yang terlihat dari beragam kegiatannya - aktivis gerakan ini menyebut berbagai ragam kegiatan Muhammadiyah itu dengan istilah amal-usaha - oleh Hefner disebut luar biasa, tanpa ada yang menyamai.
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)" bab "Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un" menyebut hubungan kerja sosial Muhammadiyah itu, terutama pendirinya, dengan Etika Protestan , perlu dikaji lebih serius.
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta..
Demikian pula kesimpulan Sukidi, kata Abdul Munir Mukhan, yang mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model Protestan, perlu ditelaah secara serius.
Abdul Munir Mulkhan menyoroti beberapa gagasan dasar keagamaan Ahmad Dahlan, terutama yang berhubungan dengan pembaruan sosial budaya yang dilakukannya dalam berbagai bentuk amal-usaha dari Gerakan Muhammadiyah.
Kiai Ahmad Dahlan sendiri, katanya, terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Islam Jawa yang ketika itu berada dalam kontrol Penguasa Kolonial.
Sejak sebelum kemerdekaan, Muhammadiyah terlibat aktif dalam Masyumi sebagai anggota istimewa yang selanjutnya dalam dinamika kepartaian dalam beragam bentuk.
Namun, reformasi sosial-budaya gerakan ini terus berlangsung di bawah sinar ide-ide genial pendirinya hampir tanpa contoh dalam sejarah Islam dan pemikiran tokoh pembaharu Islam di berbagai belahan dunia.
Kiai Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang baru beredar luas dalam edisi Inggris tahun 1950-an.
Sementara Weber belum pernah berkunjung ke negeri ini, maka jika terdapat kesesuaian antara gagasan dan praktik keagamaan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan dengan berbagai tesis Weber dan tradisi kaum Calvinis, mungkin hal itu lebih merupakan sebuah “insiden kesesuaian sosiologis” sunnatullah atau hukum alam.
Hubungan gagasan dan kerja sosial Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya dengan berbagai tesis Max Weber, bisa dilihat dari beberapa fakta historis berikut ini.
Max Weber sendiri lahir pada 1864 dan meninggal pada 1920, sementara Ahmad Dahlan lahir pada 1868 dan meninggal pada 1923, tiga tahun sesudah Weber wafat.
Bagian pertama karya monumental Weber berjudul Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, terbit pertama kali pada 1904, ketika Dahlan sudah pergi haji yang kedua kali (1883 dan 1902).
Ide-ide awal Kiai Ahmad Dahlan sudah muncul beberapa tahun sebelum ia berketetapan hati mendirikan Muhammadiyah yang baru dimintakan izin ke Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 18 November 1912 yang kemudian dijadikan penanda kelahiran organisasi ini.
Kemanusian
Kiai Ahmad Dahlan menyatakan adanya paralelitas tafsir atas Alquran dengan akal suci dan temuan iptek. Karena itu ia menganjurkan umat Islam untuk mempelajari Filsafat bagi pengembangan kemampuan akal suci tersebut.
Lihat Juga :