Profil Singkat Kiai Ahmad Dahlan dan Siasatnya Membangun Muhammadiyah
loading...
A
A
A
BEBERAPA hari lagi Muhammadiyah akan memperingati milad yang ke-112. Siapa sangka, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu, memulai gerakannya dengan penuh rintangan. Selain mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, KH Ahmad Dahlan juga menghadapi umat Islam sendiri.
"Ia sempat dianggap sebagai kiai kafir oleh sebagian umat Islam," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan". Buku tersebut diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Kini, Abdul Mu'ti yang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kiai Haji Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta tahun 1868. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia adalah putra keempat dari KH Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Ia termasuk keturunan yang ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim , salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada usia ke-15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Makkah selama 5 tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah .
Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum ia kembali ke kampung halaman ia diberi nama Ahmad Dahlan.
Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang kampung halaman. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat 6 orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Pada tahun 1903 ia berangkat kembali ke Makkah dan menetap di sana selama 2 tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin memperdalam ilmu pengetahuan.
Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Ia juga makin intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani.
Pemikiran para pembaharu inilah yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia.
Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga menjalani profesi sebagai pedagang batik. Ia juga aktif di berbagai organisasi. Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima oleh berbagai pihak.
Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith, seorang pastur dari Katolik.
Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah.
Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, adanya lembaga pendidikan kiranya terlalu sempit.
Beberapa sahabat Ahmad Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi. Akhirnya ia mendirikan organisasi Muhammadiyah.
"Ia sempat dianggap sebagai kiai kafir oleh sebagian umat Islam," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan". Buku tersebut diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Kini, Abdul Mu'ti yang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kiai Haji Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta tahun 1868. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia adalah putra keempat dari KH Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Ia termasuk keturunan yang ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim , salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada usia ke-15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Makkah selama 5 tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah .
Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum ia kembali ke kampung halaman ia diberi nama Ahmad Dahlan.
Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang kampung halaman. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat 6 orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Pada tahun 1903 ia berangkat kembali ke Makkah dan menetap di sana selama 2 tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin memperdalam ilmu pengetahuan.
Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Ia juga makin intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani.
Pemikiran para pembaharu inilah yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia.
Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga menjalani profesi sebagai pedagang batik. Ia juga aktif di berbagai organisasi. Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima oleh berbagai pihak.
Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith, seorang pastur dari Katolik.
Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah.
Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, adanya lembaga pendidikan kiranya terlalu sempit.
Beberapa sahabat Ahmad Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi. Akhirnya ia mendirikan organisasi Muhammadiyah.